22. Menghabiskan Hari Berdua

88 7 0
                                    

Napas Anna mulai ngos-ngosan. Membuat dia berhenti sejenak dibawah pohon rindang dekat bangku taman sekedar untuk beristirahat dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.

Gadis itu melirik beberapa orang yang sedang melakukan jogging. Dan ketika matanya menangkap siluet Miko, Anna segera menghampiri pria matang itu.

"Mas, kok nggak bilang sih kalau ke kampus Nana? Tahu gitu kan bener Nana nggak usah ikut aja. Bosen sabtu-sabtu ke sini. Udah enek rasanya lihat kampus tiap hari." omel Anna, memelototi Miko yang tengah melakukan peregangan diatas sepedanya.

Miko menahan tawa. Baru saja dia hendak menanggapi Anna, suara bernada riang mengintrupsi mereka. Membuat gadis itu semakin bertambah jengkel.

"Yuhu, Nana gajah!" seruan menggoda ala Yoga terdengar disusul suara kayuhannya. Tak ketinggalan Bayu yang menyusul tidak lama dibelakang. "Tumben ngikut, Na?"

Anna menyengir malas melihat Yoga yang sudah tampak kece diatas sepeda merahnya, "Dipaksa Pak bos. Katanya biar bisa naik motor lagi harus rajin nyepeda."

Yoga tergelak, "Ya bener sih, Na. Tapi malah enak naik motor tahu. Nyepeda kan capek."

"Iya, Mas. Capek banget. Gara-gara Mas Miko nih." Anna mendengus sambil melirik kakaknya itu kesal. "Mana nggak bilang kalau di kampus. Bosen tahu nggak."

"Ya udah. Kalau capek bonceng gue aja yuk, Na?" Bayu menepuk-nepuk boncengannya.

Anna tersenyum riang, "Boleh, Bang? Mau lah. Nana nebeng aja, ya?"

Miko berdecak malas, mencubiti lengan Anna gemas. "Buat apa bawa sepeda kalau nggak dipakai? Nggak usah manja deh. Lagian mau parkir dimana? Nanti hilang, Mbak Lina marah loh. Udah jangan males. Kalau capek kan nanti bisa istirahat."

Anna memberengut sebal. Miko dan mulut besarnya itu selalu merasa lebih berkuasa atas dirinya. Sepertinya memang benar-benar minta disumpal mulut pedas Miko itu. Omongannya saja yang enteng. Tapi Miko tidak akan tahu betapa susahnya mengayuh sepeda. Miko sih enak kakinya panjang. Kalau naik sepeda ya cepet. Kalau dia mah, boro-boro. Pasti nanti ujung-ujungnya tertinggal lagi. Orang badannya mungil begini loh.

"Wuoh, Nana ikut juga Lo?" pekikan riang Haris terdengar dari kejauhan, sebelum akhirnya menghentikan lajunya dengan raut tak percaya. "Ada keajaiban apa nih, tiba-tiba tuan putri berubah jadi rajin gini?"

Anna memutar bola mata jengah, "Kelihatan banget ya, kalau Nana jarang olahraga?"

Dengan polos, Haris malah mengangguki. Matanya berputar melirik Miko yang hanya cekikikan sedari tadi. "Ada angin apa semalem, Mik?"

"Tornado." kekeh Miko. "Eh, sendiri aja Lo?"

"Hah?" Haris terkikik geli. "Tahu tuh. Tadi adek alim gue mau ngikut. Tapi malah asyik pengajian dia. Belum balik-balik. Ya udah, gue tinggal."

Miko mengangguki, "Jadi cuma berlima?"

"Iya." Haris masih tertawa, menatap Anna penuh goda. "Tapi tumben nih, Lo ikutan? Tahu gitu gue paksa tadi anaknya. Biar bisa gue kenalin sama Lo."

"Apa sih, Bang?" Anna tertunduk malu. "Tapi sebenarnya males sih. Maunya di rumah aja. Tadi dipaksa Mas Miko."

Miko menghela pasrah, "Ya udah, kamu maunya gimana? Jadi ikut nggak? Rutenya agak panjang soalnya, dek. Nanti jangan ngomel-ngomel ditengah jalan ya?"

"Ih, kok gitu? Kenapa nggak muter sini-sini aja?" Anna memberengut sebal. "Ya udah. Nana muter sendiri aja, Mas."

"Yah, jangan. Nggak seru, Na. Udah, bonceng gue aja nih?" tawar Bayu lagi.

Anna menggeleng saat mendapat pelototan dari Miko, "Nggak, Bang. Udah sana, kalian berangkat. Nanti Nana tungguin disini aja. Lagian pasti capek banget."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang