28. Siapa Kamu Sebenarnya?

66 7 1
                                    

Alan meregangkan otot-otot jari yang kram. Lehernya juga terasa pegal karena terlalu lama terduduk didepan komputer yang ada di kamarnya. Selama beberapa hari ini Alan sibuk merekap nilai ujian semester akhir para mahasiswa yang disetorkan padanya.

Ya, ini lah resiko dari pekerjaannya. Dua bulan lalu Alan diangkat oleh pimpinan kampus menggantikan Bu Rani menjadi Kaprodi Manajemen. Sehingga tanggung jawab seluruh nilai mahasiswa di jurusan itu dilimpahkan padanya.

Alan menggeleng-geleng tak habis pikir dan menghela berat saat matanya kembali memindai nilai-nilai Anna di komputer. Anak itu termasuk salah satu mahasiswa dengan nilai rendah di jurusan Manajemen. Alan pun sudah frustasi dengan tingkah gadis ceroboh itu. Dia bahkan tidak tahu lagi harus berbuat apa supaya Anna berubah jadi anak penurut dan rajin.

Mengabaikan rekapan nilai itu, Alan beralih menyambar tas kerjanya yang tergelak di meja samping komputer. Ketika tangannya menyentuh benda lembut dan berbusa didalam sana, segera dia mengeluarkannya.

Alan mengernyit, menatap bingung mainan kunci digenggamannya. "Sejak kapan kamu disini, Alara?"

Ah iya, Alan baru ingat. Benda ini sempat dia bawa dari Apartment dan belum sempat dikeluarkan sama sekali. Tapi rasanya ini bukanlah milik Alan. Bentuknya memang mirip. Tapi seingatnya boneka milik Alan tidak memiliki pita dilehernya.

Jelas ini bukan Alara ku!

Segera Alan bangkit, mencari sebuah kotak kecil berwarna kuning lusuh tempatnya menyimpan mainan-mainan lama di lemari. Begitu menemukannya segera dia buka kotak itu dan meraih gantungan kunci taddy bear beige dengan bentuk yang sama dari dalam kotak. Tapi bedanya benda itu tidak memiliki pita di leher.

Netra hazel-nya terus mengamati boneka itu. Tanpa sadar otaknya kembali memutar kenangan masa remajanya yang penuh dengan kepedihan.

Alan meronta-ronta dalam kungkungan sang Paman sambil menangisi kematian Bundanya. Begitu berhasil terlepas dari pria paruh baya itu, dia segera berlari kabur dan duduk di muka tangga. Membenamkan wajahnya pada lipatan kaki.

Alan tengah meringkuk sedih saat si gadis kecil datang mengalihkan perhatiannya. Dia mendongak, menatap lirih gadis yang tengah mengelus-elus punggungnya itu.

"Mas Al jangan nangis. Bunda Mas ada diatas kok. Lagi lihatin kita." ucap Nara, menunjuk ke langit-langit rumah.

Refleks Alan menatap arah yang ditunjuk dengan polosnya, "Mana? Nggak ada."

"Bunda nggak bisa kita lihat, Mas. Karena Bunda udah jadi bidadari surga." sahut Nara, tersenyum tipis. Kedua tangannya terulur menunjukkan sepasang gantungan kunci ke arah Alan. "Mas, Bunda pernah kasih ini buat Ara pas ulang tahun. Satunya buat Mas aja, ya. Supaya nanti bisa ngerasain kehadiran Bunda didekat Mas Al. Simpen ya, Mas. Ini satu-satunya peninggalan dari Bunda. Jangan sampe hilang."

Perlahan Alan meraih benda itu. Matanya mulai berkaca-kaca, menatap penuh haru netra coklat terang gadis kecil disampingnya. Akhirnya dia mengangguk.

"Terima kasih, Ara." lirih Alan.

Nara kembali mengukir senyuman sambil mengamati gerak-gerik Alan yang kini tengah mendekap gantungan kunci boneka taddy bear itu.

Saat tersadar dari lamunannya mata Alan memanas. Segera dia menyambar gantungan kunci berpita diatas kasur. Lalu dia dekatkan dengan gantungan kunci miliknya. Alara— begitulah dia beri nama.

"Ini punya Ara kan? Bagaimana bisa ada di Apartment? Seingat ku nggak pernah ada yang masuk kesana selain gadis ceroboh itu." lirih Alan, matanya membola saat mengingat kejadian malam itu. "Ah, apa jangan-jangan..."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang