35. Mama Si Pembuat Onar

65 8 0
                                    

"Katanya harta yang paling berharga adalah keluarga, sampai sekarang aku masih mencari letak berharga itu dimana. Sementara Ayah dan Ibu ku sudah bercerai."

.
.
.
.

Anna melongokkan kepalanya dari balik pintu ruang kerja Alan. Dia mendapati pria itu tengah sibuk mengoreksi lembaran-lembaran kertas ujian mereka. Segera Anna menghampirinya sambil membawa beberapa lembar kertas HVS berisi tulisan tangannya.

Menyadari kedatangan gadis itu, Alan melirik sekilas.

"Duduk!" suruh Alan, tidak berniat menghentikan kegiatannya.

Cukup lama terjadi keheningan diantara mereka. Membuat mulut Anna tiba-tiba gatal dan tanpa sadar melontarkan sebuah pertanyaan.

"Emm, Pak..." Anna menatap ragu Alan. "Bapak nggak ngapa-ngapain saya kan, malem itu?"

Alan terdiam sejenak. Bolpoin ditangannya dia letakkan di meja dengan kasar. Lalu menyilangkan tangan sambil menatap malas mahasiswinya itu.

"Saya nggak tertarik sama kamu." ketus Alan. "Lagian, mana ada cowok yang suka sama cewek jelek kayak kamu. Body doang gede, tapi dada rata."

Jleb. Jantung Anna bagai tertusuk pisau. Mulut Alan ini tajam dan blak-blakan sekali. Siap menghunus bagai pedang berujung landap. Rupanya selain galak, dia ini juga pria hidung belang yang tidak punya perasaan.

"Dih, body shaming amat nih dosen. Dasar mesum." batin Anna, menatap tajam Alan. "Lagian aku nggak jelek-jelek banget kok. Buktinya sampe sekarang masih tetep jadi primadona kampus tuh. Perasaan, aku juga nggak terlalu gemuk deh. Mata nih orang aja yang karatan kayaknya. Nggak bisa bedain mana cewek yang bener-bener cantik. Udah rusak kali ya, matanya."

Alan mendelik sinis, "Ngapain kamu natap saya kayak gitu? Nantangin saya?"

"Eh." Anna gelagapan, dia segera memalingkan muka. "Nggak, Pak."

Alan memutar bola mata, "Terus ngapain kamu kesini?"

"Ah, itu...." Anna berdehem sejenak. Lalu menyengir lebar ke arah Alan. ".... saya mau ngumpulin tugas, Pak. Ehehe."

Alis Alan terangkat, menatap angkuh Anna. "Nggak bisa. Kan udah saya bilang nggak nerima tugas susulan."

Anna menganga tak percaya, wajahnya berubah masam. "Yah, tolong dong, Pak. Kali ini aja, kasih saya kesempatan. Lagian kan saya cuma telat semenit ngumpulinnya, masa Bapak udah nggak terima tugas saya lagi sih? Nggak adil banget."

Namun Alan masih tetap diam. Kembali meneruskan koreksiannya.

"Pak!" mohon Anna, menatap Alan penuh linangan air mata. "Saya janji bakal nurutin permintaan Bapak, asal masuk akal sih. Tolong ya, Pak?! Saya nggak mau nilai saya D dan harus ngulang semester depan. Bisa diamuk Papa saya dong, Pak. Kalau dia kambuh lagi gimana? Emang Bapak mau tanggung jawab?"

Anna hampir saja menangis, namun segera mendapat pelototan dari Alan. Pria itu hafal betul mahasiswi licik modelan Anna ini. Jaman dia kuliah dulu pun, cukup banyak gadis-gadis yang menggunakan trik macam ini. Demi memikat rasa iba para dosen.

"Dasar, buaya betina satu ini. Kalau dibiarkan, nanti dikira gue nyakitin anak orang lagi." batin Alan sebal.

Alan berdecak, akhirnya dia mengalah. "Besok siang temuin saya di Apartment!"

Anna mengerjap bingung, sambil menyeka sudut matanya. Meski terlihat nyata tidak ada genangan air sedikitpun disana. "Lah, mau ngapain, Pak? Jangan aneh-aneh ya! Inget Bapak tuh dosen."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang