48

41 1 0
                                    

"Cinta adalah permainan berbahaya, siapa yang menang, dialah yang terluka."

.
.
.
.
.

Sesampainya di rumah Siska, mereka langsung masuk ke dalam.

"Terimakasih kak," ujar Manda setelah mendudukkan dirinya di sofa.

Angga mengangguk. "Sama-sama, ini udah tugas gue. Ya udah, kalau gitu gue pulang dulu!" Angga mengusap rambut Manda, membuat sang empedu berdecak.

"Ck, udah pulang sana, hati-hati!" Angga mengangguk, lalu menatap Siska. "Gue pulang!"

"Hm," Siska duduk di samping Manda, merenggangkan kedua tangannya.

"Sifa mana?" Manda mengambil cemilan yang ada di atas meja.

"Dia pulang, katanya mau ngambil perlengkapan nginep di sini."

"Oh, oke."

"Kenapa lo boong, Man?"

Ucapan Siska menghentikan makannya, mulutnya yang setengah terbuka langsung ia tutup. Dia sudah yakin kalau sahabatnya itu pasti akan menanyakan ini.

"Tentang apa?"

"Soal penyakit lo," ujarnya pelan.

"Oh, gue gak mau aja nyusahin kalian."

Siska mengangguk mengerti, "Gue ngerti sekarang, lo belum sepenuhnya percaya sama gue Man."

Manda menatap Siska dengan ekspresi tak bisa diartikan. "Maaf, kalau gue kesannya gak percaya sama kalian. Sebenarnya, gue hanya khawatir kalo gue itu hanya menjadi beban untuk kalian semua," kata Manda.

Siska meletakkan tangannya yang mengepal di atas pahanya. "Man, lo nggak pernah jadi beban bagi kami. Lo itu udah gue anggap saudara sendiri," ujar Siska.

Manda menatap Siska, "Iya, Sis. Gue tau kalian lah yang selalu ada untuk gue. Maaf, deh."

"Kali ini gue maafin, tapi gak ada untuk lain kali!"

"Oke. Kenapa lo ngerokok?"

Tubuh Siska menegang, dia kira Manda telah melupakan tentang itu, karena Manda tidak pernah menyinggung nya. "Maaf."

"Gue gak bisa bilang banyak, tapi intinya lo harus berhenti, Sis. Jangan membahayakan diri sendiri, untuk melampiaskan emosi dengan cara merokok," ujar Manda.

"Gue akan usaha--

"APA?"

Manda dan Siska menutup telinganya saat mendengar teriakan membahana berasal dari belakang mereka. Spontan, mereka menoleh terlihat Sifa dengan muka garang nya dan tak lupa tangan kanan dan kirinya di penuhi koper dan tas.

Siska melirik Manda yang tak menampilkan ekspresi apapun. Siska mendengus malas, kalau Sifa mendengar obrolan mereka pasti akan mengoceh terus padanya.

"Heh, malah bengong lo pada." Sifa meraup muka kedua sahabatnya.

"Apa-an sih?" Sembur Manda mengusap mukanya, sedangkan Siska hanya mencebikkan bibirnya.

"Apa gue gak salah dengar, Manda bilang lo ngerokok?"

"Iya," jawab Manda enteng tanpa memperdulikan Siska yang menatapnya tajam.

"Lo kenapa merokok sih, Siska. Lo itu cewek, ya ampun. Gimana sih," cerocos Sifa.

"Lo dengerin gue gak, sih." Sifa melotot garang.

"Ck, iya. Gue gak tuli."

"Kalau kak Angga tau, pasti dia marah!"

AfmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang