Seungri duduk sendirian di sofa ruang tamu, merasa kosong di dalam mansion yang begitu luas. Setelah semua orang pergi—Minho dengan raut wajah serius dan ayahnya dengan otoritas yang tak terbantah—hanya tersisa dia, beberapa staff, dan perawat pribadinya, Eunji. Meski begitu, kesunyian yang tersisa justru membuatnya merasa semakin kesepian, seperti ada ruang kosong di dalam dirinya yang sulit diisi.
Ruang tamu mansion itu terlihat megah seperti biasanya. Lantai marmer yang berkilau, lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, dan perabotan mewah tampak begitu sempurna, namun semua itu tak mengusir rasa hampa yang Seungri rasakan. Dia meraih remote dan menyalakan TV, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, tak peduli acara apa yang dia tonton, pikirannya terus kembali ke kejadian semalam.
Dengan gerakan lambat, dia meraba dadanya, jari-jarinya menyentuh bekas memar yang masih terasa nyeri di bawah kulit. Rasa sakit itu seperti mengingatkannya akan konsekuensi dari segala tindakan sembrono yang dia lakukan, meskipun dia tetap mencoba mengabaikannya.
“Kenapa aku begini terus, ya?” gumam Seungri pada dirinya sendiri, menatap kosong ke arah TV.
Tapi semakin lama dia diam, semakin berat rasa sesak di dadanya. Dia menghela napas, meski tiap helaan terasa menekan paru-parunya. “Mungkin Minho benar kali ini,” katanya pelan, meski kepalanya menolak untuk sepenuhnya setuju.
Merasa tak bisa berdiam lebih lama, Seungri bangkit dari sofa dan berjalan menuju studio seni pribadinya. Di sana, kanvas kosong menunggunya, seperti lembaran baru yang siap diisi. Tapi kali ini, meskipun dia duduk di depan kanvas dengan kuas di tangan, inspirasi tak datang. Setiap gerakan tangannya terasa seperti mengingatkan tubuhnya pada insiden semalam, pada bagaimana dia dihajar oleh rasa sakit—baik fisik maupun emosional. Setiap tarikan kuas membuat dadanya semakin terasa berat.
Dia menaruh kuasnya, menundukkan kepala dan menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. “Ayo, Seungri. Ini bukan pertama kalinya kamu seperti ini,” ucapnya pada dirinya sendiri. Namun, saat membuka mata kembali, napasnya justru semakin tidak teratur.
Dadanya sesak. Semakin sesak.
“Oh, not again…” gumamnya panik. Dia meraba dadanya, mencoba memijat perlahan, berharap rasa sakit itu hilang, tapi rasanya semakin tak tertahankan. Rasa dingin menjalari tubuhnya. “No, no, no… tenang, tenang,” ucapnya, meski suara itu tak lebih dari bisikan yang menggema di kepalanya sendiri.
Mencoba mencari distraksi, Seungri keluar dari studio dan menuju kolam renang indoor di mansion. Air yang tenang dan dingin biasanya bisa menenangkan pikirannya. Dia duduk di pinggir kolam, membiarkan kakinya bermain di air yang sejuk. Suara gemericik air biasanya menenangkan, tapi hari ini rasanya seperti hanya menambah kebisingan dalam kepalanya.
Rasa sesak di dadanya makin berat, napasnya semakin pendek. Panik mulai merayapi tubuhnya. Dengan setengah berlari, Seungri kembali ke kamarnya, mencoba berbaring di tempat tidur. Dia pikir mungkin dengan berbaring, dadanya akan lebih terasa lega. Tapi tidak.
Napasnya semakin cepat dan berat. Keringat mulai membasahi keningnya. “Sial,” gumamnya pelan, kedua tangannya menggenggam erat seprai, seperti berusaha menahan rasa sakit yang semakin menusuk.
Saat itulah pintu kamarnya terbuka pelan, dan Eunji, perawat pribadinya, masuk dengan langkah cepat namun tenang. Begitu melihat Seungri terengah-engah, dia langsung bereaksi.
“Seungri, what’s going on? Are you okay?” tanyanya dengan suara lembut, meski ada ketegangan yang jelas di balik nada tenangnya. Eunji mendekat, tangan lembutnya langsung memeriksa detak jantung di dada Seungri, sementara pandangannya terfokus pada wajah pucat di depannya.
Seungri mencoba berbicara, tapi napasnya terlalu pendek. “Noona... sesak…” ucapnya terputus-putus, suaranya nyaris tenggelam dalam udara yang sulit dihirup.
Tanpa buang waktu, Eunji mengambil alat pengukur oksigen dari tas medisnya, memasangkannya di jari Seungri, lalu menyalakan monitor di samping tempat tidur. Angka-angka di layar menunjukkan bahwa tingkat saturasi oksigennya mulai turun.
“Stay calm, Seungri. Noona di sini,” ucap Eunji, mencoba menenangkan pasiennya. Dia meraih masker oksigen, segera menempatkannya di atas hidung dan mulut Seungri. “Tarik napas pelan-pelan, oke? noona tahu ini sulit, tapi kamu harus fokus.”
Seungri mengangguk lemah, berusaha keras mengikuti instruksi. Dia menutup mata dan mencoba menarik napas perlahan melalui masker oksigen itu. Udara dingin dari tabung oksigen mulai terasa masuk ke paru-parunya, sedikit mengurangi rasa sesak yang menyesakkan dada.
Eunji menatap monitor sambil memegang lengan Seungri. Tangannya terlatih, tapi di balik wajah profesional itu, ada kekhawatiran yang sulit dia sembunyikan. Dia tahu kondisi jantung Seungri, dan setiap kali anak muda ini mengalami serangan seperti ini, rasa takut akan yang terburuk selalu menghantui.
“Seungri-ssi, kamu pasti lelah main-main dengan nyawamu sendiri,” gumamnya dengan senyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Kalau kamu terus seperti ini, noona bisa tua sebelum waktunya.”
Seungri membuka mata sedikit, melihat perawatnya dengan tatapan lemah tapi penuh rasa terima kasih. Meski mulutnya ditutupi masker oksigen, dia masih mencoba memberikan senyum yang samar. “Kamu pasti sudah tua, noona,” bisiknya pelan dengan nada menggoda, napasnya masih terengah tapi lebih stabil.
Eunji tertawa kecil, merasa lega mendengar Seungri masih bisa bercanda meskipun dalam kondisi seperti ini. “Yah, kalau kamu terus seperti ini, aku akan tambah tua lebih cepat.”
Setelah beberapa menit, napas Seungri mulai kembali normal. Masker oksigen masih terpasang di wajahnya, tapi setidaknya kini rasa sesak itu perlahan hilang. Eunji memeriksa monitor satu kali lagi sebelum menatap Seungri dengan senyum lembut.
“Better?” tanyanya sambil melepaskan alat pengukur oksigen dari jarinya.
Seungri mengangguk, merasa sedikit lebih lega. “Gomawo, noona. Aku merasa lebih baik sekarang,” ucapnya lemah, suaranya serak tapi lebih tenang.
Eunji tersenyum, merasa lega bahwa dia berhasil menenangkan Seungri sebelum kondisinya memburuk. “Good. Tapi kamu harus istirahat yang cukup. Ingat, jangan dulu lepas masker oksigen itu, arraseo? Aku akan cek kamu lagi nanti. Jangan coba-coba kabur atau melakukan hal bodoh.”
Seungri mengangguk dengan mata setengah terpejam, terlalu lelah untuk membalas dengan candaan lagi. Setelah memastikan semuanya stabil, Eunji meninggalkan kamar, memberikan Seungri ruang untuk beristirahat.
Seungri berbaring diam di tempat tidurnya, tubuhnya terasa berat, tapi kini napasnya lebih ringan. Dia menatap langit-langit kamar, merenungkan semuanya. Meskipun dadanya masih terasa sakit, setidaknya kali ini dia bisa menarik napas lega. Dan meski rasa bosan serta keinginan untuk memberontak masih ada, kali ini dia merasa cukup untuk diam dan beristirahat—untuk sementara waktu.
tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebellious
FanfictionStep into the world of the Lee family, where Seungri, the rebellious son with a heart condition, finds solace in art and freedom. Follow his journey as he balances family expectations with his own desires, leaving a trail of drama and breathtaking a...