Plak!
Prisha bahkan tak sempat bereaksi untuk refleks memegangi wajahnya saat suara di depannya nyaring menuduh, "Seneng kan kamu? Kalau keponakan saya mati, duitnya bisa kamu rampok!"
Oh, begitukah?
Oke. Dibanding harta Paradikta yang setinggi gunung Himalaya, duit Prisha mungkin memang cuma recehan. Namun, Ayahnya bahkan selalu mewanti-wanti di sepanjang tumbuh kembangnya jika, Allah sangat nggak suka terhadap segala perbuatan curang. Dan, Prisha, seingatnya dia belum pernah sekali pun abai akan setiap perkataan yang Sang Ayah petuahkan.
Lalu, senang? Apa hanya karena Prisha nggak menangis sekejar Awidya ia lantas bisa dianggap sedang bersenang-senang? Dan, apabila kematian Paradikta adalah sebuah keuntungan untuknya, buat apa dia susah-payah menolong pria itu?
"Jangan ngimpi yah! Kamu tidak akan dapat apa-apa! Saya akan melindungi apa yang keluarga saya miliki dari orang luar seperti kamu!"
Ah, orang luar ya?
Benar. Mungkin karena hal itu. Karena, dia orang luar maka, setiap kali berpapasan dengannya Paradikta seperti melihat jurang. Sehingga setiap kenangan yang tercipta di antara mereka ingin segera pria itu tepikan.
Karena, Prisha cuma orang luar sehingga atas setiap langkah pun tindakannya Awidya nggak pernah berhenti buat mengkonfrontasi dan mencaci. Orang luar yang bahkan juga nggak punya tempat sedikit pun di hati seorang anak yang sedang menangis tergugu dalam pelukan sesosok perempuan di belakang Awidya.
Orang luar yang ....
"Menggantikan tempat Saniya?" Awidya kali ini mendecih sinis, netranya pun bergulir menuding Prisha dengan apatis. "Jangan ngimpi! Kamu bahkan nggak ada seujung kukunya!"
***
Mbak Prish sabar yah kamu main di ftv azyab ala Simbaak 😔
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...