45. Tak Habis Thinking

85 9 0
                                    

Rendi dan kegaduhannya perlahan menjauh usai mengakhiri perdebatan sengit dengan Tegar. Tak lama kemudian Reihan menyusul sambil menuding-nuding Rendi. Nyaris menyeret pundaknya.

"Eh, mau kemana Lo? Katanya kenal Pani kan? Sini gue panggilin! Ehmm..." cegat Reihan, lalu satu suara melengking tiba-tiba terdengar. "TIFANNY! TIF—"

Rendi memelotot. Tepat saat itu subjek yang dimaksud juga tengah menengok. Refleks Rendi menarik kaos Reihan dan menyeretnya menjauh. Bersembunyi di pilar-pilar gedung Fakultas. Rion mengikuti tak lama setelahnya.

"Siapa yang panggil nama gue?" lengkingan suara Fanny terdengar tak lama setelahnya.

Alfi geleng-geleng kepala dari jauh saat perempuan yang diketahuinya bernama Tifanny itu menengok kesana kemari mencari asal suara yang entah dari mana. Kasihan sekali. Memang kurang ajar ulah teman-temannya yang tidak tahu diri itu. Alfi kembali menggelengkan kepala saat melihat ketiga temannya berdesakan bersembunyi dibelakang pilar.

Alfi mengelus dada, lalu menyampirkan tasnya bersiap menuju kelas. Meninggalkan Tegar yang masih termenung meratapi bukunya. Ketika dia nyaris menyentuh anak tangga, matanya berpapasan lagi dengan Anna— yang kebetulan memang sering bersama Fanny, terkadang Rara juga ikut mengintili— dan kini Anna tengah menatapnya.

Anna, ya?

Mengapa belakangan ini perempuan itu sering muncul dalam hidupnya? Seakan hatinya hanya terpusat pada satu nama.

Ck, kepala Alfi terasa pening. Dia berusaha mengenyahkan pikirannya itu. Secepat kilat dialihkan tatapannya kembali dari Anna ke tangga. Lalu Alfi menyusul teman-temannya yang sudah berlarian sambil saling dorong. Tentu saja Rendi dan Reihan.

Dari belakang Rendi menoyor belakang kepala Reihan, "Lo sih, Rei. Kira-kira kalau mau manggil orang! Malu-maluin banget tahu nggak!"

"Dih, Lo bilang kenal? Jadi nggak masalah kan?!" bela Reihan.

Rendi memelotot lagi. Nyaris melemparkan tas ranselnya ke muka Reihan. "Ya, itu masalah, bego! Lo bikin malu!"

Rion menyengir sambil melahap sebungkus arem-arem dari balik tasnya, "Kayak Lo nggak pernah bikin malu aja!"

"Hih. Lo ngaca deh, Yon!" Rendi mencibir. "Badan Lo itu udah mirip lemper yang Lo makan."

Reihan tertawa meringis, "Lemper makan lemper, ya bagus. Jadinya nanti nasi kepal."

Rion menghentikan makannya. Dia membuang bungkus arem-arem ke sembarang tempat. "Lagian gue makan arem-arem, bego! Bukan lemper!"

"Sama aja, Yon! Ijo-ijo gitu! Muka Lo juga udah kayak lemper!" Reihan tergelak, setelahnya langsung kabur saat mendapati muka garang adik kembarnya.

"Sialan Lo, Rei! Gue aduin Mama Lo!" pekik Rion berlarian mengejar kembarannya itu.

Reihan sendiri malah memeletkan lidah, seakan mengejek Rion. "Aduin sana! Mama kan di Mojokerto. Nggak bakal bisa nyamperin Lo! Ahaha."

Wajah Rion semakin tertekuk. Sedetik kemudian, aksi kejar-kejaran didalam kelas pun tak terelakkan.

Rendi tak ketinggalan segera menyusul, "Ya elah, bocah tuyul, tungguin! Gue mau duduk di bangku belakang dong!"

Alfi masih mengamati teman-temannya, sebelum mengelus dada. Bisa-bisa dirinya gila mendadak jika terus berada disekitar mereka. Harusnya dari awal dia memilih jurusan yang sama saja dengan Tegar, supaya bisa terbebas dari ulah tengil trio R perusuh itu.

******

Perpustakaan terlihat sangat ramai di jam-jam menuju siang. Anna mendengus sambil menenteng kantong plastik berisi makanan ringan di tangannya. Semua gara-gara Rara dan Fanny yang seenak dengkul meninggalkan dia di Kantin bersama setumpuk pesanan. Lalu sahabat-sahabatnya itu beralasan menunggu di Perpustakaan untuk mengerjakan tugas.

Masih sambil mengomel, Anna melangkah menuju loker. Bersiap menyimpan tas disana. Langkahnya langsung terhenti begitu sadar sosok jangkung kesukaannya juga tengah berada disana. Sibuk memasukkan tas di loker.

Alfi. Anna meringis dari jauh. Mau menunggu saja atau sekalian? Akhirnya dia tekadkan mengambil jarak beberapa loker disamping Alfi. Anna sadar, Alfi sedikit menoleh saat tanpa sengaja mereka nyaris menarik kunci loker yang sama.

Anna memekik malu. Alfi segera mencari kunci yang lain. Lalu hening sebentar.

Sibuk dengan tas ditangannya, Anna menyempatkan diri menoleh. Mendapati Alfi tengah mengeluarkan beberapa tumpuk buku tebal dari tas.

Anna meringis. Rajin sekali. Beda jauh dengannya. Pergi ke Perpustakaan hanya kamuflase mencari udara sejuk. Bahkan dia dan kedua temannya kerap kali menyelundupkan makanan untuk dibawa ke dalam ruangan.

Diam-diam Anna kembali malu.

"Gimana keadaan Pak Wirya?"

Suara itu mampir begitu saja. Terdengar berat dan merdu. Anna mengerjap. Matanya melirik Alfi yang tidak berubah posisi. Masih dengan muka yang menatap lurus pada buku dan loker. Tanpa menoleh sedikit pun pada Anna. Tapi dia sudah cukup hafal suaranya. Dan itu tadi jelas Alfi.

"Oh, Papa? Udah membaik kok. Malah udah buka-buka laptop, sibuk ngurusin kerjaannya."

Alfi tersenyum tipis, melirik sekilas Anna dari ekor matanya. "Maaf, saya belum sempat jenguk lagi."

Anna ikut tersenyum, "Eh, iya. Papa dari kemarin nyariin kamu. Abang Ris dan yang lain dateng. Kok kamu nggak ikut? Emm, kata Papa juga, makasih. Kemarin belum sempat bilang."

Alfi kali ini menoleh, meski cueknya masih terasa. "Iya, sama-sama. Rencananya saya mau ke rumah sakit lagi. Cuma kemarin sore hujan deres."

Tepat saat itu, Anna juga menoleh. Baru saja Alfi akan melanjutkan percakapan, saat tiba-tiba jeritan lain terdengar. Heboh sekaligus merdu dan mesra.

"Sayang ku. My little fairy Nana. Lo dari mana aja sih? Gue cariin dari tadi juga." Dipta melingkarkan tangannya di leher Anna. Sementara tangan yang lain menutup mata Anna. Hingga gadis itu menjerit. Tapi tidak digubris sama sekali, karena Dipta semakin lancang. "Mumpung dua pengawal Lo lagi nggak ada, jalan-jalan yuk? Berdua aja. Mau kemana? Taman? Mall? Apa villa aja sekalian? Lo mau lihat pemandangan yang seger-seger kan? Yuk, kita liburan? Ke kampung halaman gue mau?"

"Apa sih, Dip? Nggak mau!" ketus Anna, menepuk-nepuk lengan Dipta yang masih bersarang di kedua mata dan lehernya.

Alfi melirik mereka risih. Diam-diam membatin jengkel. Cepat dibereskannya buku. Tak memperdulikan keduanya lagi.

Dipta yang tersadar kehadiran Alfi segera menoleh, "Eh, Lo temennya Kendi kan ya? Lo yang paling alim itu kan? Duh, siapa nama Lo? Lupa gue. Nggak terkenal sih."

Alfi masih terfokus pada bukunya. Tidak menanggapi Dipta sama sekali.

Dipta terus mengoceh, "Bilangin ketua geng Lo itu! Nggak usah sok ganteng! Fanny nggak mau sama dia! Jadi, nggak usah—"

Lagi, Alfi hanya mengabaikan. Lalu dia bersiap menjauh dari sana.

"Eh, anjir! Malah kabur dia! Gila ya, sombong banget! Awas Lo kalau ketemu lagi! Habis Lo sama gue!" Dipta menjerit saat Alfi melenggang pergi begitu saja. "Siapa deh itu namanya, Na? Lupa gue. Gengnya Kendi yang alim itu kan? Ck. Dikira dia siapa berani gituin gue! Songong amat."

Anna menggeram. Dia malu sekaligus kesal. Gara-gara kedatangan Dipta, mengacaukan segalanya. Sekarang Alfi sudah pergi. Padahal mereka baru mengobrol seru tadi.

"Hih. Pergi Lo, Dip!" ketus Anna akhirnya. "Jangan pegang-pegang gue lagi! Gue aduin ke Rara Lo ya! Awas aja!"

"Lah, lah, Na? Kok gue ditinggal sih? Nana!" pekik Dipta.

Dan setelahnya lelaki sangar itu segera berlari mengejar langkah cepat Anna.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang