51. Secercah Harapan

48 7 2
                                    

Anna menatap lembar demi lembar folio ditangannya tanpa minat. Semalaman dengan bodohnya dia malah belajar untuk quest mata kuliah lain. Sementara kini dihadapannya sebuah masalah lain siap menghadang. Berkali-kali Anna merutuki kebodohannya yang malah melupakan essay sepuluh lembar dari Nickholas Driyarkara— atau yang biasa dipanggil Profesor Nick. Dan habislah dia jika essay ini tidak penuh.

Anna melengos malas. Ditatapnya Fanny dan Dipta bergantian. Keduanya tengah berkebut mengisi folio kosong dihadapan masing-masing, hingga beberapa lembar folio berhamburan memenuhi meja bundar depan kelas mereka. Dipta masih mengisi dengan tenang. Sementara Fanny malah mencak-mencak tidak terima.

"Eh, bego! Semua ini gara-gara Lo dan mulut ember Lo itu!" sungut Fanny pada Dipta. "Kalau Lo nggak macem-macem pasti kita nggak bakal kena hukum kayak gini! Apalagi dapet nilai D? Nggak deh. Makasih."

Dipta menghempaskan tangan, "Udahlah. Santai aja, Fan."

"Santai? Enak aja. Gue bisa aja santai! Bokap gue nggak santai lihat IPK gue amit-amit!" Fanny menyobek folio dihadapannya sarkas. "Bisa-bisa gue dikirim ke pesantren kayak Zaza. Terus gue dijodohin sama santri-santri disana. Ya, kalau gue suka? Kalau nggak gimana? Hiks..."

"Zaza?" Dipta mengerutkan kening, melirik Fanny sejenak disela mendengarkan lagu dari ponselnya yang tersambung earbuds. "Sepupu Lo yang kuliah di Kairo itu?"

"Iya." Fanny memulai mode berbisik sambil menatap Anna. "Lo tahu kan? Gue pengennya nikah sama Alfi anak jurusan sebelah itu, Na. Calon imam masa depan gue. Gue nggak bisa bayangin cowok lain! Gue nggak bisa!"

Anna bangkit dengan malas. Matanya menyinis mendengar nama pangeran impiannya disebut-sebut. "Bangun, Fan! Kamu tuh nggak usah kebanyakan mimpi di siang bolong gini deh! Lagian calon imam? Haduh, kamu kuliah dulu itu yang bener. Belum beres juga."

"Ih, Nana! Apaan sih? Ya, suka-suka gue dong, gue mau mimpiin apa! Kok Lo nyolot gitu sih? Emang bener dia calon imam gue! Cita-cita gue itu married sama doi yang bisa menuntun gue ke surga nanti! Jangan salah Lo, ya!" sungut Fanny.

"Halah, Fan. Kalau mau imam yang bisa menuntun ke surga, Rendi kan bisa! Nggak usah jauh-jauh. Gue denger dia itu lulusan pondok pas seumuran bocah SMP gitu. Apa ya, kalau di pesantren tuh nyebutnya? MTs bukan?" celetuk Dipta. "Atau kalau nggak, Lo cari aja di masjid-masjid. Banyak kok imam disitu. Barang kali Lo juga bisa nemuin cowok yang namanya Imam?"

Fanny mendengus, menatap jengkel Dipta yang malah tergelak. "Itu mah imam masjid, bego! Buat ngimamin sholat disana, buka di rumah gue! Gini nih, kalau ngomong sama bocah minus akhlak! Isinya zonk semua!"

"Dih, kayak Lo udah bener aja?!" cibir Dipta.

"Ya, mangkanya gue butuh sosok yang bisa membimbing dan melindungi gue, Dip. Misalnya kayak si Alfi ini. Mau banget gue malah, nikah sama dia."

Anna yang melihat pertengkaran itu, menghembuskan napas pasrah. "Kalau kamu ngomong terus, nggak bakalan selesai itu tugas deh. Ya, kalau mau married kan harus lulus kuliah dulu gitu, Fan, maksud ku. Terus kalau itu nilai kamu ada yang D susah juga kan lulusnya?"

"Dih. Jaman sekarang tuh ya, nggak perlu lulus dulu baru nikah. Nikah dulu juga bisa kok. Pokoknya gue mau ijab sah dulu sebelum dapet ijazah beneran. Ehehe." cengir Fanny.

Anna geleng-geleng kepala, "Ah, bodo amat deh, Fan. Pokoknya itu selesain dulu."

Dipta ikut-ikutan menyahut, "Tahu Lo, Fan. Halu terus Lo mah."

"Ish, gue kesel sama Lo, Dip." Fanny membanting pulpennya ke arah Dipta. Lalu matanya bergeser menatap Anna. "Sebenernya dia ini biang onarnya! Coba dia tuh mingkem aja! Yang bikin kesel lagi, Rara malah nggak kena. Enak ya, jadi anak beasiswa. Pada pinter-pinter meski nggak belajar. Anaknya juga rajin-rajin. Ya, meski Rara ini kadang gesrek juga."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang