Mawar Biru.

5.2K 766 25
                                    

Mona pernah bilang dengan nada bercanda bahwa Prisha terlalu apatis. Sehari-hari dia padahal cuma bergaul bersama mawar-mawar yang jenis dan warannya terbilang masih bisa dihitung jari. Namun, dia bahkan tidak pernah tahu satu pun artinya di balik mawar-mawar itu.

Well, bagi Prisha mawar ya harapan hidupnya. Apalagi kan? Berkat mawar dia masih kuat bertahan untuk bernapas hingga hari ini. Mawar adalah pengingatnya untuk selalu kembali terbangun di setiap pagi. Mawar merupakan dunianya yang dia temukan setelah sempat remuk-redam dihadang sesuatu yang mirip kiamat. Namun, siapa sangka kalau setiap bunga katanya punya makna?

Prisha sudah berangkat ke ladang selepas memasak nasi goreng pattaya yang saat di rumahnya Paradikta beberapa kali dia coba masak dan ternyata langsung jadi favorit Naga.

Bicara soal Naga, anak itu betul-betul diajak Paradikta buat ikut mereka ke Bogor. Prisha ingat Naga sontak berjingkrak-jingkrak sambil memeluk kakinya sewaktu Papanya memberi tahu kalau mereka bakal liburan selama dua hari ke Bogor.

Beuh, liburan?

Untuk Paradikta mungkin memang seperti liburan sih. Tadi Papa dan anak yang kalau di Jakarta suka berjauh-jauhan dan kikuk itu bahkan terlihat saling berpelukan serta bergelung nyaman di atas satu-satunya ranjang Prisha di rumah, ketika Prisha mengeceknya sebelum benar-benar menggiring dirinya sendiri pergi demi menengok kebunnya. Sengaja dia berangkat lebih pagi sebab, rencananya dia akan pulang lagi sebelum Naga bangun. Bagaimanapun Prisha udah terlanjur berjanji pada Naga bahwa dia akan menunjukkan belasan domba milik salah satu tetangganya yang kalau pagi suka dibiarkan lepas buat sarapan dengan memakan rumput-rumput liar di lapangan.

Perempuan itu baru saja tiba di kebun kemudian melihat seberapa luas ladang yang terkena hama saat suara motor milik Mang Asep yang sudah Prisha hapali terdengar mendekat.

Dan, benar saja, begitu Prisha menoleh dia langsung disambut oleh pemandangan di mana Mang Asep sedang menyetandarkan motor bututnya yang khusus dipakainya untuk meladang, sambil menenteng keperluan menyemprot di kedua tangan.

"Euleuh-euluh, Mbak Prish atuh bagaimana kabarnya ini? Sehat?" tanya Mang Asep antusias begitu masuk ke kawasan ladang Prisha, serta menaruh backpack sprayer di dekat gubukan sederhana yang sebelumnya juga sudah Prisha taruhi rantang berisi makanan, beberapa botol air, juga ceret teh panas.

Membalasinya Prisha hanya mengangguk pelan. Tampak jelas dari ekspresinya kalau dia tak ingin banyak bicara mengenai kehidupannya di Jakarta. Pun, Mang Asep langsung mengerti sehingga pria itu lalu memilih memberi tahu apa-apa saja yang sudah dilakukannya untuk mengusir hama sewaktu Prisha berkeliling, sembari sesekali membuang tangkai-tangkai mawar yang membusuk.

"Oh iya, Mbak Prish, untuk perihal uang sewa mobilnya teh kemarin itu saya ada laporan ke WA, tapi kayaknya belum Mbak Prish baca," ujar Mang Asep. Sama seperti Prisha yang langsung bekerja, pria itu juga sontak sibuk bolak-balik di jalanan setapak untuk menimba air yang nanti akan dipakainya menyemprot saat sudah agak siangan.

Berhenti melangkah makin jauh merangseki ladang, Prisha berbalik badan demi bertanya heran, "Ada apa memang, Mang? Kurang?"

"Oh, bukan bukan kok, Mbak Prish!"Mang Asep segera mengibas-ngibaskan satu tangannya yang tidak sedang memegang ember timba hingga membuat air yang tengah dikumpulkannya sedikit menciprat-ciprat. "Amanlah. Itu malahan ada lebih yang untuk bulan ini. Terus, saya teh sebenarnya anu ... em, itu disuruh nanayain gitu."

Prisha hanya menggerakkan alisnya sebagai tanda bertanya.

Bikin Mang Asep kontan garuk-garuk kepalanya sendiri serba salah waktu terus-terang mengutarakan, "Jadi, kan itu Mbak mobil baknya Uwa Muhtar yang sering kita pakai itu katanya teh mau digadaikan sementara, Mbak. Anaknya yang kuliah di Jogja teh sedang butuh biaya lebih."

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang