40. Sesejuk Embun Pagi

85 9 0
                                    

Jari-jari Wirya kembali bergerak perlahan ditengah dinginnya malam. Matanya berkedut. Perlahan kelopak mata tajam dan selalu memancarkan kehangatan itu membuka. Matanya menyipit, menyesuaikan dengan cahaya dari sinar lampu yang begitu menyilaukan mata.

Pandangan Wirya berputar, mengamati sekeliling. Keadaan tampak sepi. Pendar cahaya rembulan nampak begitu terang malam ini, menerobos masuk dari sela-sela jendela. Satu hal yang dapat dipastikannya saat ini dari balik gorden, suasana yang menampilkan kegelapan dan kesunyian malam. Serta cahaya rembulan ditemani bintang-bintang yang menjadi penerangnya.

Detik selanjutnya, mata pria itu kembali menutup. Menyisakan keheningan malam. Meninggalkan suara nyaring dari Cardiorespiratory Monitors.

*******

Begitu sampai di muka pintu musholla, Alfi dan Anna berpisah. Menuju tempat wudhu masing-masing. Alfi ke tempat wudhu ikhwan, sementara Anna ke tempat wudhu akhwat. Beberapa menit usai sholat pun, Alfi masih berdiri disana.

Saat Anna masih berlama-lama melipat mukenanya, Alfi tetap menunggu. Lagi-lagi membuat jantung Anna berdentum tidak menentu.

Setelah itu keduanya kembali menyusuri lorong. Anna kembali berjalan lebih dulu, dan Alfi mengikuti beberapa jarak di belakangnya. Kabar buruk tak lama datang setelah itu. Kondisi Wirya kembali nge-drop, kini tengah berjuang melewati masa kritis. Saat itu Anna tak henti-henti menangis. Matanya terus tertuju pada tubuh lemah Wirya yang tengah di tangani dokter dari balik pintu ruang ICCU. Dan ketika Wirya berhasil melewati masa sulit dan dipindahkan ke ruang rawat inap, Anna terus mengucap syukur. Semua ini pasti karena sebuah do'a yang di ijabahkannya tadi. Dan Allah maha pendengar yang baik, mendengar setiap keluh kesah dan ketakutan yang dialami hamba-Nya.

Mata Anna tidak bergerak dari Alfi. Dalam diam mengucapkan terima kasih. Semua karena kehadiran laki-laki itu menguatkannya. Membuat hati sanubarinya tenang seperti selayar perahu yang terkembang. Mengalir dengan dingin nan sejuk menyusuri arus dan hantaman. Melewati derasnya terpaan angin bersama. Alfi ada menemani setiap masa sulitnya tadi. Tidak pernah terpikirkan selama ini oleh Anna, bahwa Alfi akan menjadi satu-satunya orang yang menemani melewati suatu hal sulit di hidupnya.

Dan Anna tahu keinginannya semakin kuat. Sekarang dia akan meminta setiap hari agar do'a-do'a selanjutnya diijabah.

Jadi bolehkan dia meminta kepada Allah? Bahwa laki-laki ini dia minta mengimaminya suatu hari nanti. Menjadi calon imamnya sekaligus teman hidupnya. Dan menemani Anna melewati masa sulit serta masa bahagia bersama. Sampai hari tuanya nanti.

Sadar Anna memperhatikan dirinya dengan tampang aneh, Alfi melirik risih. "Kamu lihatin apa dari tadi?"

Anna gelagapan, mengetahui Alfi masih berdiri disana. "Ahaha, nggak ada. Kayaknya udah malem banget. Kamu nggak pulang?"

"Nggak apa-apa. Saya disini aja. Nggak baik cewek sendiri malem-malem." Alfi hanya memaksakan senyum tipis. "Lagian Mas Miko tadi minta saya buat jagain kamu."

"Tapi—" Anna melebarkan mata. Kemudian diamatinya ruangan di sekeliling mereka.

Alfi kembali tersenyum membenarkan, "Maksud saya, saya bisa tidur di luar. Atau kalau nggak di musholla tadi juga bisa. Dimana-mana juga bisa, saya kan cowok. Lagian banyak juga yang tidur di luar, kok."

Anna meringis, "Tapi nanti dingin."

"Udah biasa. Santai aja." Alfi termangu sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya dan mengulurkannya pada Anna. "Buat dibaca-baca kalau nggak bisa tidur."

Anna berkedip. Haru merayapi saat dilihatnya Al-Qur'an kecil yang tempo hari dibaca Alfi kini diulurkan padanya. Bibirnya gemetaran lagi. "Makasih banyak, ya. Nana jadi banyak ngerepotin kamu."

Alfi tersenyum tipis sambil melirik Anna sejenak, "Emm, soal saya meluk kamu tadi..."

Anna meringis malu mengingat kejadian itu, cepat-cepat dia memotong. "Nggak apa-apa. Nana ngerti kok. Alfi cuma mau nenangin Nana aja kan?"

Alfi tersenyum canggung, "Maafin saya, ya."

Anna kembali bersuara dan memaksakan tawa, "Ahaha, iya. Udah malem. Pasti kamu capek. Kamu tidur aja dulu, nggak apa-apa."

Alfi tersenyum salah tingkah, tanpa sadar mengelus belakang kepalanya. "Ya udah, saya keluar ya? Kalau ada apa-apa panggil aja. Saya mau ke musholla tadi."

Anna hanya mengirim senyum sebelum akhirnya menutup pintu. Dan punggung lelaki itu telah menghilang jauh. Diam-diam Anna menyibak gorden menatapnya.

Mengenyahkan Alfi, Anna mendudukkan diri di sofa. Tangannya meraih ponsel didalam tas selempang yang tadi sempat dia bawa. Lalu jarinya menari-nari diatas layar touch ponsel, mencari kontak Miko. Berniat mengabari kakaknya itu tentang kondisi Wirya malam ini.

Begitu panggilan terhubung, dia segera menyahut senang. "Mas Miko, kondisi Papa semakin membaik. Sekarang udah dipindahin ke ruang rawat inap."

Dan kabar itu langsung membuat Miko mengucap syukur. Kebahagiaan merambat di wajahnya. Akhirnya penantian mereka berakhir. Wirya telah keluar dari masa-masa sulitnya. Detik berikutnya, Miko keluar dari gedung tempatnya pelatihan usai memutus panggilan dari Anna. Meninggalkan teman-temannya yang masih sibuk menggelar acara penyambutan.

Miko buru-buru mengemasi pakaian ke dalam koper. Lalu dia segera memesan tiket pulang setelah mendapat persetujuan dari teman-temannya tadi.

******

Suara kumandang adzan subuh lewat ponsel membangunkan Anna dari tidur panjang. Mata Anna mengerjap, mengumpulkan seluruh kesadarannya kembali. Perlahan ditatapnya langit-langit kamar rumah sakit. Ternyata benar. Semalam bukan mimpi.

Anna bangkit perlahan. Secepat kilat dia mengirim kecupan di dahi Wirya. Dalam hati kembali mengirim do'a supaya Papanya segera membuka mata. Setelah itu Anna beringsut menuju kamar mandi membasuh muka seadanya dan keluar dari kamar menuju musholla.

Musholla masih ramai oleh keluarga pasien yang menumpang tidur. Sebagian di teras depan. Sebagian lagi di dalam ruangan. Anna melongokkan kepalanya sedikit. Tepat didepan sana dilihatnya Alfi tengah terdampar diantara Bapak-Bapak dan tidur dengan kaki panjang terjulur tidak nyaman.

Anna meringis menatap posisi tidur Alfi. Tubuhnya menyender pada dinding. Sementara kakinya berselonjor ke depan. Pasti sekujur tubuhnya pegal-pegal semua. Belum lagi dingin yang menusuk fajar hari ini. Kasihan sekali lelaki itu.

Tanpa sadar Anna melangkah pelan-pelan melewati beberapa orang dihadapannya. Lalu melepas jaket Miko yang tadi dia pakai. Nyaris membentangkannya ke atas tubuh Alfi. Tapi gerakannya terhenti ketika dirasakannya tubuh lelaki itu bergerak.

Anna menyembunyikan jaketnya secepat kilat, "Maaf, tadi mau Nana bangunin. Udah subuh soalnya."

"Oh." ringis Alfi meregangkan ototnya. Sebelah tangannya mengucek mata linglung. "Jam berapa?"

Anna melirik jam di tangannya, "Empat lewat lima puluh."

Tanpa sadar Anna meremas jaket digenggamannya kuat-kuat. Barulah dia sadar baju you can see yang dipakainya terekspos. Anna merutuk. Sudah salah kostum, dengan jeans pendek pula. Lebih parah, malah ketahuan berkaos begini.

Dihadapan Alfi? Habislah dia. Niat hati mau berbuat baik. Diam-diam Anna menyesali rencananya untuk meminjamkan jaket Miko pada Alfi. Dia bahkan lupa hanya pakai kaos ketat kurang bahan itu saja.

Anna menunduk malu saat menyadari tatapan risih Alfi kepadanya.

"Maaf, Alfi." cicit Anna, buru-buru bangkit.

Alfi mengangguk pelan, "Iya, makasih udah dibangunin."

Anna hanya bergumam lirih, "Ya udah, Nana ke dalem dulu."

Setelah mendapat anggukan dari Alfi, Anna bergegas kabur. Masih berani dia pakai jeans pendek dan baju kurang bahan pergi ke musholla. Apalah daya sore kemarin dia buru-buru dan hanya ada jaket milik Miko yang Anna dapat untuk melindungi tubuhnya.

Anna mendengus. Memilih tak perduli, dia segera mengambil air wudhu.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang