"Ja, kamu nih udah nggak waras, ya?!" Menerobos pintu hingga nyaris membuat terjungkal Mbok Sum, Awidya yang menenteng-nenteng beberapa paper bag di pundak—dari tulisan-tulisan pada permukaan tasnya yang memuat nama brand-brand ternama, sepertinya dia baru saja berbelanja—langsung menghampiri Damaja di ruang kerja.
Damaja yang hari ini kembali mengambil cuti demi menjaga Naga pun mendesah. Kapan sih kiranya Awidya bisa datang tanpa harus marah-marah? Terlebih setelah sepeninggalnya Saniya, jika dia singgah ke rumah Paradikta perempuan yang usianya selisih lima tahun dari Damaja itu selalu saja punya bahan untuk mengajaknya bergaduh. Terutama tentang ambisi konyolnya guna menyatukan Kayara dengan Paradikta.
"Sekarang apalagi masalahnya, Mbak?" tanya Damaja mengalah sembari sejenak meninggalkan tumpukan kertas-kertas di meja kerja Paradikta yang sementara dipinjamnya untuk berkantor.
"Apalagi kamu bilang?" Wajah Awidaya memerah padam. "Masih bisa ya kamu nanya begitu setelah bikin keputusan gila?"
Well, Damaja tak sepenuhnya tidak paham. Jika ada satu hal yang mampu membuat Awidya buru-buru menyudahi jalan-jalannya di jam 2 siang—tentu masih banyak gerai yang belum dia masuki di mall, mengingat jam operasionalnya masih panjang—adalah sesuatu yang baginya lebih penting dari sekadar new arrival tas channel.
Dan, sesuatu itu tetap Damaja telan mentah-mentah ketika dia berpura-pura tak mengerti, "Keputusan gila apa yang Mbak maksud?"
"Jangan berlagak bodoh lah, Ja. Kamu tahu apa yang sedang aku omongin. Apalagi memang yang pantas dibahas saat ini kalau bukan keputusan kamu soal Radi, hah?!" berangnya yang amat seusai dugaan. Meski Damaja cukup heran bahwa kabar yang seharusnya hanya menjadi rahasianya dan Paradikta ternyata telah menyebar. Ah, ralat. Sepertinya itu tidaklah terlalu tepat. Sebab, kalau betul sudah tersiar, ayahnya tentulah akan buru-buru pulang dari Singapura. Probability, Awidya yang punya tambahan kuping di rumah ini terdengar sebagai konsep yang jauh lebih masuk akal sih.
Namun, Damaja tak akan memakannya bulat-bulat. Dia masih setenang genangan kolam sewaktu membalas, "Saya nggak memutuskan apa-apa terkait Radi."
"Terus kamu pikir aku percaya?" Awidaya bergeleng-geleng. "Om tahu soal keputusan gila kamu? Pasti nggak kan? Karena kalau Om tahu mustahil kamu bakal dibiarin!"
"Bisa bicaranya dipelankan? Naga ada di rumah. Dia bisa dengar Mbak," tegur Damaja tanpa merubah nadanya bertutur yang nir emosi.
"Halah! Nggak usah sok peduli deh kamu sama Naga! Kalau beneran peduli nggak bakal kamu bikin keputusan kayak begini!" cerca Awidya.
Meremas tangannya yang saling bertaut di atas meja, Damaja lantas bergumam, "Apa yang sebetulnya sedang Mbak Awi sesalkan?"
"Hah?"
Damaja menggeret naik matanya hingga seketika berbenturan dengan sepasang netra milik Awidya yang terselimuti kemurkaan. Ekspresi yang kalau tak salah ingat juga pernah Damaja jumpai dulu saat ayahnya mengumumkan rencana pernikahan Paradikta dan Saniya. Entah apa sesungguhnya alasan di balik Awidya terus menyimpan sorot itu, tetapi apa pun itu agaknya bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah Damaja abaikan.
"Pertama, saya nggak bikin keputusan. Radi yang memutuskan sendiri," terang Damaja. Dia bahkan sempat merasa terkejut begitu mendengar pengakuan putranya yang mendorongnya untuk berangkat ke Bogor belum lama ini.
"Omong kosong! Heh! Jangan dikira kamu bisa bodoh-bodohin Mbak ya. Gimana mungkin Radi mutusin mau kawin kalau sampai kemarin aja dia masih nangisin Saniya macam dunia mau kiamat sepeninggal istrinya? Terus, kamu juga! Kemarin aja bilangnya suruh kasih ruang biar Radi nata hati. Mana? Nah, ini apa? Tahu-tahu kamu ngejodohin dia. Ja, kamu udah ngejilat ludah kamu sendiri dan itu menjijikkan!"
"Terserah apa anggapan Mbak, tapi begitulah adanya," tanggap Damaja dengan nada final. "Terakhir, Mbak benar peduli sama Naga atau sebatas Kayara?" sambungnya kali ini seolah hendak menginterogasi.
"Nggak usah kamu bawa-bawa anakku!" Dan, Mbak Awi langsung merespons dengan melempar sisa tas belanjaannya sampai-sampai beberapa sepatu keluar berhamburan dari wadahnya demi dapat leluasa menujuk-nunjuk wajah Damaja. "Yang aku yakin Kayara tentu lebih baik dan lebih segala-galanya dari calon nggak masuk akal yang kamu sodorin ke Radi! Nemu di mana sih kamu orangnya, hah? Gembel kan? Ada yang bilang dia bukan orang Jakarta, dia dari desa. Seriously, Ja? Mau nostaligia masa lalu atau gimana kamu nih?"
"Mbak Awi—"
"Mbak masih belum selesai ngomong," hardik Awidya yang lantas melipat lengannya secara defensif di dada, sambil kemudian lancar menyerang, "Kamu kira gampang buat gantiin Saniya? Naga butuh figur ibu yang tepat, Ja. Yang pendidikannya bagus sehingga bisa mendidik Naga dengan baik. Yang asal-usulnya jelas sehingga nggak menimbulkan pertanyaan kelak. Kamu kira orang tua Saniya bakal rela Naga diasuh sama wanita antah-berantah? Salah-salah mereka bakal rebut hak asuhnya! Bukan cuma kamu yang berduit, mereka juga. Mana mereka Politisi lagi. Relasinya ada di mana-mana. Nggak bakal susah mereka buat nguasain Naga. Makanya, kalau kamu nggak ingin kehilangan Naga dan bikin Radi makin gila kamu haruslah pilih calon yang cocok!"
"Dan, Mbak kira itu Kayara orangnya?"
"Loh? Apa memang kurangnya Kayara? Kamu sendiri lihat dia tumbuh seperti apa dari kecil kan? Cantik, manut, nggak pernah bikin masalah, prestasinya banyak dan pintar macam-macam. Orang tuanya yang mana aku sama Mas Tito nggak punya tuh reputasi buruk. Pun, lebih dari segalanya, dia sama Radi udah dekat dari sama-sama mereka kecil. Nggak akan susah membangun chemistry!"
"Okay, semuanya sudah saya dengarkan. Itu saja? Sekarang Mbak Awi sudah selesai?"
"Pokoknya, kalau kamu masih nekat sama rencana busuk kamu buat masukin orang nggak jelas ke keluarga kita, Om akan segera tahu. Aku nggak akan diam aja!" gertak Awidya. Dibanding orang tuanya sendiri sejak dulu dia selalu lebih suka mengadu kepada ayah Damaja. Entahlah, mungkin karena dia tahu bahwa ayah Damaja sanggup melakukan apa saja—tak jarang melakukan pekerjaan yang biasanya setan kerjakan. "Oh, ya nanti sore aku bakal balik lagi ke sini sama Yara," imbuhnya yang sia-sia saja bila pun ingin dihentikan.
Makanya Damaja cuma membalas, "Silakan datang, tapi sepertinya Mbak nggak bisa menemui saya atau Radi. Karena, kami akan ada pertemuan dengan orang yang Radi pilih."
"Oh, ya bagus dong. Biar kita makan bareng-bareng sekalian, dan Mbak akan tunjukan kenapa keputusan kamu itu keliru. Lihat aja!"
Sembari berteriak-teriak di ambang pintu memanggili Mbok Sum untuk memunguti belanjaannya Awidya pun berlalu dari sana setelah sebelumnya menebar satu lirikan tajam berbau mengacam ke arah Damaja.
See? Kalau sengotot ini mustahil dia nggak memiliki tendensi niat tertentu. Demi Naga? Bukannya mau berprasangka, tetapi untuk ukuran Awidya yang gemar menggolong-golongkan orang berdasarkan apa yang mereka punya di saku, entah mengapa Damaja pikir itu meragukan.
Lagi, satu hal yang Damaja percaya, jika Awidya benar datang, dia pastilah akan bikin huru-hura. Ah, tapi itu boleh jadi dapat diurusnya nanti. Namun, bagaimana dengan Prisha?
Jujur saja, Damaja sangsi jika gadis itu bersedia menanggapi undangannya untuk bertemu kembali di Jakarta. Kendati, dia telah mengutus sopir, siapa yang bisa pastikan kalau Pak Ahmad tak akan pulang seorang diri kan?
Walau belum terang-terangan mendengarnya, tapi melalui wajah datar Prisha saja, Damaja sepertinya sudah melihat wujud dari sebuah penolakan.
***
Makasih udah menantikan Mbak Prisha ❤️
Ketemu lagi minggu depan ya 😳Oh gitu Muassss 😌
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...