54. Dua Perempuan Rempong

41 7 7
                                    

Miko mengernyit saat melangkah dari arah dapur, ketika jeritan-jeritan kegaduhan dua orang gadis terdengar saling bersahutan. Lalu tiga buah koper dan setumpuk boneka memenuhi ruang tamu. Tidak ketinggalan beberapa kardus yang entah apa isinya juga tergeletak disana. Mungkin ada sekitar lima buah, dengan ukuran yang lumayan besar.

Miko masih menatapi barang-barang itu, sebelum seruan penuh geram kembali terdengar disertai dengan suara rengekan.

"Ih, Mili! Itu boneka Toro-nya Nana! Jangan di buang-buang dong, huah."

Emili berdecak gemas, masih sambil mendekap boneka teddy bear cream dengan ukuran super besar ditangannya. "Lagian ngapain sih, Lo bawa boneka segala? Mana gede lagi! Menuh-menuhin mobil aja deh! Bikin sesak tahu!"

"Heh! Ada apa ini ribut-ribut? Suaranya kedengeran sampe ke luar loh." Miko menggeleng-gelengkan kepala. Menghampiri kedua gadis rusuh itu. "Ini juga, kenapa banyak barang-barang aneh gini? Mau pindahan kalian?"

Emili mendengus, "Ini punya Nana semua, Mas. Mili nggak ikut-ikutan. Salahin aja Nana, jangan Mili."

"Huhu, kok barang-barang Nana dikatain aneh sih? Kan isinya cuma jajanan, poster artis Korea, set pakaian, skincare, alat makeup, sama beberapa boneka Toro yang ukuran kecil." ringis Anna sambil menatapi tumpukan kardus dihadapannya. Dia baru sadar, ternyata jumlahnya lumayan juga.

"Ya, tapi nggak sebanyak ini juga, Nana!" geram Miko. "Mobil Mas nggak bakal muat nampung ini semua! Belum lagi ditambah punya Mili dan Mbak Lina. Udah masukin lagi ke kamar mu! Bawa yang penting-penting aja! Lagian kita cuma dua hari kok. Nggak sampe berbulan-bulan, apalagi bertahun-tahun."

Anna memberengut. Akhirnya dia memisahkan satu koper pakaian dan menyambar beberapa snack beserta perlengkapan rias dari dalam kardus. Boneka didekapan Emili pun tidak ketinggalan dia rebut dari tangan gadis itu.

"Tapi Toro jangan ditinggal ya, Mas. Nanti Nana nggak bisa tidur soalnya, kalau nggak ada Toro." lirih Anna, sambil mendekap bonekanya erat-erat. Takut jika direbut orang lagi.

"Ck. Ya udah, terserah kamu." Miko akhirnya mengalah. "Buruan itu barang-barang yang nggak di bawa, letakin lagi ke kamar. Jangan bikin sumpek disini. Ntar temen-temen Mas mau kesini. Nggak enak kalau mereka lihat, rumah udah kayak kapal pecah gini. Kardus bertebaran dimana-mana."

"Iya, iya." lalu Anna segera mengangkuti barang-barang itu ke kamarnya kembali sambil menghentak-hentakkan kaki. Meluapkan rasa kesal yang masih tersisa.

Miko hanya geleng-geleng melihat kelakuan adiknya. Dia memegangi keningnya yang tiba-tiba pening. Apalagi ketika menangkap sebuah bantal guling karakter dengan potret artis Korea bernama Cha Eun-Woo tergeletak di meja.

"Haduh, ini lagi! Punya siapa itu guling?"

"Eh, punya gue, Mas." cengir Emili dengan tampang bodoh. "Gue nggak aneh-aneh kok, Mas. Ehehe. Cuma itu aja yang gue bawa, sama koper— satu. Boleh ya, Mas?"

Miko menghembuskan napas pasrah, mencoba menyabarkan hatinya. Ya Allah, kenapa perempuan-perempuan disekitarnya ini tidak ada yang waras? Rasanya ingin mengumpat saja dia.

"Ya udah, cukup itu aja. Jangan nambah lagi." sahut Miko, kembali mengalah.

"Siap, Mas." pekik Emili, segera menyambar gulingnya dan dia dekap erat.

Tak memperdulikan Emili, Miko kembali melangkahkan kaki ke kamarnya. Membantu Lina dan Amel mengangkuti koper-koper milik mereka ke teras.

Setelah kepergian Miko pun, Emili masih asyik mendekapi gulingnya sambil sesekali menciumi benda itu dengan sayang. Hingga dia tidak menyadari kedatangan gerombolan orang dibelakangnya.

"Daripada kamu melukin guling, mending meluk saya. Lebih empuk dan nyaman."

"Kyaa. Setan mesum." Emili terlonjak kaget ketika mendengar suara bisikan lembut ditelinganya. Refleks dia memukul-mukulkan gulingnya ke arah orang itu.

"Stop, Mil. Ini saya." ringis Bayu, sambil mencoba menghindar.

"Eh?" Emili mengerjap. Begitu sadar, dia langsung menghentikan serangannya. Menatap Bayu salah tingkah. "Maaf, Pak. Saya nggak tahu. Ehehe."

Bayu hanya melirik sebal. Tangannya terus mengelus bahu yang terasa kebas akibat serangan mendadak gadis judes itu. Dibelakangnya Yoga sudah tertawa-tawa bersama Zoya— bocah centil berusia lima tahun seumuran Zaidan dan Amel. Tak ketinggalan, Celina turut mengirim kikikan yang sama. Seakan mengejek kebodohannya di pagi hari ini.

"Om Bay ngapain sih, gangguin ante Uti? Ngamuk kan jadinya." kekeh Zoya.

Kening Bayu mengerut, "Uti siapa, cil?"

"Ih, Om mah. Itu loh, ante yang pake ijab didepan Om." tunjuk Zoya pada Emili. "Uti kan nyebutnya?"

"Saya?" Emili masih mengerjap-ngerjap tak kalah bingung, sambil menunjuk dirinya sendiri. "Maksud adek, ukhti? Yang suka pake hijab kan? Kalau ijab mah lain lagi."

Zoya mengangguk dengan polosnya, "Emang beda ya?"

"Beda lah, nak. Ijab itu kalau orang mau nikah, baru di ucapin. Sementara hijab, ya, buat dipake ke kepala. Untuk nutupin aurat kita. Kayak yang Mama pake ini loh. Tahu kan?" kekeh Celina, sambil menggandeng anaknya itu. Mengajak si bocah centil duduk di sofa mengikuti sang Ayah.

"Oh iya, Ma. Zoe udah ngerti." sahut Zoya, mengangguk-angguk lagi. Matanya sesekali melirik Emili yang kini terlihat menjaga jarak dengan Bayu. Bahkan keduanya saling menatap malu-malu dari kejauhan. "Nama ante Uti tuh siapa, Pa? Kok kayaknya deket banget sama Om Bay. Zoe jadi cemburu deh."

"Itu Tante Mili. Pacarnya Om Bayu." Yoga menyahut masih sambil cekikikan. "Bentar lagi juga ijab mereka, ahaha. Kamu jangan ganggu mereka, ya, nanti. Kalau udah sampe di penginapan."

Zoya memberengut jengkel karena Om kesayangannya terancam direbut oleh Tante Ukhti itu. Melihat kecemburuan tak berarti putri kecilnya, membuat Yoga semakin mengencangkan tawa.

"Sabar ya, Zoe. Om Bayu sukanya sama Tante Mili. Dia nggak suka bocil ingusan kayak kamu ini. Kencing aja masih di celana. Haha." ejek Yoga.

"Ih, Papa! Zoe nggak suka ante Mil. Dia ngerebut suami idaman Zoe. Huah." Zoya sudah berlinangan air mata. Hampir saja bocah itu menangis.

"Aduh, jangan cengeng, ih." ringis Celina sambil mendekap Zoya. Lalu dia mendelik sejenak ke arah suaminya, sebelum menatap putrinya lagi. "Kan masih ada Abang Idan. Anaknya Om Ris itu loh. Inget kan? Dia juga seumuran kamu, Zoe. Nanti Mama kenalin ya, kalau dia udah sampe. Mereka masih di jalan katanya tadi."

Zoya langsung menoleh sumringah, mendengar nama bocah itu. Seakan dia punya mainan baru. Bayu pun jadi terlupakan.

"Hmm, mau, Ma." jawab Zoya penuh semangat.

Tak berapa lama kemudian, suara pekikan heboh pun terdengar memenuhi ruangan.

"Zoe!" panggil Amel, berlarian menghampiri temannya itu.

"Mel!" balas Zoya, tak kalah riangnya. "Mel ikut juga? Kirain nggak. Soalnya Mel nggak kelihatan dari tadi."

Amel cekikikan. Segera dia tarik tangan Zoya dan membawanya ke teras depan. "Hihi, Mel tadi habis beres-beres sama Mama. Ini baru kelar, Zoe."

Zoya hanya membulatkan bibir. Lalu dia mengikuti langkah Amel menuju kolam ikan hias diujung teras. Bocah-bocah itu kini asyik tertawa-tawa sambil menggosipi makhluk berinsang didepan mereka.

Hampir sepuluh menitan kedua bocah itu mengamati koi-koi, yang kini tampak saling berkejaran di kolam. Hingga tak berapa lama kemudian, rombongan Alfi tiba di pelataran rumah megah Miko. Begitu Zaidan turun dengan digandeng oleh Ayahnya, mata Zoya langsung berbinar-binar cerah.

"Uwah, ternyata Bang Idan lebih tampan dari Om Bay. Zoe suka Bang Idan." batin Zoya gemas. Dia terus menatapi bocah laki-laki itu. "Huah, Zoe pengen cepet-cepet gede, Mama. Biar bisa nikah sama Bang Idan."

Lalu— ketika Zaidan mengirimkan senyum ramah ke arahnya, Zoya semakin menjerit bahagia dalam hati. Seruan Amel pun terabaikan begitu saja. Bocah centil itu kini hanyut dalam dunianya sendiri.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang