Anna terus berlarian tak tentu arah. Tanpa sadar, kakinya melangkah keluar menuju jalan raya. Dan begitu sebuah taxi meluncur dari arah jauh, Anna langsung berseru dan masuk kedalam sana.
Anna terus menangis didalam taxi itu. Matanya melirik kebelakang, memastikan Wulan tak lagi mengejar dan mengikutinya. Gadis itu tak henti-hentinya mengucap syukur karena Ibunya sudah sangat jauh tertinggal. Lalu dengan suaranya yang serak dan pilu, diucapkannya alamat kantor Wirya pada sang supir. Papanya masih terbaring di rumah sakit. Tapi Anna yakin, Miko pasti disana siang-siang begini. Ya, disaat seperti ini hanya Miko yang bisa menjadi sandaran hidupnya.
Pada dasarnya, apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Semakin perempuan beranjak dewasa, dia akan jauh dari Ayahnya. Begitu banyak batas antara kedekatan seorang anak perempuan dengan Ayahnya. Apalagi ketika Wirya sedang terbaring sakit seperti ini. Dan yang sangat dibutuhkan disampingnya adalah sang Mama. Lalu ketika sosok itu tidak ada, anak perempuan membutuhkan kakaknya sebagai pendengar sekaligus penopangnya. Itulah kenapa Anna tahu, bahwa selamanya dia hanya akan bergantung pada Miko.
Anna sadar, tidak akan pernah bisa dirinya hidup sendirian tanpa ada Miko disampingnya. Tak peduli bahwa mereka tidak dilahirkan dari rahim yang sama. Bagi Anna, Miko adalah satu-satunya.
Mas Miko. Tolongin Nana, Mas. Nana nggak mau ikut wanita itu.
Setengah jam kemudian taxi yang dinaikinya menepi tepat didepan area kantor Papanya yang megah menjulang tinggi. Anna melangkah keluar dan mendapati hujan gerimis mulai turun di tengah langit mendung siang itu. Matanya menatap nyalang ke atas langit, memandangi titik-titik hujan yang jatuh di sekitar netranya. Bersamaan dengan bulir air mata yang juga mengalir turun. Tanpa sadar telapak tangan Anna terbuka, turut merasakan genangan air yang berjatuhan. Begitu tenangnya sampai dia tak sadar tiba-tiba tetes air itu terhenti.
Anna mengernyit dan mendongak menemukan sebuah payung yang kini menutupi dirinya. Detik berikutnya, pandangan Anna jatuh pada dua bola mata indah yang amat disukainya. Tanpa sadar air matanya menderas, bersamaan dengan gerimis yang juga semakin deras.
Bawa Nana pergi dari sini, Alfi. Nana mohon.
"Hujannya makin deras. Nanti kamu sakit." Alfi semakin mendekatkan payung di tangannya ke arah Anna.
Anna masih terus menangis. Ditatapnya Alfi bingung. "Alfi ngapain disini?"
"Kalau cari Mas Miko, baru rapat sama klien. Setengah jam lagi selesai. Tunggu aja didalem."
Anna terkekeh disela tangisnya, "Iya. Nana emang cari Mas Miko. Tapi kan Nana sekarang lagi tanya kamu. Ngapain hujan-hujanan di luar gini? Kok nggak didalem ruangan aja?"
"Mau keluar beli bakso. Mas Yoga sih yang mau, tapi sekalian aja karena semua juga belum makan." Alfi melirik stand bakso di luar kantor. "Kamu mau juga?"
Tanpa sadar Anna mengangguk, "Mau."
Alfi tersenyum tipis, "Tapi dibungkus, ya. Makannya nanti didalem aja."
Anna hanya mengangguk-angguk.
"Ya udah, nih pegang payungnya. Saya pesen dulu." Alfi mengulurkan payung, memaksa Anna memegangnya. Dan hanya disambut gelengan dari Anna. "Udah, pake aja. Nanti kamu bisa sakit, hujan-hujanan begini."
Anna masih terus menggeleng, "Kamu aja yang pakai. Kamu kan mau beli bakso."
"Nggak apa-apa. Cuma gerimis. Cepet, kamu yang pegang."
"Tapi kamu?" lirih Anna.
"Tunggu di lobby aja. Nanti saya susul. Atau kamu mau ke atas dulu? Tunggu aja di bangku saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Dosen
RomanceAnnara yang merupakan mahasiswi cantik dan populer di kampusnya sangat di kagumi oleh banyak pihak. Parasnya yang menawan begitu dipuja-puja semua kalangan. Kehidupannya yang terlihat sempurna tak bercelah dan bergelimang harta, membuat orang lain s...