Prolog

594 17 2
                                    

Di balkon kamar sebuah rumah megah, tampak seorang anak remaja laki-laki tengah sibuk menatapi segerombolan orang diseberang sana. Raut dingin dan datar terpancar jelas di wajahnya. Decihan sinis bahkan terdengar dari mulutnya. Terlihat jelas dia tidak suka dengan keberadaan mereka. Rumah yang beberapa tahun silam kosong, kini sudah terisi kembali oleh anggota keluarga asing itu.

"Mas Al! Turun dulu, nak! Sarapannya udah siap nih. Hari ini ada ujian kan, di sekolah? Nanti telat loh." pekik Elina— sang Ibu, terdengar dari arah dapur.

Yang dipanggil hanya berdecak malas, "Iya."

Memilih tak perduli pada tetangga barunya itu, dengan langkah cepat dia kembali memasuki kamar. Setelah menyambar tas diatas meja belajar, segera dihampirinya sang Ibu.

******

Tok Tok Tok!!

Suara ketukan itu begitu mengganggu di pendengaran putra semata wayang keluarga Mahesa. Raut dingin selalu terpasang di wajahnya. Tak ada senyum yang dia perlihatkan. Anak itu bahkan juga sering mengacuhkan kedua orang tuanya sendiri.

Mengabaikan ketukan itu, dia kembali fokus pada benda pipih persegi digenggamannya.

Ting Tong!!

Karena tidak ada sahutan, suara ketukan tergantikan oleh bunyi bel.

Ting Tong!!

Suara bel kembali berbunyi. Dengan langkah tergesa seorang wanita paruh baya muncul dari arah tangga. Dia menatap putranya dengan sengit. Tapi bocah itu hanya mendongak sekilas, lalu kembali fokus pada video game di iPad yang digenggamnya. Tak memperdulikan pelototan sang Ibu.

"Mas Al! Kenapa nggak segera di buka pintunya?" kesal Elina.

Namun putranya itu tetap bungkam. Dengan santai anak itu malah mencomot kripik pisang di toples yang tergeletak di pangkuannya, mengabaikan omelan Ibunya. Menghela gusar, akhirnya Elina segera menghampiri orang dibalik sana.

Begitu membuka pintu, terlihat sepasang suami-istri dan kedua anaknya berdiri disana. Membuatnya mengernyit bingung, dia tampak asing dengan orang-orang yang hendak bertamu itu.

"Iya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Elina sambil tersenyum ramah.

"Maaf mengganggu waktunya. Kami adalah tetangga baru disebelah." sahut wanita paruh baya si tetangga baru. "Ini, kami ada sedikit oleh-oleh. Mohon diterima, Mbak."

"Wah, jadi repot. Terima kasih ya." sahut Elina menerima bungkusan kue coklat itu. "Ayo, masuk dulu."

Setelahnya mereka berempat mengikuti langkah Elina dan mengambil duduk tidak jauh dari seorang anak remaja laki-laki yang masih tidak bergerak sedikitpun dari zona nyamannya.

"Sebentar, ya. Saya panggilkan suami saya dulu." sedetik kemudian Elina menghilang dibalik tembok ruangan, usai mendapat anggukan dari para tamunya.

Tak berapa lama, pria paruh baya berparas blasteran menghampiri mereka dan mengambil duduk dihadapan anggota keluarga tetangga baru itu. Bersamaan dengan kedatangan Elina yang membawa napan berisi minuman dan camilan. Setelahnya sang istri juga ikut mengambil duduk disana.

"Oalah, kalian tetangga baru disebelah toh? Perkenalkan saya Damar, suaminya Elina."

"Ah, iya. Saya Wirya." pria paruh baya yang diketahui sebagai kepala keluarga tetangga baru itu langsung menjabat tangan Damar. "Dan wanita ini istri saya."

Wanita disebelah Wirya tersenyum tipis, "Saya Wulan."

"Oh, iya. Salam kenal, ya." mata Damar bergeser melirik kedua anak yang duduk mengapit pasangan suami-istri itu. "Lalu siapa kedua anak manis ini?"

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang