Suara deru mesin mobil terdengar nyaring disekitar arena sirkuit. Lalu seorang gadis cantik terduduk didalam salah satu mobil yang tengah mengikuti balapan tersebut.
Saat pertandingan sudah di mulai, segera saja dia menarik tuas dan menekan gas. Membawa mobilnya melaju kencang di jalanan aspal.
Gadis itu tersenyum miring, ketika mobilnya berhasil menyalip mobil lain dan kini dia berada di urutan terdepan.
"Akhirnya stabil juga. Hebat sekali, Moon StarLight." gumamnya, tersenyum puas. "Ya, aku memang cemerlang."
Si gadis pembalap terus memutar setir, begitu berada di tikungan. Sesekali dia akan menambah kecepatan mobil, saat ada pengendara lain yang hendak menyalipnya. Pandangan gadis itu terlihat was-was. Matanya melirik sejenak kawasan sekitar.
"Hmm, di jalan pegunungan yang mulus ini pasti ada jebakan."
Lalu ketika ada persimpangan dua arah didepannya, dia tersenyum dan segera memutar setirnya lagi. Membawa mobilnya berbelok ke kiri, melintasi jalan setapak. Dan ketika mobilnya dihadang oleh gundukan bebatuan, wajahnya berubah bingung.
"Bisa-bisanya nggak ada jalan." dengusnya, menahan jengkel. Sedetik kemudian, dia tersenyum licik. "Kalau nggak ada jalan lagi, maka aku akan menciptakannya."
Setelahnya dia kembali menarik tuas dan menekan gas sekuat mungkin, mendorong bebatuan itu hingga terkikis dan membentuk lubang besar untuk jalan keluarnya.
Setelah melewati perjuangan panjang, akhirnya gadis itu berhasil menembus objek yang menghalangi jalannya. Langsung saja dia meneruskan perjalanan dan mempercepat laju mobil, melintasi titik akhir di ujung jalan pintas ini. Dan ketika dia berhasil kembali ke jalur sirkuit di jalan aspal, si gadis menghembuskan napas lega.
"Menarik." ucapnya, sambil mengukir senyum tipis. "Setelah lewati tikungan S ini, aku pasti menang."
Detik berikutnya, si gadis pembalap memutar setir dan menyeimbangkan laju mobil.
Usai melewati tikungan tajam itu, segera saja dia membawa mobilnya menuju ke garis finish di depan sana. Dan begitu dia berhasil melewati garis terakhir dari pertandingan ini, senyumnya semakin terkembang lebar. Matanya bahkan terlihat sudah berbinar-binar cerah.
~~~~~~
"Renjani! Ren!" pekik Lisa, di balik pintu kamar sang putri bungsu.
Sepi. Tidak ada sahutan sama sekali.
"Ren? Ibun masuk, ya?" seru Lisa lagi.
Namun masih tak ada suara. Gadis yang di panggil hanya diam saja, bahkan keadaan didalam sana terdengar hening. Membuat Lisa berdecak gemas dari balik pintu. Menahan kesal, akhirnya dia segera menekan knob.
Begitu masuk, mata Lisa langsung disambut oleh punggung sesosok gadis muda yang tengah terduduk di depan komputer. Netra gadis itu masih menatap lurus ke layar desktop yang menampilkan beranda sebuah game online, lalu telinganya juga di sumpal oleh headphone.
Seketika wajah Lisa merah padam dibuatnya. Langsung saja dia mendekat dan melepaskan alat yang menutupi pendengaran putrinya itu, hingga membuat si gadis gamers berjengit kaget.
Renjani menoleh, "Eh, Bundahara. Ehehe. Kenapa, Bun?"
Lisa berkacak pinggang. Detik berikutnya, dia memelintir daun telinga sang putri dengan gemas.
"Kamu tuh ya, dari tadi dipanggilin nggak nyaut-nyaut." decak Lisa. "Tahunya lagi main game. Masya Allah, nak. Jadi gini ya, kelakuan kamu selama di Padang dulu?"
"Aduduh, sakit, Bun." pekik Renjani, sambil memegangi kupingnya yang masih ditarik sang Ibu. "Ampun, Bun. Lepasin, ih."
Lisa mendengus, sebelum menarik kembali tangannya menjauh dari telinga anaknya itu. Matanya masih menampilkan kilatan tajam penuh geram.
"Apa sih, Bun?" ringis Renjani, melirik Ibunya takut-takut. "Kok tiba-tiba marah gini? Biasanya kan Ibun juga cuek aja sama kegiatan Ren."
"Halah. Ya, kalau kegiatannya bermanfaat mah Ibun nggak akan ngelarang kamu, Ren." cibir Lisa. "Tapi ini kamu tuh asyik main game aja di kamar, sampe lupa makan."
Renjani hanya terdiam sambil menunduk.
"Hih, mulut Ibun sampe berbusa loh ini. Di panggilin dari bawah, tapi kamu-nya nggak nongol-nongol. Ya, wajar aja dong. Kalau Ibun kesel sama sikap kamu ini. Pantes aja Nini mu nyuruh kamu balik ke sini. Pasti kamu ngerepotin beliau kan selama disana? Ngaku kamu, Ren!" omel Lisa lagi. "Ya Allah, Ibun nggak tahu harus bagaimana lagi. Padahal Ibun nggak pernah ngajarin kamu jadi bandel kayak gini, nak."
"Ih, nggak. Ren nggak ngerepotin Nini kok. Ren pindah, juga karena keinginan sendiri. Nggak ada paksaan dari siapapun." cicit Renjani. "Kalau nggak percaya tanya aja sama Nini. Ren nggak bohong. Sumpah."
Lisa menatap tak percaya, "Masa? Terus ngapain kamu balik ke Bandung?"
Renjani tercengang, "Ih, masih aja curiga. Ren kan kangen Ayah Ibun. Masa pulang ke rumah sendiri nggak boleh?"
"Hilih, alesan." cibir Lisa lagi. "Paling juga karena nggak betah kan? Atau Nini mu galak ya, sama kamu?"
Renjani menyengir, "Ehehe tahu aja, Bun. Dua-duanya bener kok."
Lisa mendengus gemas, "Hadeh, udah Ibun duga. Ah, tapi ya sudahlah. Sejujurnya Ibun juga nggak bisa jauh dari kamu. Kan Uni mu udah nikah. Ibun kesepian, nggak ada yang bantuin beberes rumah. Ahaha."
Renjani memberengut, menatap malas sang Ibu ratu. "Jahatnya. Berarti keberadaan Ren disini cuma buat di jadiin babu doang? Gini nih, kalau Ren selalu di anak tiri kan sama Ibunda. Nggak adil banget."
Wajah Lisa berubah datar. Tanpa sadar dia menyentil kening lebar putrinya itu. "Mana ada Ibun pilih kasih sama kamu. Ngawur banget kalau ngomong."
"Ya, habisnya Ibun bilang gitu. Ren kan jadi sedih. Ibun kayak nggak sayang aja sama Ren." lirih Renjani. "Ibun kan dulunya selalu banding-bandingin Ren sama Uni Selin. Jadi nggak salah dong, kalau Ren kecewa dan anggep ucapan Ibun tuh serius?"
Lisa menepuk jidat frustasi, "Ck. Lebay banget kamu ini, Ren. Udah ah, baperan amat. Ibun tadi kan cuma bercanda."
Renjani hanya mengedik acuh, sambil melirik bete sang Ibu.
"Omong-omong, gimana sekolah baru kamu? Nggak ada yang gangguin kamu kan, selama setahun ini?" tanya Lisa, mengalihkan pembicaraan. "Oh iya, lingkungan dan kelas disana gimana? Seru kan?"
"Hmm, aman, Bun. Sekolahnya bagus dan seru banget. Disana Ren juga banyak dapet temen baru loh." sahut Renjani antusias. "Jadi selain Intan dan Friska, temen Ren nambah lagi disini. Nggak nyangka, ternyata murid-murid dan guru disana pada ramah semua. Ren makin betah jadinya."
Lisa menghembuskan napas lega, "Syukurlah kalau begitu, nak. Ibun ikut seneng dengernya. Semoga kamu bisa lulus dengan nilai terbaik ya, nantinya. Dan bisa masuk Universitas pilihan kamu itu."
"Aamiin, Bun. Ehehe." kekeh Renjani. "Oh iya, untung ada Ayah juga yang ngajar disana. Jadi kemarin-kemarin, Ren bisa cepet beradaptasi di lingkungan barunya. Berkat Ayah juga, Ren bisa mempelajari materi yang sempat tertinggal di kelas dengan lancar."
"Iya, sayang." Lisa tersenyum bangga. "Ya udah, yuk, kita turun ke bawah. Tadi Ibun udah masak makanan kesukaan kamu. Kita sarapan bareng. Ayah mu juga udah nungguin di meja makan loh."
Mendengar itu, Renjani buru-buru bangkit. "Loh, Ayah udah pulang dari perjalanan dinas toh, Bun? Duh, kok nggak bilang dari tadi sih? Kalau gitu, ayo, Bun. Cepetan kita turun. Kasihan Ayah, pasti udah kelaperan."
Lisa hanya meringis, menatapi punggung Renjani yang semakin menjauh. Akhirnya dia menyusul langkah tergesa putrinya itu.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Dosen
RomanceAnnara yang merupakan mahasiswi cantik dan populer di kampusnya sangat di kagumi oleh banyak pihak. Parasnya yang menawan begitu dipuja-puja semua kalangan. Kehidupannya yang terlihat sempurna tak bercelah dan bergelimang harta, membuat orang lain s...