Yang Pantas Dikarma.

8.4K 982 44
                                    

Prisha menyentuh pipinya yang tadi dibantu diolesi salep antiseptik oleh Naga. Sedikit kebas, tapi tak lagi terasa perih.

Lalu, anak itu?

Setelah menyanyikan dua kali lagu Are You Sleeping yang ceria dia mendekati Prisha. Entah bagaimana bisa Naga yang ragu-ragu menyender di lengannya langsung jatuh tertidur dalam sekejapan saja.

Prisha tentu memindahkannya ke kasur, dan kini dia sedang berjongkok sembari memandangi bocah itu yang terlelap.

Napasnya yang terembus satu-satu tampak begitu teratur.

Kendati mulutnya sedikit terbuka, tetapi tak ada suara-suara aneh yang berbunyi dari sana.

Sekilas Naga memang kelihatan damai sih. Tapi, Prisha takut jika diam-diam—mengingat tabiatnya yang kerap berlagak sebagai orang dewasa—Naga justru sepertinya. Dia menyimpan semuanya sendirian. Kemudian, tahu-tahu dia bakal mimpi buruk setelah apa yang belum lama ini disaksikannya. Tak hanya hari ini, tetapi di sepanjang hidupnya. Persis Prisha.

Prisha baru mau mengelus rambut lebat Naga yang mungkin akan terasa halus sekali di kulitnya saat bagai dejavu suara derit pintu kamar terdengar terdorong terbuka.

Begitu menoleh, bukan Paradikta, tapi Nur Ami lah yang Prisha temukan tengah sungkan menyembulkan kepala.

"Ya Allah, Ibu, maaf saya perginya lama." Dia berjalan kikuk seraya kemudian berbisik di dekat Prisha dengan air muka yang seperti mau menangis. "Tadi itu, mau langsung balik. Cuma keserempet."

Ini ... sebetulnya telah Prisha sadari sedari pagi. Maksudnya, panggilan Nur Ami kepadanya tiba-tiba berganti. Entah apa pertimbangannya Prisha hanya berekspresi agak terkejut saat Nur Ami lantas menunjukan sikunya yang lecet.

"Padahal, sudah saya bilangin nggak papa, tapi yang nyerempet maksa ngajakin ke klinik buat diperiksa. Katanya, takut ke depannya nanti saya nge-fitnah dia tabrak lari. Apalagi sekarang jaman medsos yang dikit-dikit semua masalah di-upload. Saya sudah ngomong nggak akan begitu, tapi dia kayaknya nggak percaya. Ibu maaf, ya?" Dia terlihat menyesal sekali.

Prisha mengangguk. Sebenarnya, ingin tak ingin mendengar maaf dari Nur Ami. Sebab, andai dia pulang awal, Prisha mungkin tak perlu bertemu Awidya dan Naga pun tidak harus menyaksikan pertengkaran yang terjadi di antara mereka.

"Den Naga sudah tidur tah, Bu?"

Nur Ami mendekat ke ranjang. Di tangannya baru Prisha sadari ada dua kantung kresek. Satu berlogo minimarket yang agaknya berisi pembalut yang Nur Ami cari, serta sisa satunya lagi apotek yang berlokasi di depan kompleks ini juga.

"Kamu baik?" Prisha refleks bertanya.

"Hah?" Nur Ami memindahkan kembali atensinya dari anak asuhnya ke arah Prisha.

"Obat kamu banyak." Prisha menudingkan matanya kepada kresek obat Nur Ami yang hampir penuh.

"Oh, ini tadi Dokternya sekalian kasih obat buat nyeri. Kan saya kalau datang bulan suka nyeri sekali di hari pertama, Bu." Nur Ami mesem, masih terkesan rikuh, mungkin karena sejak tadi raut muka Prisha tampak datar sekali. "Tapi, ya, Bu, kok tumben belum jamnya Den Naga sudah bubuk? Mana nggak minum susu dulu." Mata Nur Ami menyisir kabinet dalam kamar yang di atasnya terdapat botol minum khusus milik Naga yang masih bersih.

Prisha tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Jadi, dia memilih tak menanggapinya. Sesaat dia justru bertanya, "Pak Radi masih di bawah?"

"Oh iya, saya kelupaan! Barusan Bapak titip suruh saya panggilin Ibu. Ditunggu sama Bapak di meja makan, katanya," terang Nur Ami sopan.

"Kalau Tante?" Prisha tak tahan untuk tak mencari tahu.

"Tante siapa ya, Bu?" Nur Ami kebingungan. Dan, Prisha dapat menyimpulkan bahwa agaknya Awidya sudah tidak berada di rumah sehingga Nur Ami bahkan tak sempat berpapasan.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang