62. Masa Lalu Kelam

46 6 0
                                    

Emili yang tengah tertidur pulas, tersentak kaget. Saat tiba-tiba Sonia— gadis cantik berseragam ketat dengan rambut di kuncir kuda— menggebrak mejanya. Wajah Sonia tampak memerah menyala, menahan jengkel.

Si gadis pemarah itu bahkan kini sudah mencengkram rahangnya dengan kasar. Sementara Vira— gadis berambut sebahu disebelah Sonia— hanya mengirim seringai jahat ke arahnya.

"Wah, wah, wah. Lihat siapa ini, yang baru aja ngegodain kekasihnya Dewi sekolah kita?!" cibir Vira, sambil bersidekap dada. "Cih, bagusnya kita apa kan dia, Son?"

"Kita kurung dia di gudang belakang sekolah? Atau..." sahut Sonia menggantung. Matanya semakin menyorot Emili tajam. Tangannya meremas rahang pipi Emili semakin kuat. ".... kita rusakin aja muka sok polosnya ini, Ra?"

"Boleh juga. Kita kasih dia pestisida aja gimana? Nanti kita suruh si gatel ini telen cairan itu juga deh. Biar dia hilang sekalian dari muka bumi." kekeh Vira, melirik Emili sinis. "Menurut Lo gimana, Mil? Lo nggak keberatan kan?"

Emili hanya bisa meringis sambil menatap kedua orang dihadapannya dengan datar, dia terus menahan rasa sakit akibat cengkraman yang masih bersarang di rahangnya.

Sonia tertawa jahat, melihat raut tak berdaya gadis didepannya. "Kebetulan banget, gue bawa pestisida di dalem tas. Buruan ambil, Ra. Ahaha."

Vira ikut tertawa, "Okey. Gue ambil dul..."

"Jangan sentuh dia!"

Wajah riang Vira dan Sonia menghilang, saat suara seruan bernada dingin terdengar dari balik ambang pintu. Lalu sosok gadis berparas timur tengah— sang subjek pembicaraan— muncul dari sana, berhasil mengalihkan perhatian mereka sejenak dari wajah datar Emili.

"Loh, kok?" Vira menganga tak percaya. Matanya terus mengamati pergerakan si gadis blasteran yang semakin mendekati sumber asal keributan.

Sonia segera melepas cengkeramannya dari rahang Emili dengan kasar, sambil menatap bingung sang Dewi sekolah. "Apa maksud mu? Bukan kah kamu tadi yang menyuruh kami untuk..."

"Berikan dia pada ku! Biar ku urus sisanya!"

Melihat amarah tak terkendali sosok dihadapan mereka, buru-buru Vira dan Sonia menyingkir. Membiarkan saja gadis blasteran itu melakukan apa yang dia inginkan.

"Kalian berdua kembali lah ke lapangan olahraga, pastikan tidak ada yang curiga dan masuk kesini! Aku tak ingin diganggu!" namun Sonia dan Vira malah bengong sambil menatap bingung si gadis blasteran, sehingga membuat amarahnya semakin memuncak. Geraman jengkel berhasil keluar dari bibirnya. "Jangan diam saja! Cepat, pergi!"

Dan ketika suara pekikan itu terdengar, keduanya langsung berlarian kabur dari kelas. Menyisakan Emili yang sudah gemetar ketakutan bersama amukan sosok mengerikan didepannya.

"Seharusnya kau mati sejak dulu, Mili!"

Emili hanya menggeleng-geleng penuh permohonan dari balik bangkunya. Namun gadis didepannya ini seakan sudah mati rasa. Tidak ada raut iba sedikitpun dari wajah blasteran Arab itu. Muka yang beberapa jam lalu menunjukkan kelembutan dan kehangatannya telah hilang entah kemana, tergantikan oleh aura membunuh yang begitu pekat.

Mengabaikan lirihannya, setelah itu badan Emili sudah dipaksa bangkit. Si gadis blasteran tahu-tahu sudah menarik kerah depan seragamnya dengan kasar. Dan detik selanjutnya, tubuh Emili terpelanting kebelakang, begitu didorong tanpa ampun.

Emili terbaring kesakitan di lantai dingin kelas. Tulang pinggang belakangnya terasa patah dan remuk. Penglihatannya perlahan mulai mengabur. Dan sebelum dia kehilangan kesadarannya, sesosok lelaki menghampiri Emili dengan panik. Samar-samar, bisa dilihatnya tubuh si gadis blasteran sudah membentur dinding di belakang punggung lelaki itu.

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang