31. Adik Haris

63 8 0
                                    

Sesampainya Anna dipelataran rumah sakit, segera dia berlarian menyusuri koridor menuju ruangan tempat dimana Papanya berada. Ditinggalkannya Lina yang tengah sibuk mengangkuti berkas-berkas kesehatan dan pakaian ganti untuk Wirya.

Anna sangat terkejut saat ngecek ponsel tadi pagi. Panggilan berkali-kali Miko dari semalam, tidak sempat dia angkat. Tadi setelah makan dan minum obat, dia baru teringat belum membuka ponsel sama sekali sejak kemarin. Dan ketika gadis itu mendapati banyak panggilan tak terjawab dari Miko, dia buru-buru menghubungi kembali kakaknya itu.

Dirinya benar-benar tidak menduga bahwa penyakit Papanya akan kambuh. Anna pikir sejak terakhir kali kepergian Mamanya lima tahun lalu, penyakit jantung Wirya tidak akan pernah kumat lagi. Tapi ternyata dia salah. Entah apa yang dipikirkan Wirya akhir-akhir ini, hingga pikirannya jadi terganggu. Pria itu juga selalu menyibukkan diri dengan cara menyelesaikan semua pekerjaan di kantor. Hingga berakhir kecapekan dan kurang menjaga pola makan.

Anna masih terus merapalkan do'a. Tak dihiraukannya orang-orang yang berlalu lalang meliriknya tengah menangis. Ketika hampir tiba, langkahnya malah terhenti. Sayup-sayup terdengar suara berat lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang begitu merdu ditelinganya.

Anna menatap sosok jangkung itu dari kejauhan. Tepat di bangku ruang tunggu depannya. Raut gelisah tak dapat disembunyikan, masih terlihat jelas pada wajah lelaki itu. Kemeja coklatnya juga setengah kusut dan rambutnya tampak berantakan.

Sadar ada yang datang, dia mendongak. Dan Anna melihatnya dengan jelas.

Alfi!

Anna tidak mungkin salah mengenalinya. Dia benar-benar Alfi! Lelaki itu benar-benar ada disana.

"Kamu...." Anna mengerjap tak percaya. "Kamu adiknya Bang Ris?"

Segera Alfi mengakhiri mengajinya, lalu menutup kembali Al-Qur'an itu. Barulah setelahnya dia bangkit menghampiri Anna.

"Iya. Saya adiknya Bang Ris." jawab Alfi, dia tersenyum tipis.

Anna memaksakan tawa, "Ah, iya. Papa ku didalam? Papa baik-baik aja kan?"

"Iya, Pak Wirya didalam. Kata dokter kondisinya udah sedikit membaik. Insya Allah." sahut Alfi.

"Makasih, ya." Anna bergumam lirih. "Dari semalem udah jagain Papa ku. Kalau nggak ada kamu, aku pasti udah panik. Nggak tahu harus gimana. Mana Mas Miko baru di luar kota juga. Maaf, malah jadi ngerepotin kamu."

"Iya, nggak apa-apa. Kebetulan saya baru selesai kerja semalem." Alfi menunjuk-nunjuk kursi dihadapan mereka. "Duduk dulu. Tunggu disitu."

Selanjutnya lelaki itu mengambil duduk tiga kursi lebih jauh darinya. Anna melirik Alfi dalam diam. Ada rasa berdebar-debar dalam hatinya. Menyadari sosok disebelahnya benar-benar Alfi.

Jadi Alfi adiknya Abang Ris? Adik sahabatnya Mas Miko?

Maksudnya, Alfi adik Haris— sahabat kakaknya? Tunggu! Berarti dia adalah putra tante Alin juga?

Anna kembali menghela panjang. Disaat seperti ini dia masih tidak bisa berpikir tenang. Otaknya terus melayang-layang memikirkan Papanya yang kini masih belum sadarkan diri. Namun, di satu sisi banyak sekali pertanyaan yang berlomba-lomba muncul dihatinya.

Mereka terjebak dalam keheningan panjang. Bersama langkah kaki yang jarang dan bau obat-obatan yang menyengat. Ruangan putih itu seperti menjadi saksi bisu kebersamaan mereka. Hingga akhirnya bangku disamping Anna terasa ringan saat Alfi bangkit menjauh. Melangkah ke sisi pintu ruang UGD yang tertutup rapat. Membuat Anna tanpa sadar memusatkan matanya pada punggung lebar dihadapannya. Punggung lebar nan tegap yang membuatnya terpesona hari demi hari, yang juga mampu membuatnya berdo'a agar suatu hari bisa berlindung disana setiap waktu. Ah, bagaimana bisa dia melupakan lelaki ini? Rasanya begitu sulit.

Alfi melirik jam dipergelangannya sekilas, "Saya ke musholla duluan ya? Bentar lagi udah masuk waktu Dzuhur. Operasinya sebentar lagi selesai kok."

Suara serak berhasil membuyarkan lamunan Anna. Kini sosok jangkung itu berdiri menjulang dihadapannya, cepat-cepat dia mengangguki lelaki itu. Menyembunyikan matanya yang sedikit membengkak dan wajahnya yang tampak bersemu merah.

Setelah lelaki itu benar-benar tak terlihat lagi, Anna menghela panjang. Beberapa saat kemudian dokter keluar, lalu disusul dengan ranjang Wirya yang digeret menuju ruang pemulihan.

Usai berbicara sebentar dengan dokter yang menangani ayahnya, tak berapa lama barulah Lina datang dengan wajah cemasnya. Perempuan itu langsung duduk didekat Anna dengan napas terputus-putus.

"Papa gimana, dek?"

"Kata dokter kondisi Papa mulai membaik, Mbak, pasca operasi. Sekarang udah dipindahin ke ruang ICCU." sahut Anna.

Lina mengangguk. Dia pun turut menghembuskan napas lega. "Syukurlah. Semoga Papa cepet bangun ya, dek."

"Aamiin, Mbak." sahut Anna lirih.

"Ya udah. Kita sholat Dzuhur dulu yuk, dek. Udah adzan tuh." ajak Lina.

"Iya, Mbak."

Detik selanjutnya, Anna mengikuti langkah lebar Mbak-nya itu. Menyusul Alfi ke musholla rumah sakit.

******

Suara berat Miko membangunkan Anna dari tidur panjangnya. Matanya mengerjap-ngerjap pelan, mengumpulkan kesadarannya kembali. Perlahan ditatapnya jendela kamar rumah sakit. Ternyata benar, hari sudah mulai malam. Langit-langit senja yang tadi menguning, mulai berangsur menggelap. Bahkan Alfi sudah pulang sejak siang tadi, karena ada urusan mendadak.

Anna mendongak, menatap kakaknya yang sudah berwajah cemas.

"Kamu pulang ya, dek! Muka mu pucet banget loh itu. Badan kamu juga panas. Biar Mas yang jagain Papa disini!" suruh Miko.

Namun Anna menggeleng, dia tetap tak mau mendengar ucapan Miko. "Nana mau disini aja, Mas. Nanti kalau Papa bangun, terus nggak ngelihat Nana disini gimana?"

"Dek! Turuti aja kata Mas mu. Pulang yuk, sama Mbak? Ya?" Lina ikut membujuk. "Dosen kamu kan juga masih di rumah jagain Amel. Kasihan dia lama nungguin kita. Pasti capek. Apalagi kamu tahu sendiri kan, Amel tuh bandel banget. Mbak takut dia nyusahin dosen kamu itu."

"Dosen? Di rumah?" bingung Miko, beralih mengintrogasi adiknya. "Siapa, dek? Kok bisa jagain Amel? Loh, ini Mas juga baru sadar kamu pakek kemeja cowok. Punya siapa ini, dek?"

Anna langsung meringis takut, "Eh, itu, Mas. Dia dosen di kampus Nana. Kemarin kan Nana kehujanan, terus pingsan di halte deh dan kebetulan dia lewat. Karena nggak tahu rumah kita, jadi dia bawa Nana ke tempatnya. Berhubung pakaian Nana juga basah, dia pinjemin bajunya pas Nana pingsan. Baju ini digantiin tetangga ceweknya kok, Mas. Nggak terjadi apa-apa sama kami. Sumpah."

Miko menghembuskan napas panjang, "Tapi kamu baik-baik aja kan? Masih pusing nggak? Biar Mas anter pulang aja deh, ya? Mas takut kamu kenapa-kenapa. Duh, mana kamu di rumah sendirian lagi."

"Nggak usah, Mas. Nana pulang sama Mbak Lina aja ya?" Anna memaksakan senyum. "Mas kan juga baru sampe. Pasti capek kan, kalau bolak-balik nganterin Nana."

"Ya udah." Miko menghela berat. "Kamu nginep sama Mbak aja ya, di rumah Mas?"

Anna kembali menggeleng, "Besok Nana kuliah hari terakhir, Mas. Masih ada ujian semester. Nanti nilai Nana makin jelek, ehehe. Lagian di rumah ada Mbok Sum kok. Sekali ini aja, ya? Habis itu Nana udah liburan semester kok. Bisa istirahat sepuasnya."

Miko hanya bisa menatap kasihan adiknya. Akhirnya dia mengalah, membiarkan Anna pulang. "Ya udah. Kamu hati-hati, ya. Malam ini istirahat yang cukup. Jangan begadang dulu. Belajarnya besok pagi aja! Oh iya, sama jangan lupa di minum obat pereda demamnya!"

"Iya, Mas Miko." Anna terkikik geli. "Kalau Papa udah bangun, jangan lupa kabarin Nana nanti. Udah, ya. Nana pulang dulu. Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumusalam." sahut Miko, menatap punggung Anna yang semakin menjauh sambil dirangkul oleh istrinya.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang