23. Bukan Idaman

70 6 0
                                    

Sepeda milik Alfi terhenti di sebuah warung kecil yang letaknya hampir masuk pertigaan kampus. Anna menyusul tak lama setelahnya. Alfi masih diam menunggu di sudut parkiran. Barulah ketika sepeda milik Anna sampai, dia bergerak mendekati gadis yang masih sibuk merapikan helm.

Alfi meringis menatap Anna tidak enak, "Makan di tempat gini nggak apa-apa kan?"

Anna mengulum senyum, "Iya. Nana sih dimana aja, asal enak nggak apa-apa."

Alfi menghela lega, "Kirain nggak biasa makan di tempat kayak gini."

"Kata siapa?" Anna terkikik geli. "Sering banget malah."

Gadis itu segera mengikuti langkah Alfi masuk. Sementara si jangkung didepannya sibuk menyelip di antara desakan pelanggan lain yang mengerumuni warung. Melihat itu, Anna segera menyingkir mencari tempat duduk kosong.

Lama berputar, akhirnya mata Anna menangkap tempat kosong di sudut pojok. Segera dia melangkah kesana, menunggu Alfi datang.

"Saya jadinya beli nasi uduk, nggak apa-apa kan? Soalnya nasi kuningnya habis." Alfi mengulurkan piring berlapis daun pisang itu ke arah Anna dan duduk dihadapannya.

Anna mengangguk, menerimanya dengan riang. "Iya, nggak apa-apa. Asal nggak ada nanasnya, Nana tetep suka kok."

Alis Alfi mengerut, "Loh, kenapa? Nggak suka nanas, ya?"

"Lebih tepatnya alergi sih." ringis Anna, menahan malu. Lalu dia merogo saku celana training-nya. "Oh iya, berapa nasinya?"

Alfi tersenyum tipis, "Udah saya bayar kok. Nggak usah."

Anna memasang muka cemberut, "Kok nggak usah? Berapa, Alfi? Nana mau ganti uang kamu. Berapa satu porsinya?"

Alfi tak menjawab, malah mengalihkan matanya. "Ayo, dimakan. Keburu dingin."

"Ih, jawab dulu!" Anna mencebikkan bibir. "Anna nggak mau punya hutang. Cukup air mineral tadi aja. Sekarang nggak lagi, ah. Emang kamu doang yang nggak mau punya hutang? Nana juga nggak mau. Takut dosanya Nana makin numpuk."

Alfi menahan tawa mendengar rengekan Anna, "Ya udah, enam ribu."

Gadis itu segera mengulurkan selembaran berwarna ungu, "Nih, uang Nana sepuluh ribu. Kembali empat ribu ya, buat beli teh anget aja."

Alfi akhirnya menerima uang dari Anna, "Tehnya tiga ribu, kembali seribu. Bentar, kayaknya saya ada uang receh."

Anna hanya menahan tawa sambil melirik Alfi yang tengah merogoh saku celana training-nya. Astaga, sangking tidak maunya punya hutang, lelaki itu sampai berlebihan begini. Padahal dia sebenarnya ikhlas lahir batin, apa lagi ini Alfi. Dia rela memberikan apapun miliknya asalkan itu adalah Alfi.

Akhirnya Anna pasrah, menerima uang seribuan berbentuk koin dari lelaki jangkung itu. Menampilkan senyum manisnya sejenak, lalu melahap nasi uduk dihadapannya dengan penuh semangat.

Pagi ini adalah momen terindah dan istimewa bagi Anna, selain terjebak mogok di tengah hujan tempo hari. Menghabiskan waktu berdua hanya dengan Alfi, laki-laki favoritnya. Dan ketika keduanya menyudahi sarapan pun, Alfi masih setia menunggunya di parkiran. Lagi-lagi membuat dirinya tersentuh oleh kebaikan si jangkung.

Begitu Anna sudah berada dihadapannya, Alfi segera mengeluarkan sepeda dari area parkir lalu menuntunnya keluar. Anna mengikuti dari belakang.

Melihat hal itu, Alfi menghentikan langkah. Membiarkan Anna menuntun sepedanya didepan. Setelahnya lelaki itu menyusul dibelakang. Sehingga kini mereka menuntun sepeda beriringan.

Anna sesekali menengok, "Makasih ya. Udah ajakin Nana makan disini. Nana suka, nasinya enak. Ada telur rebus sama orek tempenya juga. Nanti Nana mau belajar masak sama Mbok Sum, ah. Alfi harus cicipin ya? Jadi juri buat masakan Nana?"

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang