37. Kamu Cemburu?

91 9 0
                                    

Baru saja ingin bernapas lega, langkah Alfi dan Anna terhenti oleh kedatangan Yoga yang mencegat mereka di ambang pintu ruang Divisi Operasional.

"Eh, mau kemana?" Yoga menatap penuh cibiran. "Pantes baksonya ditungguin lama banget. Ternyata sambil pacaran belinya."

Haris tak mau ketinggalan. Sambil mengalungkan lengannya di leher Yoga, dia tersenyum jahil. "Berangkatnya sih tadi sendiri. Eh, pulangnya berdua."

Anna hanya memaksakan tawa, melirik Alfi yang mengedikkan bahu cuek. Tiba-tiba dadanya berdesir. Apa maksud perkataan Alfi tadi? Apa lelaki itu serius?

Yoga menyenggol lengan Haris. Mulai memancing godaan lagi. "Ris, Lo pernah nonton drama Bollywood nggak?"

"Hah, apa? Drakor kali yang Lo maksud, Ga. Adegan lari-lari manja di tengah hujan gitu kan, ya?"

"Iya, sepayung berdua. Basah. Basah, seluruh tubuh." keduanya menjerit kompak.

Alfi menatap tak perduli. Matanya beralih melirik Anna yang hanya tersenyum malu sambil berusaha mengeringkan rambut basahnya. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun, rambut Anna masih terlihat begitu indah di matanya. Tanpa sadar Alfi memuji.

Astaghfirullah, sebutnya begitu dia sadar. Memilih mengabaikannya, Alfi berjalan masuk meletakkan plastik kresek di tangannya ke atas meja. Bayu yang seperti biasa tengah aktif dengan WhatsApp dan segudang aplikasi jodoh, langsung terlonjak berseru heboh.

"Mantap. Ujan-ujan gini makan bakso. Gas lah, punya gue mana?" tanya Bayu sambil membongkar-bongkar isi kresek. "Bakso mercon jumbo, nggak pake mie loh. Awas kalau salah, gue suruh turun balik lagi."

"Iya. Ada kok, Bang. Pesenan Lo semua udah gue catet tadi." ringis Alfi, ikut mencari milik Bayu. "Punya Mas Yoga bakso urat kan? Eh, punya Bang Bayu mana ya tadi?"

Yoga berseru dari jauh, "Mantap. Akhirnya keinginan gue terkabul. Mana sini bakso urat gue."

"Bini Lo nggak lagi ngidam kan?" celetuk Haris, menatap aneh Yoga. "Kalau mau bikin yang kedua ajak-ajak dong. Siapa tahu ngidam bareng ye kan?"

Yoga tertawa dan melempar high five pada Haris, "Cakep juga ide Lo, Ris."

Alfi memelotot melirik Yoga dan Haris. Bicara tidak pernah di filter. Sudah jelas didepan mereka ada anak-anak yang masih bau kencur. Tanpa sadar Alfi meringis melirik Anna yang juga sama-sama malu mendengar pembicaraan laki-laki dewasa di antara mereka.

Masya Allah. Alfi ingin meneriaki Abangnya. Dan begitu Abangnya itu meminta miliknya, langsung dihadiahi Alfi dengan raut datar. "Punya Lo nggak gue beliin."

"Dih, gini ya Lo sama Abang sendiri."

Alfi menghempaskan sisa bakso didalam kresek ke meja Haris, "Tuh, bakso punya Lo."

Haris menggerutu jengkel menemukan plastik bakso didalam, "Lah, ini nggak pakek mie. Gue bilang apa? Komplit, dungu. Mienya pakek yang kuning sama bihun. Kalau ini mah bakso doang. Mana bisa gue makan. Heh, punya kuping dipekek dong."

"Habis mienya. Lo rebus sendiri aja. Gue ada Indomie di rak." Alfi menjawab jutek. "Ribet amat."

"Wah, minta dicabein mulut Lo ya?" Haris menggerutu tapi tetap membuka bakso didalam kresek meski ogah-ogahan. "Ga, bagi mie dong!"

Yoga memelotot dari mejanya, "Ogah. Ambil aja punya Miko."

Haris menghela, beralih menatap Bayu yang masih berkutat pada layar ponsel. "Yu, Lo...."

"Apaan? Nggak ada. Gue nggak pakek mie." ketus Bayu dari mejanya juga, langsung memotong begitu saja. Lelaki itu menyahut masih sambil menatap layar ponsel.

"Main Tantan mulu kerja Lo. Gue do'ain nggak laku Lo." dengus Haris. Lalu dengan sengaja mengurangi jumlah mie didalam plastik bakso Miko. Mumpung yang punya masih rapat, pikirnya sambil tertawa puas.

Alfi hanya meringis. Tentu saja dia sengaja mengerjai Haris. Biar tahu rasa Abangnya itu. Salah sendiri sering mencampuri makanannya di rumah dengan sambal. Alfi terkekeh, lalu teringat satu porsi bakso di tangannya. Matanya melirik Anna yang kini asyik tertawa mendengar kelakar Haris.

Tanpa sadar Alfi ikut tersenyum melihat kepedihan gadis itu hilang. Alfi menghela napas, sebenarnya ada apa dengannya? Peduli apa dia dengan Anna? Mengenyahkan pikirannya, Alfi segera menyerahkan bakso di tangannya pada gadis itu.

"Punya kamu."

Anna menerimanya dengan ceria, "Makasih, ya. Nana tuker berapa?"

"Nggak usah. Dibayar Mas Miko semua kok." jawab Alfi berbohong.

Anna mengernyit bingung. Tapi akhirnya mengirimkan senyum. Lalu buru-buru berlari mencari mangkuk di pantry. Alfi hanya mengawasi pergerakan Anna. Tentu saja aslinya bayar sendiri. Bahkan Alfi harus susah payah menarik dua puluh ribuan dari keempat senior pelit itu. Kalau tidak begitu, mana diganti uangnya. Apalagi Bayu yang super pelit urusan uang. Tapi untuk Anna, Alfi akan memberikan gratis. Karena gadis itu pernah bersusah payah membuatkan kue brownies untuknya. Meskipun bantet dan kemanisan. Lamunan Alfi buyar saat didengarnya obrolan lirih dari samping.

"Nana, kalau Lo bisa jadi jodoh sama Alfi bagus loh. Persahabatannya Miko dan Haris bakal abadi tuh." Yoga tertawa lebar. "Lo nggak tertarik gitu sama Alfi? Udah ganteng, pinter lagi. Mana anak alim. Tunggu apa lagi, Na? Nggak usah nyari jauh-jauh. Tuh, didepan Lo kurang apa sih? Mana keluarganya jelas kan. Apalagi Miko sama Haris udah sahabatan dari lama banget."

Anna mengalihkan wajah menahan rona di pipinya. Andai saja semua semudah yang terucap. "Ah, nggaklah, Mas. Nana kan bukan tipenya. Mana pantes. Ya kan, Alfi?"

Alfi mengerjap kaget. Sesungguhnya dia mulai tidak bisa menjawab. Maka, dia hanya mengirimkan senyum tipisnya seperti biasa.

"Nana maunya gimana?" Haris menarik kursi mendekat. "Mau sama Alfi? Mau sama adeknya Abang yang nggak jelas kayak gini? Kalau mau, ya sok atuh. Yuk langsung aja. Ngapain lama-lama segala?"

Alfi memelotot ke arah Haris yang berbicara ngawur. Tapi diam-diam menahan napas, sambil melirik ekspresi Anna.

Anna terkekeh malu. Matanya hampir menubruk Alfi yang tampak menunggunya dengan sabar. Malah membuat Anna mendadak kaku tak bisa bicara.

"Eh, kalau Nana... Nana..."

Alfi mengangkat alisnya, "Ya?"

"Nana..." Anna ingin merutuki bibirnya yang kaku. "Emm, Nana..."

Akhirnya hanya helaan napas Alfi yang terdengar. Rautnya berubah sedikit kecewa. "Nana kan punya pacar. Ya kan, Na?"

Anna menahan kesal.

Harus berapa kali sih, Nana bilang! Dipta bukan pacar Nana, Alfi!

Ah, Anna ingin memukul bibirnya yang malah kehilangan kata-kata. Seharusnya dia lebih cepat merespon. Rasanya Anna ingin berteriak, tapi Alfi sudah terlanjur bangkit menuju pantry sambil membawa mangkuk yang tadi dia ambilkan. Lalu Alfi mengambil gelas untuk dirinya sendiri.

Lelaki itu kini sibuk membuka plastik baksonya sendiri dan menuangkan ke mangkuk. Setelah itu Alfi melangkah mendekati bangku di sudut pojok pantry dan menuangkan air ke gelas yang tadi diambilnya. Alfi kini duduk memunggungi mereka. Anna menunduk sedih, setelah menatap punggung lebar itu dari kejauhan.

Alfi kembali menghela panjang, menatapi baksonya. Bukannya langsung di makan, lelaki jangkung itu malah terus mengaduk-aduk bakso tanpa minat. Wajahnya terlihat murung. Anna jadi bingung sendiri dengan tingkah lelaki itu.

Ya Allah, Alfi. Kamu kenapa sih? Salah ya kalau Nana berharap kamu cemburu?

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang