52. Terjebak Dilema

58 8 0
                                    

Sebenarnya kita tidak pernah takut untuk mengatakan cinta, tapi kita takut untuk mendengar jawabannya.

.
.
.
.

Imagine: Rumah Joglo Alfi Family's

Begitu tiba didepan rumah, pandangan Alfi langsung tertuju pada Nenek yang tengah merajut syal di bangku teras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu tiba didepan rumah, pandangan Alfi langsung tertuju pada Nenek yang tengah merajut syal di bangku teras. Sementara Bundanya tengah sibuk menyiram tanaman.

Mengabaikan kegiatan kedua wanita beda usia itu, Alfi membawa kakinya melangkah mendekati kolam ikan koi didekat pagar samping dengan sebendel jurnal Ekonomi berada di tangannya dan mendudukkan diri ditepian kolam dengan kaki menyilang. Lalu membuka-buka Jurnal meski nyaris separuh dari bendel kertas itu tak masuk di otak. Merasa bosan, akhirnya dia letakkan buku itu dan beralih menatap riak-riak kecil di kolam. Perlahan diraihnya sekotak sakari dan dilemparkannya sedikit demi sedikit ke arah sana, tanpa semangat sama sekali.

Alfi menghela napas panjang. Memutuskan meraih jurnalnya lagi, tapi gagal karena pikirannya kembali bercabang dan pada akhirnya berpusat pada satu nama.

Anna.

Hembusan napas terdengar lagi dari bibir Alfi. Tanpa sadar kembali mengingat Anna dan kebersamaannya dengan Dipta tadi siang. Rasa kesal tiba-tiba menghampirinya.

Ah, ada apa dengan dirinya? Perduli apa Alfi pada kelakuan tak tahu malu mereka berdua? Terserah saja lah, gadis itu mau berbuat apa. Toh, itu bukan urusannya.

Lalu suara heboh dan tidak asing mengalun lantang tiba-tiba, "Assalamualaikum! Atuk ooh Atuk!"

Dari suaranya saja Alfi sudah tahu siapa gerangan yang mengganggu lamunannya. Alfi mendengus kesal. Ditatapnya Arfan yang melangkah memasuki halaman rumah dengan gaya bak berandal andalannya.

Astaghfirullah, ucapnya dalam hati. Dikira rumah ini punya Datuk atau bagaimana? Atau adiknya itu sedang menghayati peran sebagai Upin dan Ipin si dua bocah tuyul.

"Eh, nggak dijawab lagi sama si Atuk satu ini!" Arfan masih mengoceh sembari menenteng sepatu futsalnya. "Gue ulang ya, salamnya? Ass—"

"Wa'alaikumusalam!" jawab Alfi ketus. "Lain kali kalau ngucap salam yang bener. Lo kira ini rumah Upin-Ipin apa?"

Arfan menggaruk kepala masa bodoh. Seragam Imtaqnya lecek. Sementara kakinya kotor, bekas comberan hujan. Dan seakan tidak perduli dia malah terus melangkah, membuat ringisan Alfi semakin menjadi-jadi melihat lantai bersih dihadapannya kotor tiba-tiba. Sesekali matanya melirik Alin yang masih tidak menyadari kedatangan Arfan. Bundanya itu masih sibuk mengguyur air menggunakan selang ke arah bunga-bunga kesayangannya.

"Bener-bener ya, Lo, generasi Upin-Ipin. Bandel banget kalau dibilangin."

"Ahaha! Kalau gue Upin-Ipin, Lo kak Ros dong! Ciah, kak Ros! Cocok sih, sama-sama tukang marah. Eh, bukan, bukan..." suara Arfan terhenti sejenak sebelum akhirnya tertawa lagi. "Kalau gue Ipin, Lo Upin! Ciah!"

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang