65. Siasat Terselubung

44 7 0
                                    

Emili menatap penuh binar nasi goreng yang baru saja dihidangkan Bayu untuknya di meja makan. Matanya sesekali juga memejam nikmat saat merasakan sensasi pedas dan gurih yang menyentuh lidahnya, ketika dia menyuapkan sesendok nasi goreng buatan Bayu itu.

"Emm, beneran loh. Ini enak banget. Udah setara sama masakan chef-chef profesional. Padahal cuma nasi goreng doang, tapi bisa sebintang lima ini." Emili kembali berdecak kagum. "Bapak yakin nggak mau buka restoran aja?"

"Apaan sih? Berlebihan banget kamu ini." kekeh Bayu, menggeleng-gelengkan kepala. "Lagian saya mana sempat kalau mau mengurusi restoran sendirian. Kerjaan saya di kantor udah terlalu menumpuk dan membebani saya selama ini. Sehingga membuat saya harus pulang larut malam setiap harinya."

Emili menatap gemas, "Kan Bapak bisa ngerekrut karyawan. Apa susahnya sih?"

Bayu tersenyum tipis, "Saya terlalu sulit untuk percaya sama orang yang baru saya temui. Lain lagi kalau saya udah punya istri. Kalau suatu hari nanti saya beneran buka restoran, pasti saya bakal menyuruh dia aja buat nge-hendle semuanya. Bukan orang lain, yang bahkan tidak saya ketahui bakal bisa dikasih amanah apa nggak."

"Ya udah, cepetan nikah lah, Pak." Emili mengedik acuh. "Lagipula umur Pak Bayu tuh udah mateng banget. Udah cocok buat jadi suami dan Ayah yang baik. Beneran. Tunggu apa lagi sih? Nanti keburu ubanan baru tahu rasa."

Bayu terdiam cukup lama, sambil terus menatapi Emili dengan serius.

"Kamu mau jadi istri saya?"

"Hah?" Emili mengerjap linglung. Sendok di tangannya bahkan sudah meluncur jatuh begitu saja ke piring. Gadis itu kini mendongak, sambil menyorot dalam netra sang objek yang berhasil menyentil hatinya. Sementara Bayu sendiri malah meringis, saat mendapati respon berlebihannya.

Apa kah itu sebuah lamaran?

Maksudnya, apa Bayu ini sedang melamar dirinya? Sungguh? Ya Allah, Bayu meminta dirinya menjadi apa tadi? Istri? Apa pria itu sudah tidak waras? Bahkan Emili ini hanyalah bocah ingusan, yang masih berstatus mahasiswi dengan seabrek tugas jurnal loh. Lagipula dia ini masih belum siap. Memasak dengan benar pun dia tidak bisa. Apalagi harus mengurusi pekerjaan rumah tangga. Hih, Emili terlalu enggan dan malas untuk melakukannya. Dia juga tidak ingin tinggal berduaan dulu dengan seorang pria manapun yang berstatus suami itu. Emili takut bakal kebablasan nantinya. Masa mudanya masih panjang.

"Eeeh?" pekik Emili begitu tersadar, sambil menangkup kedua pipinya yang mulai memanas. Matanya juga mengembang sempurna. "Apa maksud Pak Bayu? Bapak lagi ngelamar saya? Kok minta saya jadi istri? Maksudnya, kenapa harus saya, Pak?"

Mendapati wajah konyol Emili, Bayu hanya mengulum senyum. Gadis itu sepertinya terlihat sangat syok berat. Ya, lagi pula gadis mana yang siap menerima ungkapan seperti itu. Dari seseorang yang baru dia kenal pula.

"Saya kan cuma tanya." Bayu mengedik acuh, lalu dia bersidekap dada. "Kalau kamu nggak mau, ya udah. Nggak usah lagi nyuruh saya buat nikah. Toh, bukan urusan kamu juga kan? Mau saya ubanan dan nggak laku-laku, nggak bakal bikin kamu rugi juga kan?"

Emili langsung kicep. Kepalanya sudah tertunduk malu.

"Sudah lah, nggak perlu kamu pikirin. Saya cuma bercanda. Lagian saya juga nggak tertarik sama kamu kok." ucap Bayu, hendak beranjak dari duduknya. "Saya mau ke halaman belakang dulu. Kamu silahkan lanjut ma..."

"Bang, gue pinjem mobil Lo dong? Kata Bang Ris mereka mau ke Alun-Alun habis ini, jadi mobil mau di bawa sama dia." kemunculan Alfi, berhasil menghentikan ucapan Bayu. Lelaki jangkung itu kini ikut mendudukkan diri didekat Bayu. "Mas Yoga bilang, Lo nggak mau ikut kan? Jadi gue pinjem mobil Lo aja, ya? Gue mau ke Pasar, beli bahan-bahan buat barbeque-an nanti siang."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang