3. Ketiban Tresna

232 10 0
                                    

"Aku jarang mencintai seseorang. Tapi ketika aku sudah jatuh cinta, aku akan benar-benar mencintainya sangat dalam. Sampai lupa caranya berhenti."
~ Nana 2021

.
.
.
.

Tidak terasa sudah dua tahun lamanya, Anna berkuliah dan mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas jurusan Manajemen. Dan selama itu pula, banyak hal yang dia dapat. Mulai dari memahami banyak materi hingga mengetahui watak setiap dosen yang mengajarnya. Baginya hal itu cukup menyenangkan. Terlebih, sekarang dia menjadi primadona baru di kampus. Sehingga membuat Anna menjadi tambah semangat mengikuti jadwal kuliah.

"Okey, kelas hari ini cukup sampai disini." ucap Bu Rani— dosen mata kuliah Matematika Ekonomi, mengalihkan lamunan panjang Anna.

Begitu dosen itu keluar dari kelas, Anna segera melirik jam di pergelangan tangannya. Angka sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Para mahasiswa yang tadi memenuhi kelas, kini sudah berbondong-bondong meninggalkan kelas tersebut. Sebagian bersiap menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah keroncongan dan sebagian lagi entah menuju kemana, Anna tidak perduli.

"Bengong mulu, kesambet tahu rasa kamu." cibir Rara, langsung menarik lengan Anna. "Kantin, yuk!"

Anna yang tidak siap, hampir terjungkal dan membentur meja.

Rara langsung terpekik kaget, "Ups, sorry. Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa kok."

Anna menghembuskan napas panjang, mendapati kelakuan spontan Rara. Dipikir-pikir watak temannya itu sebelas dua belas dengan Emili, mau seenaknya saja. Bikin orang lain cepat naik darah. Sepertinya sekarang dia harus ekstra meningkatkan kesabarannya. Karena sekarang orang menyebalkan disekitarnya bertambah satu.

Rara menghela lega, lalu kembali menarik lengan Anna. "Syukurlah. Ya udah, ayo jalan lagi. Udah laper banget nih aku."

Terpaksa Anna mengikuti langkah lebar Rara. Sesampainya di kantin, mereka langsung memesan bakso dan es teh manis.

Suasana kantin fakultas ekonomi dan bisnis siang ini begitu ramai. Banyak mahasiswa yang memenuhi setiap sudut kantin dengan almamater khas kampus mereka. Lautan mahasiswa itu tampak berdesak-desakan, tak jarang saling menginjak kaki satu sama lain. Udara pun begitu pengap, ruangan tersebut terasa sesak. Sebagian baru saja usai menempuh perkuliahan umum, sebagian lagi dengan seminar fakultas. Sedangkan sisanya dengan pakaian bebas, tengah menyelesaikan rapat organisasi.

Anna menghembuskan napas panjang sambil mengaduk-aduk mangkuk baksonya malas. Dihadapannya, Rara masih dengan wajah berseri-seri menikmati menu makanan yang sama.

Anna berdecak kagum, sembari matanya terus mengamati Rara yang tampak lahap menyantap semangkuk bakso dengan porsi jumbo. Menghabiskannya dengan bulatan besar-besar, menghajarnya tanpa ampun.

Anna kembali menghela, semakin hari mengenal Rara dia menyadari bahwa gadis itu merupakan anak yang super aktif dan tak pernah lelah. Setiap hari selalu enerjik dan penuh kejutan. Semangatnya terus berkobar, seakan tak pernah padam.

"Ya ampun. Kamu bisa keselek, Ra." pekik Anna, menggeleng-gelengkan kepala gemas.

Rara menyengir lebar, "Itu bakso mu kok belum habis? Kamu nggak laper?"

Anna mengaduk-aduk baksonya tanpa minat, lalu di surungkan mangkuknya tepat dihadapan Rara. "Nih, habisin punya ku juga dong. Aku kenyang..."

"Eh, mubazir loh kalau nggak dihabisin." cecar Rara dengan mulut penuh. Satu tangannya meraih mangkuk cepat, matanya terlihat berbinar-binar. "Tapi tenang, biar ku sikat bakso mu sampe tuntas. Dijamin, nggak bakal kebuang sia-sia."

Anna hanya bisa berdecak. Baru beberapa detik, Rara sudah menghempaskan sendoknya begitu saja lalu memegangi perutnya yang mulai terasa mengembang.

"Ah, kenyang." puas bersendawa, mata Rara celingukan kedepan. "Nar, coba lihat..."

Anna memelotot. Kesal dengan panggilan Rara yang seenaknya itu. "Ih, Rara. Jangan panggil aku Nar! Udah berapa kali sih ku bilang sama kamu."

"Dih, nama mu kan emang Nar! Nara! Annara!" decak Rara.

Anna merengek sebal, "Tapi kan aku nggak suka dipanggil Nar Nur Nar Nur! Bikin males tahu nggak!"

"Halah, bodo amat." Rara memutar bola mata, malas dengan sikap temannya itu. "Coba nengok sana, Nar! Arah jam sembilan, sebelah kiri!"

Anna mendengus jengkel. Lama-lama Rara ini mirip ibunya, yang suka memanggil Anna begitu. Ah, mengingat ibunya itu dia jadi semakin bete. Memilih melupakannya, Anna mengikuti arah yang ditunjuk Rara.

"Ada Tegar and the geng lagi lewat." cengir Rara. "Dih, muka songong gitu. Sok ganteng banget deh. Jijik aku lihatnya."

Anna mengerutkan kening, "Mana? Aku nggak lihat tuh."

"Astaga, nengok dikit lagi!" Rara menangkup wajah Anna, mengarahkan kepalanya dengan gemas. "Tuh, sama kroni-kroninya! Ah elah, mau muntah aja rasanya. Bye the way, kamu udah buka IG belum? Masa cowok pecicilan kayak Tegar gitu masuk unnurta.ganteng? Nggak sudi banget aku, sumpah."

Anna masih mengernyit bingung, saat langkah kaki lima mahasiswa itu menuju ke salah satu bangku kosong. Dan bukannya si tengil Tegar, matanya malah langsung tertambat pada sosok paling jangkung diantara gerombolan itu. Tanpa sadar Anna tersenyum tipis menatap lelaki itu, yang entah sejak kapan tanpa sadar selalu dia amati. Masih seperti biasanya, sebuah jaket melekat ditubuh lelaki itu. Topi hitam juga dia gunakan untuk menutup separuh wajahnya.

Dan ketika si jangkung itu lewat dihadapan bangku mereka, suara Rara melirih begitu saja. Refleks, dimajukannya tubuh kedepan saat sadar Anna tak berkedip sama sekali.

Rara mesem sendiri, "Gila, auranya tajam banget, Nar."

Anna mengedipkan mata. Menatap Rara kembali pada alam sadarnya. "Siapa?"

"Hah?" bingung Rara sambil menelengkan kepalanya. "Apanya?"

"Itu tadi. Temennya Tegar yang paling anteng, namanya siapa? Lupa aku." ringis Anna.

"Lupa? Dia tuh yang paling legendaris pas OSPEK tahu, masa kamu lupa sih?" heran Rara.

"Eh, iya? Duh, nggak inget. Siapa, Ra?" Anna menyerah, dia sama sekali tidak mengingat lelaki itu.

"Dulu yang menang award terganteng. Nah, itu dia orangnya." Rara menoleh kebelakang. Masih mengawasi gerak-gerik lelaki yang berjarak beberapa langkah darinya itu.

"Lihat deh, Nar! Bening banget mukanya, aku merasa kalah saing deh sebagai cewek. Masya Allah, kulit cowok aja bisa kinclong kayak porselen gitu ya. Itu perawatan, apa gimana? Emang tipikal anak rumahan banget deh kayaknya?! Asli, idaman sejuta umat banget ini mah. Auranya tuh udah kayak suami-able banget nggak, sih?!"

Anna hanya mengangguki. Ocehan Rara seperti angin lalu saja. Matanya masih mengamati subjek yang sama. Diam-diam mengagumi.

"Sayang tuh anak agak anti sosial. Kehadirannya juga kadang nggak begitu disadari oleh banyak orang. Dia itu pendiam dan kalau ngomong tuh seperlunya aja. Ketemu di organisasi juga seperlunya. Awh, anteng banget kan?! Bikin gemes deh. Kalau ada Fanny, pasti udah heboh tuh anak. Secara kan dia itu gebetannya Fanny." Rara menghembuskan napas panjang. "Cuma, alim begitu mau-maunya gabung sama geng Tegar yang amit-amit banget. Jadi ketutup deh gantengnya, sama ulah absurd empat orang tengil itu. Kasihan tahu, si alim jadi nggak kesorot."

"Apa sih, Ra? Narsis banget." Anna tergelak, kembali menatap sosok jangkung didepan. Kalau yang itu dia juga mau. Tidak hanya Fanny saja yang demen. "Jadi, Ra, siapa namanya?"

"Namanya Alfi, Nar. Hafidz Alfiansyah."

Anna semakin tersenyum. Tanpa sadar kembali mengikuti gerak gerik Alfi. Baiklah, dia akan mengingat nama laki-laki itu.

Okey, Alfi. Anna pasti akan terus mengingatnya sekarang.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang