39. Kesunyian Yang Mencekik

85 9 0
                                    

Sore ini adalah giliran Anna menjaga sang ayah di rumah sakit. Kebetulan kakaknya tadi siang baru saja berangkat ke Bogor untuk menjalani pelatihan dan sosialisasi bersama teman-temannya. Sementara Lina tengah sibuk dengan jadwal pelaksanaan konseling kesehatan kulit pada klien di klinik kecantikannya.

Anna kini tengah tertidur pulas disamping pria paruh baya yang tengah terbaring di atas brankar. Alat bantu napas tak pernah lepas dari hidung ayahnya sebagai penopang hidup. Bahkan tubuh yang dulunya kekar nampak mengurus, begitu terlihat lemah dan kaku. Wajah tuanya pun begitu pucat dan terasa dingin. Membuat miris siapa saja yang melihat. Sesaat jari-jari tangan Wirya bergerak, seakan menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Anna melenguh, saat merasakan pergerakan halus didekatnya. Mata Anna mengerjap begitu menangkap jari jemari ayahnya bergerak perlahan. Segera saja gadis itu berlarian ke luar.

"Dok, dokter. Jari Papa saya bergerak." teriak Anna dari ambang pintu. Mengagetkan Alfi yang hendak membesuk.

Tio— dokter yang kebetulan lewat disekitar ruangan Wirya berlari menghampiri pasien yang tengah dia tangani itu. Lalu segera memeriksa keadaannya.

"Maaf, dek Anna. Tapi kondisi Papa adek masih sama seperti awal berada disini. Tidak ada perkembangan sama sekali." Tio menghela berat. "Kayaknya adek hanya berhalusinasi tadi. Sebaiknya dek Anna beristirahat yang cukup ya, jangan terlalu banyak pikiran."

"Ta-tapi, dok...." lirih Anna histeris, sambil menahan isak tangis. "Saya tadi yakin melihatnya. Ayo, bilang! Dokter pasti berbohong kan? Saya sangat merindukan Papa saya, dok. Tolong jangan mempermainkan saya begini."

Alfi segera berlarian menghampiri Anna, tanpa sadar dia mendekap gadis itu. "Nana, jangan nangis ya. Kamu nggak boleh kayak gini, kasihan Papa kamu. Tenang Nana, saya ada disini menemani kamu. Kamu nggak akan sendirian, okey?"

"Alfi?" tangis Anna pecah dalam dekapan lelaki itu. "Nana kangen Papa. Apa dia nggak lelah tidur terus? Ini udah hampir empat hari. Tapi Papa nggak bangun juga, Alfi."

"Iya, sabar ya. Kita semua juga mengkhawatirkan kondisi Pak Wirya." Alfi hanya bisa menepuk-nepuk punggung gadis itu, berharap bisa membuat perasaannya lebih tenang.

"Saya permisi dulu." pamit Tio, tak ingin mengganggu mereka.

Begitu dokter itu pergi, Alfi membawa Anna menuju sofa panjang dekat brankar. Lalu dia meraih segelas air minum di meja. "Nana, minum dulu ya?"

Anna menggeleng, "Nggak mau. Nana cuma pengen Papa bangun."

Alfi menghela panjang, "Nana...."

Namun Anna tetap diam. Matanya terus menatap sendu sang ayah yang masih terbaring koma.

"Ya udah, saya keluar dulu ya?" putus Alfi akhirnya. "Kalau butuh apa-apa panggil aja. Saya tunggu di depan kok."

Anna hanya mengangguki, dia masih tetap bungkam. Detik berikutnya, Alfi melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar ruang ICCU. Lalu mendudukkan diri di bangku tunggu depan sana.

******

Anna yang merasa bosan, akhirnya menyusul Alfi ke ruang tunggu. Dia mengernyit, mendapati lelaki itu malah melamun seorang diri sambil menatap suasana gelap taman dari balik jendela. Segera dia menghampiri si jangkung.

"Alfi!" panggil Anna, ikut duduk didekat Alfi sambil menyandarkan kepalanya ke dinding.

"Iya?" sahut Alfi terkejut, dia hanya melirik bingung gadis yang mengambil duduk tiga kursi lebih jauh darinya.

"Kok malah melamun disini?" tanya Anna menatap tak kalah bingungnya.

Alfi tersenyum tipis, "Nggak. Saya lagi cari udara segar aja. Sambil nungguin kamu."

Anna menghela, "Cari udara segar kok disini? Alfi mah aneh-aneh aja. Kan ditaman lebih bagus, banyak udara segernya. Kalau disini cuma ada bau obat doang."

Alfi malah terkekeh, "Taman terlalu jauh, saya nggak mau ninggalin kamu sendirian di ruangan Pak Wirya lebih lama."

"Alfi..." Anna menatap haru. "Kok kamu baik banget sih sama Nana? Padahal Nana kan bukan siapa-siapa kamu."

Alfi hanya mengirimkan senyum kalem seperti biasa.

"Alfi, apa Allah nggak sayang sama Nana ya? Kenapa begitu banyak cobaan yang datang?" lirih Anna. "Apa terlalu banyak dosa yang Nana lakuin selama ini? Sampe-sampe Allah menghukum Nana kayak gini?"

"Hush, jangan bicara sembarangan." tegur Alfi. "Allah sangat menyayangi hamba-Nya. Kamu tahu? Permasalahan yang menimpa kamu itu adalah bukti kasih sayang dari Allah. Seperti halnya Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari: Tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan apa yang menimpanya itu."

"Setiap dari kita pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa, baik sadar maupun tanpa disadari. Dan tahukah kamu? Jika pada hakikatnya, semua masalah yang dihadirkan oleh Allah kepada kita itu sebagai jalan untuk menghapus dosa-dosa tersebut. Jadi sekecil apapun masalah yang diturunkan, pastilah hal itu berbuah kebaikan bagi diri kita sendiri. Kita hanya harus ikhlas dan sabar menghadapinya."

"Sebagaimana halnya yang dijelaskan dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Nabi Muhammad SAW., beliau bersabda: Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman: Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka Aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala kecuali surga."

"Selain itu, ujian juga cara Allah menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik lagi dan taat kepada-Nya." jelas Alfi.

Alfi menatap Anna tenang. Walau dia tahu ada duka yang terpancar di binar mata gadis itu, Anna masih bisa tersenyum dihadapan Alfi. Lama Alfi menatap mata coklat terang Anna, hingga sebuah seruan lirih berhasil menyadarkannya.

"Andai semua itu benar?! Nana bakal seneng banget, Alfi. Makasih, ya. Udah hadir di hidup Nana. Setidaknya kita masih bisa menjadi teman yang saling berbagi keluh kesah kedepannya." kekeh Anna, segera menghapus sisa cairan bening yang sempat mampir di matanya.

Anna melirik Alfi dalam diam. Ada hati yang berdebar-debar didalam. Ada jantung yang bertalu-talu tak mau padam. Dan siluet dihadapannya bersinar dalam malam. Tanpa sadar mata Anna kembali meneteskan air mata.

Alfi hanya mampu mengirim senyum. Sejujurnya dia mulai merasa ragu dengan perasaannya. Alfi juga sedikit kecewa dengan ucapan Anna barusan.

Mereka terjebak dalam keheningan yang panjang. Hingga akhirnya lamunan Anna buyar saat mendapati Alfi bangkit menjauh ke sisi koridor lain. Ketika lelaki itu kembali sambil membawa sebotol air minum di tangan, tanpa sadar jantungnya berdetak kencang. Dan ketika Alfi mendekat, Anna segera menunduk.

"Minum dulu." Alfi mengulurkan botol minum di tangannya. Sambil tangan yang lain mengulurkan sekotak kecil tisu.

Anna tersadar dan langsung mengelap ingusnya, lalu menjawab dengan cicitan lirih. "Makasih."

"Saya sholat Isya dulu, ya?" Alfi mengangkat tangannya menunjuk sebuah musholla di belakang taman.

Anna mengikuti arah tatapan Alfi. Dia langsung malu menatap musholla megah itu. "Ah, Nana juga belum. Ya udah, Nana ikut."

"Boleh."

Anna ingin memukul bibirnya yang lancang. Tapi saat sadar Alfi sudah memberi spot dirinya untuk melangkah lebih dulu, segera dia bangkit. Sementara Alfi mengekor dibelakangnya.

Tanpa sadar Anna jadi salah tingkah sendiri saat sadar kostum apa yang dikenakannya kini. Mata Anna tak henti-hentinya melirik kebawah. Tepat ke arah sepan jeans separuh lutut yang dipakainya. Juga kaos tipis you can see-nya yang untung dia lapisi jaket milik Miko. Tadi Anna terlalu terburu-buru sampai tidak sempat ganti baju. Hanya sempat menyambar jaket saja. Begitu mendapat telepon dari Miko, dia langsung kesini dan tidak perduli apapun lagi, karena kakaknya itu akan segera berangkat pelatihan. Pikirannya sudah panik. Sekarang dia cukup menyesal menyadarinya.

Anna meringis. Duh, salah kostum dia di hadapan Alfi. Malu juga kalau dipikir-pikir. Tapi sudah kepalang tanggung. Waktu tak bisa diputar lagi. Bodoh amat Alfi mau berkomentar apa mengenai dirinya.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang