Sekitar lima belas menit Alfi habiskan untuk menunaikan ibadah sholat Maghrib. Dan ketika dia kembali dari musholla, area di kantornya sudah benar-benar sepi dan lenggang. Alfi sengaja memilih musholla di lantai bawah, selain lebih luas tempatnya juga nyaman dan bersih daripada musholla diatas yang lebih sempit dan pengap.
Baru beberapa langkah ketika Alfi memutuskan kembali ke ruangan untuk membereskan tas dan mengunci pintu, sayup-sayup suara melengking aneh terdengar dari kejauhan. Pertama seperti rintihan, lalu kini berubah menjadi jeritan. Dengan panik, Alfi memutuskan mencari dimana sumber suara itu berasal. Tergesa, ditelusurinya lantai satu dekat lift. Dan benar, suara itu berasal dari sana. Alfi mengernyit saat melihat seseorang tengah membungkuk kesakitan disana.
"Astaghfirullah." Alfi berlari menghampiri dan mendekap bahu dihadapannya. Matanya langsung mengenalinya sebagai Wirya yang dia temui beberapa hari lalu. "Ya Allah, Pak Wirya, Bapak nggak apa-apa?"
Wirya meringis sambil memegangi dadanya. "Nak, Al—Alfi?"
"Iya, Pak. Ini saya." Alfi berusaha menopang tubuh Wirya. Tapi tubuh dihadapannya kembali rubuh. "Bapak baik-baik aja? Duh, Bapak kenapa?"
"Sa-saya kambuh. To-tolong, Fi." lirih Wirya.
"Masya Allah." Alfi mencari-cari ponselnya di saku celana. Sementara tangannya yang lain masih setia memegangi Wirya. "Saya teleponkan ambulans ya, Pak. Kita ke rumah sakit."
Alfi terus membatin gelisah, dia berusaha tetap tidak panik. "Ya Allah, Mas Miko juga lagi di luar kota."
"Bapak yang sabar, ya. Ambulans-nya sebentar lagi dateng, Pak." Alfi memutar matanya ke sekeliling dan tak mendapatkan siapapun. Sepertinya Arman dan Ucen juga sudah pulang barusan. Dan sekarang tidak ada siapapun.
Alfi terus merapalkan do'a berkali-kali. Secepat kilat diteleponnya Miko.
******
Paginya, Anna terbangun di kamar Apartment yang sama saat dia pertama kali berada di tempat itu dengan kemeja putih oversize milik Alan kini melekat ditubuhnya. Sejenak Anna memegangi kepalanya yang terasa pusing, sambil mengedarkan mata menatap sekeliling.
Ringisan berhasil lolos dari mulutnya, saat berniat bangkit. "Ah, sakit banget lagi. Aku kenapa ya? Kok bisa disini?"
Penasaran, Anna kembali memaksakan tubuhnya bangkit dan duduk bersandar pada headboard. Lama gadis itu termenung, hingga akhirnya terdengar langkah kaki mendekat. Detik berikutnya, pintu kamar terbuka. Menampilkan wajah datar Alan yang tengah membawa nampan berisi segelas susu hangat dan sepiring sandwich ke arah Anna.
"Bapak?" Anna menganga tak percaya, mendapati Alan kini berdiri di muka pintu.
Alan mendekati Anna yang masih terlihat pucat pasih, "Gimana? Udah mendingan?"
Anna mengangguk pelan, menatap Alan dengan bingung. "Saya kenapa, Pak? Kok bisa disini?"
Gadis itu memegangi kepala lagi, sebelum melanjutkan ucapannya. "Baju ini..."
"Mbak tetangga sebelah yang ganti." Alan menyela cepat. "Kamu pingsan kemarin di halte. Karena saya nggak tahu rumah kamu dimana, jadi saya bawa kesini."
Lalu Alan duduk disisi ranjang dan menyurungkan nampan makanan tersebut pada Anna. "Nih, makan dulu! Habis itu minum obat!"
Anna hanya mengangguki, menerimanya dengan ragu. "Makasih, Pak. Saya ngerepotin Bapak lagi, ya?"
"Ck. Cepet makan! Saya masih ada pekerjaan habis ini." ketus Alan. "Kalau butuh sesuatu, panggil saya aja. Saya duduk di sofa depan."
"I-iya, Pak." Anna terus menatap punggung Alan yang sudah melangkah pergi. Sedetik kemudian dia menghembuskan napas panjang. "Nyusahin banget ya, aku?! Bodoh kamu, Na!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Dosen
RomanceAnnara yang merupakan mahasiswi cantik dan populer di kampusnya sangat di kagumi oleh banyak pihak. Parasnya yang menawan begitu dipuja-puja semua kalangan. Kehidupannya yang terlihat sempurna tak bercelah dan bergelimang harta, membuat orang lain s...