42. Teror Menyebalkan

91 8 0
                                    

Keadaan Wirya membaik beberapa hari selanjutnya. Selama menjalani perawatan intensif, tubuhnya perlahan-lahan telah bugar kembali. Kesehatannya kini berangsur pulih. Bahkan pria paruh baya itu sudah kembali menekuri pekerjaannya. Meski hanya sebatas membuka laptop dan ponsel dari rumah sakit.

Hari ini seperti biasa— Anna datang, menghabiskan waktu liburan bergantian dengan Miko. Tidak ketinggalan Lina yang juga turut menjaga Wirya. Berhubung ini hari terakhir, jadilah semua anggota keluarga berkumpul disana. Lina masih memberesi pakaian, Miko tengah memperdebatkan game di ponsel bersama Amel, sementara Anna sibuk menyuapi Papanya sambil melamun.

Saking asyiknya Anna, sampai dia tak sadar sendok bubur di tangannya melesat. Lalu pekikan Wirya terdengar saat itu juga.

"Aduh, Nana! Mata kamu dimana sih, Nak? Panas banget ini pahanya Papa." ringis Wirya, menyentuh pahanya yang terkena tumpahan bubur.

Anna membekap mulutnya, "Eh, maafin Nana, Pa. Nana nggak lihat tadi."

"Gimana mau lihat kalau kamu asyik ngelamun aja?" Wirya mengambil tisunya kesal. "Kamu ini kenapa sih? Suapin Papa aja nggak becus."

"Maaf, Pa. Nana kan nggak sengaja." Anna memberengut lirih.

Lina terkekeh, "Ya elah, Papa. Giliran udah sembuh aja marah-marah."

Wirya mencak-mencak sendiri, "Ya kan Papa laper tadi, Lin. Malah kena sembur."

Anna menunduk sambil meraih berlembar-lembar tisu. Lalu dengan sigap dibersihkannya sisa-sisa bubur yang berceceran di selimut.

"Hmm?" Miko melirik dari sofa. "Kamu ngelamun, dek?"

Anna berpura-pura tidak mendengar. Dia mengabaikan Miko begitu saja.

"Ngelamunin apa sih?" Miko masih iseng menggodanya. "Lagi mikirin yang di kampus ya? Hari ini kan awal masuk kuliah."

"Mas!" bentak Anna terdengar jengkel. "Jangan sok tahu, ya! Jangan menebar gosip yang nggak bener!"

Miko hanya terkekeh. Lina dan Wirya melirik ingin tahu. Seolah bertanya ada apa.

"Mas tahu, kamu pasti lagi mikirin Fi kan?" goda Miko lagi.

"Mas, jangan macem-macem!" Anna nyaris melayangkan nampan disampingnya.

Wirya menatap Miko penasaran. Sepertinya ada gosip baru.

"Fi adiknya Haris, Mik? Loh, kok bisa?" tanya Wirya kepo.

"Papa nggak tahu? Fi itu kuliah di kampus Nana, Pa. Fakultasnya sama, cuma beda jurusan aja."

"Wah, Papa malah baru tahu." Wirya tampak antusias. Matanya melirik Anna. "Eh Na, Alfi itu perfect. Anaknya ganteng, rajin, sholeh, pinter lagi. Menantu idaman Papa banget itu, Na. Emm, tapi kamu serius? Beneran satu kampus sama Fi?"

"Iyalah, Pa. Satu kampus." Miko tertawa lagi. "Malah baru tahu Nana kalau Fi itu adiknya Haris. Kemarin Miko kayak balik ke jaman muda dulu. Berasa lagi pacaran malu-malu kucing. Apalagi kata Haris, mereka sempet terjebak adegan hujan-hujanan sepayung berdua di kantor."

"Mas!" Anna memelotot galak. "Jangan sembarangan ya!"

"Dek, Mas itu kenal kamu dari jaman kamu masih belum bisa jalan. Mas cuma butuh satu kali kedip buat tahu kalau kamu lagi naksir sama orang. Dan kemarin cara kamu ngelihat Fi, ya, kayak begitu."

Lina menyenggol lengan Miko, "Iya. Itu kemarin Nana sempet nangis-nangis loh, Mas. Pas pulang dari sepedaan. Terus dia cerita sama aku, lagi naksir cowok bilangnya. Jangan bilang yang ditaksir itu ya adiknya Haris itu."

"Nah, siapa tahu kan? Mas juga cuma nebak, Lin. Malah kalau bener begitu, ya, Mas langsung bilang aja ke Haris. Biar enak ngomongnya. Apalagi Mas kenal langsung keluarga Haris. Mas juga kemarin sempet ngobrol sama Fi Kok. Ya, kalau emang serius kenapa nggak?"

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang