Namanya Najandra Mihrar Gaishan. Selain sempat menempuh pendidikan Magister di Jogja, dan langsung pulang ke kampung halamannya untuk mengabdikan diri, Prisha sebenarnya tak tahu banyak tentang Psikolog langganannya itu. Well, kecuali dia anak sulung kesayangan Umi Amillah yang di sepanjang hidupnya tak pernah bikin masalah sehingga orang-orang di kampung selalu menempatkan sosoknya sebagai laki-laki paling potensial yang mesti berjodoh dengan anak-anak gadis mereka.
Prisha tentu bukan salah satunya—actually, hubungan mereka pun sebetulnya profesional saja kok di luar Najandra yang sering mampir untuk menghantar bingkisan dari Umi Amillah, atau mengiriminya pesan berbau perhatian di penghujung hari sebab dia tahu Prisha yang mentalitasnya rawan tak memiliki siapa pun untuk mendukungnya sampai-sampai Najandra boleh jadi termotivasi untuk melakukannya sendiri, karena toh demi kelancaran kerjaannya juga, jika Prisha baikan dia bakal ikut senang mengingat tugasnya sebagai Psikolog Klinis terbukti berhasil—baik dulu ketika dia masih gadis, lebih-lebih sekarang saat statusnya justru sekejap saja berubah menjadi sangat complicated.
Meski ya, apakah sungguh perasaan profesionalisme itu betul-betul bertahan di sepanjang tiga tahun ini? Entah.
Lalu, bicara soal Najandra, pria itu ada di hadapannya sekarang.
Prisha tak mungkin mengusir Najandra kan?
Betapa pun orang-orang mungkin bakal mulai kembali ganas bergosip, tetapi melihat Najandra yang sepertinya juga tak berniat pergi. Tak etis rasanya kalau dia meninggalkan pria itu begitu saja di depan rumah tanpa sepatah kata.
Namun, tentu Prisha juga tak senekat itu untuk membawa masuk seorang pria di saat semua orang tahu dia sudah menikah, dan tak ada satu orang pun di rumah. Lagi, Prisha tak berniat menggeret serta Najandra atau pun keluarganya yang selama ini memperlakukannya dengan baik untuk ikut digunjingkan dengannya.
Jadi, mumpung hari masih cukup sore—masa-masa yang masih tergolong wajar buat menerima tamu—Prisha memutuskan untuk sekalian mengairi tanaman di pot-pot pada kawasan teras rumahnya. Setelah sebelumnya, dia mempersilakan Najandra duduk sekaligus menyempatkan guna menyeduh teh manis hangat untuk laki-laki itu.
Hanya saja bukannya memilih menikmati teh hangatnya, Najandra yang jelas-jelas bertamu untuk Prisha dan bukan tehnya, justru mengintili perempuan itu yang kini sok sibuk berjongkok mengguntingi beberapa daun mawarnya yang mengering.
Tak ada yang bersuara di antara mereka. Cuma bunyi gemerisik dahan saling bergesekan ditiup angin sore yang lumayan kencang. Gaungan suara kambing di kejauhan, juga burung-burung yang melintas kembali ke peraduan.
Hingga tahu-tahu suara Najandra yang amat berbeda dari suara milik Paradikta yang sinis. Yang belakangan sering sekali Prisha dengar tiba-tiba mengujar lirih nan tenang, "Are you really okay?"
Bahkan tanpa melihatnya Prisha dapat membayangkan wajah Najandra yang ramah ketika mengujarkannya. Betapa di sudut bibirnya ada senyum kecil yang seolah ingin memberi tahu Prisha kalau dunia ini nggak melulu berisi kejahatan. Well, Najandra mungkin tidak setampan Paradikta yang kalau boleh dibilang tanpa effort berarti baik pria atau wanita boleh jadi akan sesuara menganggapnya ganteng. Hanya saja ya ... Najandra cukup atraktif kok. Dengan kulitnya yang tak secerah milik Paradikta dan senyumnya yang tentu lebih bersahabat.
Lalu, rasanya Prisha sudah lama sekali tak mendengar tanya itu. Sehingga dia refleks mengulang beberapa kali di hati dan dalam kepalanya.
Is she okay?
Apakah sungguh dia baik-baik saja?
Tiba-tiba bertemu lagi dengan Paradikta. Belum sebulan statusnya yang dimusuhi oleh pria itu berbalik drastis menjadi diperistri. Bukan pernikahan impiannya, tentu saja. Karena, dia tak seputus asa itu untuk menikah dengan orang yang jelas-jelas tak menginginkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Ficción GeneralPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...