Satu Pelukan.

5.6K 807 92
                                    

Semenjak pulang makan siang sebetulnya Paradikta sudah malas melanjutkan sisa harinya untuk bekerja. Namun, dia juga tidak bisa semau-maunya. Sudah cukup dia mengacau dan bikin Damaja pusing tujuh keliling ketika dia sempat mogok ngantor selepas kematian Saniya.

Kendati dia ingin sekali menghancurkan Gustiraja, tetapi Cévo jelas lain perkara. Ada ribuan orang yang hidupnya bergantung pada eksistensi sekaligus suksesi dari perusahaan ini. Bahkan, kalau mau dibandingkan apa yang Paradikta beri sejauh ini untuk Cévo belumlah ada seujung kukunya dari apa yang sempat ayahnya dedikasikan bagi tempat yang dulu mungkin Gustiraja gagas sebagai bentuk pembuktiannya bahwa sebagai anak dari selir kelima, dia bisa berdikari sendiri dan tak hina. Okay, mungkin harus diakui bahwa dalam memupuk ambisi mereka semua setara.

Tentu akan terasa menyenangkan bila Paradikta mampu menghancurkan trofi Gustiraja yang satu ini. Namun, Cévo jelas bukan hanya tentang Gustiraja. Trofi ini lambat-laun juga adalah milik bersama baik bagi Damaja, karyawannya, maupun mungkin Paradikta. Maka, daripada ikut menarik jatuh orang-orang tak bersalah yang tak tahu apa-apa, untuk Paradikta yang dendamnya telah berkarat rasanya lebih baik menghancurkan mimpi menggebu-gebu yang kembali berani dirangkai oleh Eyangnya.

Setelah mampu menguasai pasar retail fashion Indonesia. Dia berambisi untuk mencoba menguasai suatu negeri? Dengan menjadikannya seorang Politisi? Huh, sungguh suatu impian yang berbau ambisi sekali dan kelewat tinggi di usianya yang renta kini!

Paradikta sudah meninggalkan kantor dengan menyopiri mobilnya sendiri sejak jam 8 malam. Otaknya yang penuh sesak sempat membuat pria itu ingin melipir ke Nine Fifty bar, tetapi sopir yang diutusnya ke Bogor keburu mengabari jika Prisha sudah tiba di rumah.

Well, perempuan itu menepati janjinya.

Jadi, setidaknya Paradikta harus menghargainya dengan cara pulang ke rumah tepat waktu dan tak perlu mampir-mampir dulu.

Jujur, pria itu sedikit tergugah buat membelokkan sejenak arah mobilnya untuk membeli sekotak donat atau ya mungkin martabak manis, tapi agaknya itu berlebihan. Bisa-bisa malah Prisha bakal kepedean. Meski, Paradikta selalu bisa beralasan membelinya untuk Naga. Cuma, ya tetap saja rasanya aneh. Iya kan? Khususnya setelah kejadian mati lampu yang bikin Paradikta tak sengaja nyaris mencium bibir wanita itu. Bisa saja Prisha malah jadi berpikir Paradikta ini sengaja beli-beli sesuatu demi membujuknya karena dia ngebet bercinta? Hish! Memang sih Paradikta tak akan menampik kalau dia ngebet punya anak—tentu demi menyerang Gustiraja secara telak. Tapi, bercinta—well, kendati punya anak tanpa bantuan medis pastilah perlu melewati proses itu—rasanya tetap aneh. Betapa pun dia tahu Prisha sempat ada rasa terhadapnya, hanya saja dulu mereka teman. Bercinta sama teman memang tidaklah tabu terlebih bagi orang dewasa yang sexually active seperti Paradikta, tapi ya ... ah, sudahlah.

Walau setelah berkali-kali memarahi dirinya sendiri yang berperilaku begitu silly seharian ini, sekarang Paradikta toh sudah menjejakkan kaki di rumahnya yang selalu sepi bersama tangan yang sibuk menenteng tas kerja sekaligus satu keresek berisi martabak yang susah payah dia beli di Pecenongan—rasanya goblok banget karena untuk pertama kalinya dia yang biasanya tahu jadi, dan tak sudi mengurusi hal-hal remeh begini di tiga tahun belakangan, justru mau-maunya antri lebih dari tiga puluh menit demi seloyang martabak yang bahkan entah pernah atau tidak disantapnya!

Huh, masa bodo lah!

Jam 9 malam sudah lewat, Naga tentulah sudah terlelap. Alasan membelikannya buat Naga sepertinya akan terdengar mengada-ngada.

Memilih untuk bicara sekenanya andai ditanya which is Prisha mustahil nanya juga sih sebetulnya. Dan, lebih daripada itu sejak kapan memang seorang Prisha Jelita suka curiga? Ibunya yang sebegitu buruk perlakuannya saja dia masih bisa ber-positive thinking ria, lalu apalah artinya sepiring martabak yang dibawakan oleh Paradikta? Perempuan itu paling-paling akan memilih memberikannya pada Mbok, atau satpam di depan jika memang tidak mau memakannya.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang