"Undaaa! Undaaa! Undaaa dah maam?"
Di dapur Prisha baru meneguk air mineral lalu kontan terbatuk-batuk karena mungkin terlalu terkejut mendengar longlongan sapaan yang super-mendadak itu.
"Unda kenapa? Keselek iya?"
Ini rasanya aneh. Telinga Prisha gatal. Maksudnya, dia sama sekali tidak terbiasa mendengar sapaan tersebut dari suara ceria Naga. Dipanggil Tante Prisha untuk pertama kali dengan nada ramah saja, itu sempat bikin hati Prisha berdenyut secara abnormal. Lha, ini?
"Nte Prish enggak suka dipanggil Unda iya?" tanya Naga. Anak yang barusan berlari-lari kencang dari arah pintu yang mengarah ke backyard, kini sudah menatapi lekat-lekat wajah Prisha. Walau suaranya tak terdengar kecewa, tapi Prisha tetap tak tega.
Prisha pun langsung menggeleng.
"Enggak suka iya?"
Bukan.
Anak itu belum menangkap maksudnya. Tetapi, Prisha keburu melihat Naga hendak rambatan naik ke stool. Dia refleks membantu dengan cara memegangi bahu anak itu supaya Naga bisa duduk dengan baik sehingga jarak tinggi tubuh mereka kini tak terlalu jomplang lagi.
"Enggak papa Aga panggilnya Nte Prish aja iya?" tanya Naga mengulang, dalam jarak di mana matanya yang berkilauan menjadi lebih sulit untuk Prisha abaikan. Sudah begitu intonasinya terdengar kelewat pengertian bagi anak seusianya. Jadi, mana mungkin Prisha bisa berpura-pura tak menemukan seluruh tanda-tanda itu kan?
"Aga suka manggil Bunda?" timpal Prisha kemudian.
"Suka." Dengan mudah anak itu lantas mengangguk menyetujuinya. "Tobias punya Unda juga ternyata. Unda kan kata Papa artinya sama kayak Mama. Nicolas bilangnya Aga enggak punya Mama lagi. Jadi, enggak boleh ditemenin. Tapi, kan sekarang Aga punya Unda. Sama kayak Mama. Sama kayak punyanya Tobias iya? Jadi, harusnya boleh lagi ditemenin."
Anak seceria ini ... di rumah saja dia sudah kesepian. Di sekolah pun ternyata semua nggak berjalan lancar? Pun, yang lebih miris dari itu, apakah Paradikta tahu? Rasa-rasanya kok meragukan sekali ya pria itu bersedia mengerti tentang kegelisahan-kegelisahan yang dialami oleh buah hatinya ini.
Prisha agaknya sedang setengah melamun saat tangannya tahu-tahu sudah bergerak demi menyisiri rambut Naga yang lembut. Begitu sadar, dia ingin menariknya kembali, tapi Naga keburu tersenyum manis menerima usapannya di kepala. Maka Prisha akhirnya hanya melirih, "Kalau begitu lanjutkan."
"Apanya lanjut, Unda?" Kepala anak itu reaktif meneleng. Sekilas mengingatkan Prisha terhadap ekspresi-ekspresi lucu ala Paradikta di masa lalu, yang buru-buru dia hempas dalam satu kali kedipan.
"Manggilnya," kata Prisha sembari berdeham pelan.
"Unda?"
Prisha lalu membalasnya melalui satu senyuman tipis yang semoga bisa Naga lihat mengingat jarak mereka kini dekat.
"Unda dari mana sih? Pas Aga pulang sekolah kok enggak ada? Sus Ami bilang-bilang sih lagi ke rumah sakit. Unda sakit iya?" tanya Naga. Mukanya yang mudah sekali berekspresi saat ini tampak sedikit murung.
Prisha pun cepat-cepat menggeleng. "Ibu sakit," tampiknya.
"Ibu sapa?"
"Ibu say-ibu ...." Tak kuat menyebut dirinya sendiri dengan kata ganti Bunda macam Naga. Prisha lantas ragu-ragu menunjuk dadanya.
Dan, Naga adalah anak yang cerdas. Ingat kan? Oleh sebab itu, dia langsung paham begitu menyahuti, "Ibunya Unda sakit? Kayak Oma Keristin dong?"
"Oma Keristin?" cengo Prisha.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...