70. Lebih Dekat

49 7 0
                                    

Saat tiba di lobby kantor, mata Emili langsung tertuju pada sesosok pria tinggi berkemeja hitam. Langsung saja dia menghampiri pria itu.

"Aa!" sapa Emili sambil melambaikan tangan, menatap salah satu orang di gerombolan yang hendak melintasinya. Mengabaikan tatapan aneh yang dilayangkan para panitia event yang tadi datang bersamanya. Juga termasuk Miko dan teman-temannya, yang ikut menatap tak kalah bingungnya.

Sepupu Emili itu kini tengah menatap curiga sambil menganga tidak percaya kearahnya. Sejak kapan kedua makhluk sesat itu akrab? Pikir Miko.

"Lia?" Bayu meringis malu, sambil sesekali melirik teman-temannya yang menatap penuh goda. Segera dia menarik lengan Emili, membawanya menjauh dari sana.

Begitu tiba disudut pojok dekat lift lantai satu, Bayu berdecak gemas. Lalu memelototi Emili. "Kamu ngapain disini sih?"

Emili menelengkan kepala bingung, "Loh, kan disuruh Mas Miko ngurusin pencairan dana. Aa lupa, ya? Sekalian mau balikin jas Aa waktu itu. Nih! Makasih ya, udah ku cuci kok. Tenang aja."

"Ya, nggak nyamperin saya disini juga dong. Malu tahu, dilihatin anak-anak." lirih Bayu, tak urung tetap menyambar paper bag yang diulurkan Emili. Sesekali dia melirik sekitar. Memastikan tidak ada yang mencuri dengar obrolan mereka.

"Loh, kenapa?" Emili mengernyit semakin bingung. "Kan nggak ada salahnya saling negur? Aa juga udah anterin Lia semalem. Lagipula kita juga nggak ada hubungan apa-apa kok, ngapain malu segala? Apa aku terlalu jelek di mata Aa? Iya? Padahal kita udah sempet tukeran nomer WA kan? Masih aja kaku gitu."

Bayu menggeram tertahan, "Ck, bukan gitu. Tapi panggilan kamu ke saya itu yang bikin semua orang bisa salah paham!"

"Oh, itu rupanya." Emili tergelak, menatap Bayu aneh. "Kan Aa sendiri yang minta Lia panggil gitu kemarin?"

"Masa?" Bayu mengerjap-ngerjap, mengingat kembali ucapannya. Begitu sadar, dia meringis malu. "Kan saya cuma bercanda, Lia. Nggak mungkin kan kamu anggep serius ucapan ngawur saya?"

"Cih, ngajak betumbuk betul bah." dengus Emili, lalu menginjak kaki Bayu. "Pantes jomblo, suka PHP toh. Dah lah, biarin. Udah terlanjur juga. Panggilan Aa lucu kok. Huh."

Bayu mendesis sinis, memegangi kaki kanannya sambil menatap tajam punggung Emili yang semakin menjauh. Pasrah, dia akhirnya menyusul gadis itu. Mengabaikan rasa sakit yang menimbulkan denyutan ngilu pada kakinya.

******

Selama satu setengah jam perkuliahan berjalan dengan tenang. Artinya tinggal setengah jam lagi sebelum jam kuliah habis. Anna menarik napas berkali-kali, berdo'a dan berharap kelas akan segera berakhir. Rasanya dia tidak bisa tenang duduk dihadapan Alfi begini. Sudah sejak tadi dia terus bergerak menyamankan posisi. Tapi tetap saja membuatnya salah tingkah.

Ya Allah, Anna masih terus merutuk. Kenapa sih, Alfi harus mengambil duduk dibelakangnya? Kenapa harus dibelakangnya?

Anna kembali mengatur napasnya. Tak lupa menarik rambutnya yang panjang ke samping. Sejak satu jam terakhir tak dibiarkannya sama sekali rambut panjangnya ini berkibar. Kalau pun ada karet, pasti sudah dia ikat agar tidak mengganggu Alfi. Anna sadar diri, Alfi tidak menyukai perempuan tanpa hijab. Maka dari itu dia mulai sadar akan menjauhkan rambutnya dari pandangan Alfi, supaya laki-laki itu tidak ilfeel dengannya. Tapi entah kenapa, waktu terus berjalan lambat membuatnya kesal.

Fanny terus melengos malas, "Hish, kenapa yang dibelakang gue malah Rendi? Mana berisik banget lagi! Ck, gue kan pengennya duduk depan Alfi! Eh, ini malah si Kendi bocor, ewh!"

Anna hanya melirik Fanny tak perduli.

Fanny kembali bersuara, "Lama bener kelasnya. Bikin gue makin kesel sama yang dibelakang. Sumpah, pengen gue sumpel mulutnya. Ngebacot mulu kerjaannya."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang