34. Camer Dadakan

76 7 0
                                    

Ting Tong! Ting Tong!

"Arhan!" teriak Rara kesal, sebab pintu tak kunjung terbuka.

Rautnya berubah masam dan menggedor pintu secara brutal, "Woy, Arhan!"

"Apaan?" sembur Tegar, mendelik tajam setelah membuka pintu. Wajahnya terlihat kusut, rambutnya bahkan acak-acakan. Lalu laki-laki itu menguap lebar.

Rara melongo kaget, "Seriously? Lo baru bangun?"

"Iya." decak Tegar. "Emang kenapa? Ngapain pagi-pagi gini udah ngerusuh di rumah gue? Nggak ada kerjaan Lo?"

Rara mengelus dada menahan kesal, "Eh, Tegarong! Ini udah jam sembilan tahu. Lagian udah dari subuh tadi gue teleponin Lo, buat bareng ngampus hari ini. Tapi Lo nya nggak ngangkat panggilan dari gue. Untung rumah Lo deket sama rumah Nara. Jadi bisa gue labrak Lo."

Alis Tegar bertaut, "Gue nggak ngampus hari ini, udah diliburin sama dosen mata kuliah gue. Ada dinas di luar kota beliau. Jadi berhubung kelas kami udah beres semua ujian, libur cepet aja sekalian."

"Ya udah sih, Lo tetep harus nganterin gue." ujar Rara seenaknya.

Tegar mendengus, "Ogah. Ngapain?"

Rara mendelik gemas, "Lo kan sekarang udah jadi babu gue, gimana sih? Mana tanggung jawab Lo sebagai laki-laki? Masa gue yang harus nyamperin?"

"Ada apa ini, kok ribut-ribut?" sahut Fiona, Umi Tegar. Dia tersenyum cerah saat menghampiri mereka. Matanya terus tertuju pada gadis berhijab hitam dihadapannya. "Loh, siapa ini? Pacar mu, Bang? Kok nggak diajak masuk? Ayo sayang, sini. Kita makan dulu, kebetulan Umi masak rendang sama sayur sop tadi."

"Eh? Bukan. Saya cuma temen kampusnya doang." ringis Rara, memaksakan tawa. "Nggak usah, Tante. Saya udah makan tadi di rumah temen. Ehehe."

Fiona merengut kecewa, "Panggil Umi aja. Oh iya, nama kamu siapa?"

"Ah, iya." sahut Rara salah tingkah. "Saya Ranita, Umi."

"Panggil Rosi aja, Mi." celetuk Tegar.

"Dih." dengus Rara. "Jangan mau, Umi. Saya nggak suka dipanggil gitu. Dikira saya pembalap apa?"

Tegar terkekeh, "Ya, kan diambil dari nama ujung Lo. Rosiana. Ahaha."

Rara hanya mendesis bete.

Fiona tersenyum, "Ya udah. Ayo masuk, Ra. Kita ngobrol-ngobrol dulu."

"Duh, tapi maaf banget, Umi. Saya mau berangkat kuliah sekarang." ringis Rara tak enak. Dia beralih melirik Tegar yang terlihat jengah menatap kehebohan mereka. "Ayo, Arhan! Buruan! Gue ada ulangan nih."

"Gue belom mandi, Ra." decak Tegar malas.

"Ya elah. Nggak usah mandi. Timbang cuma nganterin gue doang. Ayolah, anter gue. Ya?!" paksa Rara lagi.

Tegar memutar bola mata, "Iya, iya. Tunggu, gue cuci muka dulu sekalian ngambil jaket sama kunci motor."

Rara mengangguk, "Jangan lama ya!"

"Hmm." gumam Tegar.

Begitu Tegar sudah tak terlihat lagi, Fiona kembali menyahut.

"Tunggu didalem aja, yuk. Mau ya?"

Rara tampak menimang-nimang sejenak, "Ya udah deh, Umi. Maaf ya, ngerepotin. Ehehe."

"Iya, sayang." senyum Fiona mengembang. "Nggak repot sama sekali kok."

******

"Arhan." panggil Rara.

"Hemmm?" gumam Tegar, melirik dari kaca spion motornya.

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang