Saat Prisha masih bersekolah dulu ada segelintir teman sekelasnya yang setiap kali melihatnya datang atau pun pulang dijemput oleh bapak, keesok hariannya mereka akan bergerombol, sambil menyeletukkan tanya ini dengan raut penasaran khas anak-anak kepada Prisha yang selalu duduk sendirian, "Prish, kamu piatu, ya?"
Prisha belum genap delapan tahun. Sama sekali nggak mengerti tentang konsep piatu meski beberapa kali dia pernah mendengarnya muncul berdampingan bersama kata yatim persis seperti halnya fakir dan miskin. Selain itu, dia juga tak yakin bahwa teman yang sebaya dengannya itu udah lebih mengerti dengan apa yang mereka tanyakan.
Oleh karenanya, acap kali Prisha cuma membalasnya dengan balik bertanya, "Kenapa?"
"Kamu diantar sekolah sama bapak kamu. Pulangnya juga dijemputnya sama bapak kamu terus. Pas kenaikan kelas yang lain orang tuanya pada datang, tapi kamu? Cuma bapak kamu yang ke sekolah ambil rapornya. Terus, waktu hari ibu suruh baca puisi kemaren kamu juga nggak maju, karena kamu nggak punya ibu kan? Kata kakak aku yang udah SMP, anak yang nggak ada ibunya itu sebutannya piatu tahu!"
Prisha ingin berkata kalau dia punya ibu. Jadi, dia bukanlah piatu.
Tapi temannya itu kembali mengoceh, "Kalau punya ibu kayak ibu aku dong tiap pagi masakin bekal buat ke sekolah! Kamu kan nggak pernah bawa bekal?"
Apakah parameter seseorang memiliki ibu hanya dilihat dari ibunya memasak atau nggak?
Well, ibu Prisha suka kok memasak di rumah. Kalau pagi-pagi sebelum mencuci, ibu suka bikin nasi goreng. Prisha suka memakannya hanya jika bapak makan bareng juga. Sebab, kalau kebetulan bapak ada kerjaan dan nggak pulang suatu hari, ibunya hanya bakal masak untuk dirinya sendiri. Tapi, ibu tetaplah ibu Prisha!
"Iya iya Ana bener banget ih! Nih yah Mama aku juga gitu kok!" Teman yang lain buru-buru menyeletuk, bersemangat mendukung, seraya tak ketinggalan membagi pengalamannya, "Rambut aku tiap pagi aja dikepanginnya sama Mama! Apalagi kalau Minggu, kami suka pergi-pergi ke mall sama-sama! Mama aku tuh ya seneng banget kalau ngebeliin aku ikat rambut sama bando baru! Mana semuanya yang dipilihin Mama lucu-lucu! Jalan berdua Mama mah selalu asyik, semua yang aku mau pasti Mama beliin deh!"
Ibunya memang nggak pernah mengepang rambut Prisha, toh, selama ini Prisha selalu memotong pendek rambutnya sampai sebatas dagu. Lalu, apanya yang perlu dikepang?
"Iiih, Mama kamu sama banget sama Bunda aku! Aku aja nggak belajar ngaji di luar loh. Dari kecil aku sama kakak mah diajarinnya sama Bunda di rumah, karena Bunda aku aja udah jago banget!"
"Pantesan kamu hapal banyak surat-surat Al-Qur'an yah?"
"Iya dong! Sapa dulu yang ngajarinnya? Bundaaa!"
Dan, masih banyak lagi hal-hal yang dilakukan oleh ibu dari teman-teman Prisha, yang memang nggak pernah ibu lakukan untuk Prisha.
Namun, betapa pun ibunya berbeda dari ibu milik anak-anak lainnya, Prisha tetap menyayangi ibunya. Baginya, asal ketika dia pulang ada eksistensi sosok ibu yang sedang sibuk nonton tivi, atau sedang mencabuti rumput-rumput liar di pot-pot bunga pada halaman rumah mereka, semua sudah lebih dari cukup kok.
Prisha tidak harus punya ibu yang setiap hari memasak menu favoritnya. Prisha juga tidak pernah berharap ibu yang bahkan terkesan keberatan melihatnya lama-lama sudi untuk menyisiri rambutnya. Prisha tidak pernah merasa bermasalah harus belajar semua hal secara mandiri. Toh, biasanya ada bapak yang bisa dia mintai tanya bila tak mengerti.
Ibunya tak perlu sama dengan ibu milik orang lainnya.
Asal bisa berlama-lama melihat wajah ibu. Asal bisa terus-menerus mendengar suara ibu. Asal bisa mencuri-curi kesempatan untuk mencium wangi ibu. Prisha sungguh tidak boleh lebih serakah dari itu.
Maka, ketika Paradikta ujug-ujug memberondongnya melalui kalimat bernada memojokkan ini, "Prisha, sekali saja tidak kah kamu berasumsi kalau dia bisa saja bukanlah ibu kamu?!"
Jawabannya tidak. Prisha tak sekadar tidak sempat, tapi juga tak ingin pemikiran melantur sejenis itu memiliki celah guna tumbuh dalam benaknya. Sebab, Prisha jelas lebih takut membayangkan suatu hari dia benar-benar tidak punya ibu dibanding membayangkan kalau ibu bukanlah ibunya.
"Kamu boleh bicara apa saja, tapi tidak menyangkut dengan Ibu saya," sahut Prisha. Tangannya yang tadi hanya menggantung lemah di sisi tubuh kini sekuat tenaga menyingkirkan cengkeraman Paradikta di pundaknya.
Bergeleng-geleng kepala sembari menebar segaris senyuman miris, Paradikta lantas kembali membalas tak kalah culasnya dengan suara yang meluncur dari bibir Prisha, "Kamu boleh saja terus buta untuk menganggapnya sebagai ibu sampai mati. Tapi, wanita itu? Kamu pikir dia pernah sekali saja menganggap kamu hidup sebagai anaknya?"
"Pernah atau tidak, itu ... terserah Ibu. Saya tidak berhak menggurui perasaan apa yang ibu punya terhadap saya lebih-lebih kamu," timpal Prisha.
"Prisha ... Prisha." Paradikta berdecak-decak. Sorotan tajam bola matanya yang menuding Prisha kentara sekali begitu tak puas. "Kamu pikir dengan kamu menerima semua perlakuannya, dan sok-sok-an bertahan sebagai anak yang baik begini, itu bakal mengubah pemikirannya soal kamu? Kamu pikir wanita itu sudah menyerah dan mengikhlaskan suaminya yang mati? Menurut kamu dia pergi ke mana selama ini? Dan, untuk apa dia tiba-tiba kembali setelah mendengar kamu menikahi saya, hm?"
Itu ... Prisha sedang mencoba mencari tahu jawabannya. Mengapa ibunya kembali? Mengapa ibunya mendadak mencarinya? Mengapa ibunya tiba-tiba menghubungi orang-orang di sekitarnya pula? Ibu tentu punya alasan. Alasan yang buruk bagi Prisha, mungkin iya. Tapi, memang akan seburuk apa? Prisha sudah sering disumpahi agar mati. Prisha juga kenyang dipukuli sampai-sampai dia mungkin berada di level mati rasa. Meski begitu, dia tak pernah marah. Pun, tak pernah kecewa pada ibu karena, ibu toh tetaplah satu-satunya ibu Prisha.
Prisha tengah lengah kala Paradikta tahu-tahu maju selangkah. Senyuman pria itu yang terlihat menyebalkan masih sempat Prisha tangkap sesaat sebelum Paradikta menundukkan kepalanya yang lantas dia sampirkan begitu saja di pundak Prisha.
Mendapati tubuhnya langsung keras bagai batu, Prisha sayup-sayup mendengar bisik serak suara Paradikta yang memperingatinya, "She want makes a mess. Tetapi, tidak akan saya biarkan. Rencana saya tidak boleh ada yang mengusik, Prisha, sekali pun orangnya adalah wanita yang kamu anggap sebagai Ibu itu."
Prisha merasakannya, bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya yang ramai meremang, sewaktu Paradikta dengan napas panasnya—anehnya justru bikin Prisha menggeligis kedinginan—meniupi ringan bagian tulang lehernya sebelum dia berikrar sarat ancaman, "Kamu kira saya hanya mengada-ngada? Tentang dia yang bukan siapa-siapa? Wake-up, Prisha! Sekarang saya suami kamu. Saya lah satu-satunya keluarga kamu. Kalau kamu mau bergantung maka bergantunglah hanya pada saya. Well, apa yang wanita antah-berantah ini mau dari kita?" Melalui tangannya tiba-tiba Paradikta mendorong kasar daun pintu ruang rawat ibu yang berada persis di balik punggung Prisha yang sejak tadi tegang. "Let's we see. Ingat! Memihak pada wanita antah-berantah ini cuma akan bikin kamu tambah terluka!"
Dan, begitu saja Paradikta menegapkan tubuh, menarik lengan Prisha dengan sedikit kasar mereka lantas bersama-sama merangsek masuk ke ruang perawatan demi menghadapi ibu yang .... ternyata, sama sekali tak sedang tidur dan masih setia menatap Prisha dengan kemelut dendam lama yang hampir mustahil sirna.
***
Halo, kami kembali. Gimana nih weekend-nya?
Aku juga baru aja update bab 70 di sebelah ya. Pertanyaan yang mungkin udah sibuk ditanyain dari bab satu bakal segera ada jawabannya. Yang artinya cerita ini juga ya mungkin nggak akan lama lagi mencapai akhirnya.
Terima kasih masih setia membaca sampai bab ini meski aku tahu nggak mudah baca cerita yang alurnya super lambat, update-nya juga lambat pula. Thank you so much for being here and there with me. No words can express how much I appreciate you, Gaes ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...