8. Mahasiswa Part Time

182 7 0
                                    

"Saya Alandra Mahesa. Ini hari pertama saya. Mohon bantuannya." Alan tersenyum tipis, usai memperkenalkan diri.

"Baik." sahut Bu Ratna, selaku Dekan FE. "Selamat bergabung, Pak Alan. Di kampus tercinta kita ini. Untuk hari ini, Bapak bisa mengajar di kelas EP3-2 dulu sebelum menggantikan Bu Rani yang akan pensiun."

"Bu Selin, tolong bantu Pak Alan ya! Berikan dia buku panduan untuk mengajar!" timpal Pak Anwar, selaku Rektor UNNUR.

"Baik, Pak." Celin mengangguki, lalu beralih menatap Alan. "Aku ke perpus dulu ya, Mas."

"Iya." sahut Alan.

Usai kepergian Celina, dosen mata kuliah bahasa Inggris menyapa Alan.

"Hi, Mister Alan. Welcome to join our campus. I'm Arumi, an English lecturer."

Alan tersenyum tipis, "Oh, yeah. Thank you, Miss. Nice to meet you."

Arumi mengangguk, "Have a nice day, ya."

Alan menunduk sopan, "I hope you have a nice day too, Miss."

Lalu sepersekian detik kemudian Dewan Pertimbangan Akademik masuk ke ruang dosen, ikut menyapa Alan.

"Dosen baru, ya?" tanya Jonathan.

"Betul, Pak." sahut Alan, lalu setelahnya dia berpamitan. "Kalau begitu, saya duluan, Pak, Bu, Miss."

"Iya, silahkan."

******

Hujan lebat mengguyur, begitu Alfi sampai di lobby kantor tempat dia melaksanakan part time trainee. Sudah hampir empat bulan, dia berada di kantor itu. Menjalani trainee atas usulan kakaknya, Haris. Yang juga bekerja disana dan sudah mendapatkan posisi yang bagus.

Bagi Alfi, tidak ada alasan dia menolak tawaran tersebut. Keinginannya untuk tidak merepotkan kedua orang tua semakin kuat. Mereka bukanlah dari keluarga kurang mampu, orang tuanya masih tergolong keluarga yang berkecukupan dan sangat bisa untuk membiayai hidupnya. Tapi sedari kecil, dia dan kakaknya memang di didik untuk menjadi laki-laki mandiri dan bertanggungjawab.

Berkat Haris dan teman-temannya pula Alfi berhasil menyelesaikan trainee. Setidaknya kegiatan part time ini, akan membantunya di masa depan. Meskipun apa yang dilakukannya kini masih tergolong pekerjaan ringan. Alfi sangat bersyukur sudah bisa mendapat penghasilan sendiri di usia semuda ini.

Maka dari itu Alfi lebih suka menghabiskan waktu untuk bekerja daripada mengikuti organisasi tidak jelas. Event yang di adakan kampus, bahkan hanya sesekali dia ikuti. Sedangkan sisa waktunya, dipergunakan dengan sebaik mungkin untuk membagi antara kesibukan kuliah dan mengikuti part time trainee.

Alfi baru saja hendak melangkah menuju lift, ketika Miko lewat dihadapannya. Spontan dia menunduk dan tersenyum sopan pada sosok ramah yang begitu dikaguminya itu. Sudah lama dia tidak bertemu atasannya. Terakhir Alfi bertemu Miko, saat awal-awal dirinya menjalani masa trainee dulu.

"Baru sampe, Fi? Wah, untung nggak kehujanan ya?" kekeh Miko, masih dengan wajah ramahnya.

Alfi tersenyum tipis, menanggapi Miko. "Iya, Mas. Kebetulan hujannya turun pas udah sampe sini."

"Oh, gitu. Ayo, sambil jalan, Fi." Miko menunjuk pintu lift yang sudah terbuka.

Refleks Alfi mengikuti dibelakang, "Apa kabar, Mas? Lama nggak ketemu."

"Alhamdulillah, baik." sahut Miko. "Kamu sendiri gimana? Kuliah lancar?"

Alfi mengangguk, "Alhamdulillah, baik, Mas. Kuliah juga lancar."

"Syukurlah." Miko terkekeh. "Omong-omong, Mas tadi lihat kamu di kampus. Kebetulan Mas lagi jemput adek disana, terus lihat kamu deh. Mau Mas panggil, tapi kamu-nya keburu hilang."

"Oh ya?" Alfi berusaha mengingat-ingat. "Baru tahu saya, kalau Mas punya adek yang kuliah disana juga. Ambil jurusan apa dia, Mas? Udah lama kuliahnya?"

"Iya. Adek Mas itu anak Manajemen. Dia masuk kuliah angkatan 2019 juga. Kayaknya seumuran kamu deh. Oh iya, anaknya nggak hijab-an kok. Kalau kamu ketemu cewek yang berambut panjang hitam sepinggang, tubuhnya pendek agak berisi, kulit putih, pipinya gembul, muka ala Chinese, nah itu dia orangnya." Miko tersenyum-senyum sendiri, saat mengingat wajah adiknya yang tembem dan menggemaskan itu.

Alfi mengulum senyum, "Kan yang nggak berhijab di jurusan manajemen lumayan banyak, Mas."

Miko baru akan menjawab, saat tiba-tiba suara lain menginterupsi. Ternyata Haris yang kini sudah berdiri di antara keduanya, tepat di depan ruang divisi mereka. Raut wajahnya penuh dengan ejekan, yang membuat Alfi muak melihatnya. Mau di rumah, mau di kantor, kelakuannya sama saja. Tidak jauh berbeda, kakaknya itu selalu menyebalkan.

"Halah, Mik. Lo ngomong apaan, sih? Salah deh, kalau ngajak dia bahas soal cewek. Nggak bakal ngerti, mahasiswa kupu-kupu gitu. Ditanyain soal pacar aja, dia langsung kabur. Begini nih, kalau nggak gaul di kampus. Nggak kenal siapa-siapa." Haris tertawa sarkas.

Alfi menatap malas kakaknya, "Gue bukan mahasiswa kupu-kupu, enak aja. Lagian kan yang jadi mahasiswi disana buka dia doang, Bang. Mukanya perasaan mirip-mirip semua. Ya, mana gue paham juga sih soal cewek-cewek di kampus."

Haris berdecih sinis dan menatap angkuh adiknya itu.

Melihat pertengkaran mereka berdua, Miko menggeleng-gelengkan kepala. "Nanti ku kenalin ya, kapan-kapan!"

Alfi hanya memaksakan seulas senyum. Dia menganggap omongan Miko hanya sebagai angin lalu. Dirinya juga tidak berharap lebih untuk berkenalan dengan adik Miko itu. Toh, sejak dulu dia memang jarang berteman dekat dengan perempuan. Kalau dibilang mengagumi sih, Alfi dulunya pernah. Tapi, ya hanya sebatas itu. Beberapa minggu kemudian, dia sudah lupa pada perasaannya sendiri. Menurutnya, masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada percintaan.

Pemuda itu seakan membatasi diri. Baginya kaum perempuan sangatlah ribet dan aneh. Kemauannya juga berbelit-belit. Terlalu banyak bertele-tele dan berkepribadian cengeng plus manja. Contohnya? Tentu saja, lihat Mamanya yang suka mengomel itu.

"Wah, terima aja, Fi! Siapa tahu keluarga kalian bisa besanan kan?" celetuk Yoga, berniat mengompori Haris dan Miko. Lalu dia menatap keduanya secara bergantian.

"Apaan sih, Ga? Do'a Lo jelek banget." cibir Haris, tak terima.

"Ya Allah." Yoga menatap gemas kakak Alfi itu. "Gue nggak do'ain jelek, Ris. Justru gue do'ain yang baik-baik. Biar Lo juga bisa makin akur sama Miko, nggak rebutan cewek mulu. Kayak jaman kuliah dulu."

Mata Yoga berputar ke arah Bayu, "Betul nggak, Bay? Oy Bay, Lo dengerin gue nggak sih? Diem aja dari tadi."

Bayu mendelik sinis, "Apaan? Berisik banget Lo pada. Ini gue lagi sibuk ngatur jadwal kencan buta. Jangan diganggu dulu, bisa nggak sih? Rese bener. Lo pada mah enak, udah punya gandengan semua. Lah gue? Boro-boro, pacar aja nggak punya."

Haris tertawa mengejek, "Gegayaan Lo, Yu, Yu. Segala ngatur kencan buta. Diporotin cewek lagi tahu rasa Lo. Nggak pernah kapok emang."

Yoga ikut tergelak, "Gue ngerasa Lo bakal kalah saing sama Fi, Bay. Hati-hati Lo, feeling gue biasanya bener."

"Halah, falang feeling. Pala Lo peang. Ramalan Lo tuh buruk, Ga. Musyrik kalo dipercaya." decak Bayu, matanya kini beralih menatap Alfi. "Eh, bocah. Lo masih ingusan. Awas Lo ya, kalau ngelangkahin gue! Gue nggak ikhlas lahir batin pokoknya."

Alfi angkat tangan, tersenyum canggung. "Iya, Bang. Gue juga nggak kepikiran sama sekali kok."

Bayu menatap tajam, seakan memberi peringatan. "Beneran Lo ya?! Nggak bakal gue maafin, kalau sampe kejadian."

Haris memandang remeh, "Halah. Santai aja kali, Yu. Nih anak nggak bakal mikir jauh-jauh. Lihat aja noh kelakuannya, mana ada cewek yang betah ngedeketin dia. Udah kayak batu jalan gitu, palingan langsung kabur tuh cewek."

Alfi menatap kakaknya sambil mengelus dada, "Terserah Lo deh, Bang."

Beginilah nasibnya berada diantara pria dewasa macam mereka. Terdampar menjadi yang termuda. Pasti ujung-ujungnya dia juga yang menjadi bahan ledekan.

******

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang