33. Terima Kasih

51 6 0
                                    

Saat tengah memeriksa e-mail di ponselnya, Bik Imah— pembantu di rumah Alan mengetuk pintu kamarnya.

"Masuk aja, Bik." sahut Alan, dia menoleh begitu wanita itu sudah berada didekatnya. "Kenapa, Bik?"

Bik Imah tersenyum tipis, sambil membawa cardigan Mustard yang sudah terbungkus plastik. "Ini Den, bajunya udah Bibi laundry dan disetrika. Mau ditaruh mana ya, Den?"

Alan melirik layar ponsel sejenak, barulah setelahnya dia menghampiri Bik Imah. "Sini, Bik. Biar saya yang simpan."

"Oh, ya udah, Den. Nih." Bik Imah lalu mengulurkan cardigan itu pada Alan sambil mengulum senyum. "Itu baju siapa, Den? Punya pacar Aden, ya?"

Alan tertawa canggung, "Belum, Bik. Do'ain aja secepatnya."

Bik Imah terkikik geli, "Aamiin. Ya udah, Bibi ke dapur dulu ya, Den. Nyonya udah nungguin Bibi dibawah."

Alan mengangguki, "Iya, Bik."

Setelah kepergian Bik Imah, Alan kembali tersenyum-senyum bahagia. Memandangi cardigan ditangannya lagi, dia jadi teringat tubuh Anna yang sedikit berisi. Pipi chubby-nya melayang-layang di otak Alan. Haish, nampaknya virus cinta Anna sudah menguasai dirinya.

Pria itu menggeleng-geleng malu. Memilih melupakan sosok Anna sejenak, dia beralih meraih paper bag di nakas. Mengisinya dengan cardigan Anna yang sudah dia lipat rapi dan disemprot perfume manly-nya. Dia berniat memberikannya nanti di kampus. Berharap benda itu bisa menghibur Anna yang tengah kalut karena kondisi ayahnya.

******

Begitu tiba di pelataran Fakultas, tak sengaja mata Anna menangkap sosok jangkung Alfi yang juga hendak menuju kelas. Segera saja gadis itu meneriaki si jangkung. Menghentikan langkahnya yang terkesan lebar-lebar.

"Alfi!"

"Iya? Kenapa Nana?" cemas Alfi. "Katanya kamu demam ya, semalem? Kepala kamu masih pusing?"

Anna menggeleng, "Eh, nggak. Nana udah sehat kok. Manggil kamu cuma mau kasih ini. Makasih ya, udah bawa dan jaga Papa ke rumah sakit."

Gadis itu segera menyerahkan paper bag berisi kue buatannya sendiri yang diajarkan Mbok Sum tadi. Demi Alfi— selama Anna belajar membuat kue, dia sampai beberapa kali melakukan percobaan ulang dan Anna harus memberi banyak alasan pada kedua sahabatnya yang terlalu kepo itu.

"Nih, dihabisin ya! Nana butuh banyak waktu buat bikin kue itu loh. Meski baru sembuh, Nana sempetin buat belajar bikin ini untuk kamu subuh-subuh."

"Beneran buat saya?" Alfi tersenyum haru, menerima paper bag dari Anna. "Nggak perlu repot-repot sih, sebenernya. Saya ikhlas bantuin Pak Wirya. Tapi makasih, ya. Udah repot-repot bikin ini."

Anna tersenyum senang, "Iya, nggak apa-apa. Nana juga ikhlas kok."

Alfi mengelus belakang lehernya malu, "Emm, kamu nggak marah lagi sama saya?"

Anna menggeleng dan menampilkan senyum manisnya.

Alfi terkekeh, "Ya udah, kalau gitu saya duluan ya?"

Anna hanya mengangguki. Kemudian dia membuntuti Alfi dari belakang sambil mencuri-curi tatap pada punggung lebar lelaki itu. Andai saja Anna bisa memeluk punggung itu, pasti akan terasa pas di dekapan tangan mungilnya.

Alfi menghentikan langkah, menyadari Anna mengikutinya. Belum sempat dia berbalik, gadis ceroboh itu sudah menubruk punggungnya.

Mendengar ringisan Anna, Alfi segera berbalik dan hampir mengelus kening Anna yang terasa ngilu. Namun niatnya urung saat menyadari masih ada batasan tak kasat mata diantara mereka.

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang