26. Keluarga Cemara

61 7 0
                                    

Alfi hanya bisa meringis saat mendengar jeritan-jeritan Alin dari dapur. Rumahnya memang tidak pernah sepi. Selalu ramai oleh setiap penghuni yang ada. Entah Ibunya yang super rempong, Ayahnya yang hobi menggelar ceramah dadakan, Abang dan adik yang tidak pernah absen mengganggu dirinya, kakak ipar yang suka mengomel masalah kebidanan, belum lagi ditambah keponakannya yang sering rewel. Serta Nenek yang menambah pusing kepalanya. Rasanya Alfi tidak pernah lepas dari suara-suara bising itu. Dia bagai terjerat dalam lingkaran tak berujung.

Menghela napas, Alfi menutup buku Ekonometrika yang tengah dia baca. Matanya melirik jam dinding yang masuk waktu makan malam. Seperti biasa, usai menunaikan ibadah sholat Isya berjamaah Ibunya itu langsung kerepotan sendiri menyiapkan berbagai hidangan. Biasanya Rina akan membantu. Tapi agaknya wanita itu sibuk di rumah sakit mengurus kelahiran pasien-pasiennya. Jadilah Alin seorang diri yang menyiapkan makan malam. Berhubung di rumah hanya ada tiga perempuan saja. Alin, Rina dan Nenek. Kalau Rina absen di dapur, tentu Alin kerepotan. Nenek sudah tua. Jadi tidak diperbolehkan membantu. Ibunya terlalu kasihan pada Nenek jika harus mengerjakan pekerjaan rumah. Alhasil Alin akan berteriak-teriak menyebalkan saat menyuruh orang rumah.

"Ya Allah, anak-anak ini dimana sih? Mas Fi! Dek Andy! Makan dulu sini!" Alin berkacak pinggang dari meja makan. "Aduh, kalau disuruh makan aja susah bener. Coba kalau Bunda nggak masak sehari aja, pasti pada nyari-nyariin makanan. Giliran udah di meja nggak digubris. Kurang baik apa lagi coba, Bunda?"

Alfi yang mendengar celoteh Ibunya itu langsung bergegas menghampiri, tidak mau melihat mulut Alin semakin berbusa-busa. Dan benar saja ketika dia tiba di meja makan, raut wajah sang Bunda terlihat kesal. Sementara disana sudah duduk rapi Haris, Zaidan, Hesti, dan Fajar.

"Nah, kurang Dek Andy. Mana itu bocah?" decak Alin sebal.

"Biar Fi aja yang panggil Andy, Bun."

Alfi segera berbalik menaiki tangga lagi. Langkahnya terhenti saat dilihatnya pintu kamar sang adik setengah terbuka. Kernyitan di dahi Alfi bermunculan saat melihat komputer adiknya menyala menampilkan WhatsApp Web. Alfi melirik sekilas dan menggelengkan kepala.

"Ndy, dimana Lo?" pekik Alfi, mencari keberadaan adiknya itu.

Suara keritan pintu kamar mandi terdengar. Arfan yang tengah mengeringkan rambut basahnya langsung berlari dengan tergesa, menutup layar desktop komputer. Membuat amarah Alfi kembali keluar.

"Apa ini, dek? Jawab gue!"

Arfan meringis sebal, "Apa sih, Mas? Sejak kapan Mas Fi suka baca-baca chat orang? Melanggar privasi ini namanya! Kata Bunda nggak boleh, nggak sopan tahu."

"Lo yang nggak sopan. Chat apa tadi, hah? Sama cewek itu kan?" Alfi menatap miris adiknya. "Ya Allah. Lo itu baru kelas sebelas, dek. Harusnya fokus belajar. Bukan malah pacar-pacaran kayak gini segala."

"Dih. Apa sih, Mas? Kata Bunda boleh kok kenalan sama cewek. Asal nggak berlebihan." Arfan membela diri. "Lagian Bang Ris aja dulu boleh pacaran. Sama anaknya Pak RT malah. Deketin anak Pak Ustadz di pondok pesantrennya Kakek juga pernah dia."

"Tapi Lo tuh masih kecil, Andy!" Alfi kembali berdecak gemas. "Gue aduin ke Ayah Lo, ya. Lihat aja."

"Eiittttsss." teriak Arfan panik. Secepat kilat berlari menyambar kaos dan melangkah keluar membanting pintu. Nyaris mengunci Alfi didalam. Setelahnya dia beranjak menuju dapur menghampiri Alin. "Bunda, tolongin Andy."

"Aduh. Ada apa sih ini, dek? Heboh banget." ringis Alin.

Fajar menatap putra bungsunya kesal, "Sabeni, ayo cepat makan! Jangan malah lari-larian begitu! Ayah nggak suka ya. Kamu tuh udah gede. Bukan anak kecil lagi."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang