24. Patah Hati Terdalam

94 7 0
                                    

"Aku hanya mengubah sikap ku. Aku tidak pernah merubah perasaan ku. Tidak ada yang baru. Semua masih tentang mu."

.
.
.
.

Alan bersiul-siul, begitu memasuki dapur. Tangannya bergerak membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral dingin lalu meneguknya sambil berjalan mendekati gadis berseragam putih abu-abu yang tengah membersihkan peralatan makan di meja bar menggunakan hand sanitizer. Matanya terus mengawasi pergerakan adik tirinya itu.

Friska mendengus malas, "Ngapain, sih?"

Bukannya menjawab, Alan bersendawa ke arah muka Friska. Membuat gadis itu memekik jijik.

"Heh! Ngapain disini?" geram Friska.

"Ya, gue kehausan lah. Emang salah?" sahut Alan acuh.

"Dih! Terus ngapain Lo ngelihatin gue?" ketus Friska.

Alan menatap datar, "Siapa yang lihatin Lo? Geer banget."

Friska hanya bisa menghela napas jengah. Tak memperdulikan manusia disampingnya, gadis itu lanjut mengelap sendok dengan tisu ditangannya.

Alan melirik sekilas, "Itu Lo ngapain?"

Friska menyahut malas, "Biar kumannya pada minggat."

"Duileh, rajin amat Lo. Pagi-pagi buta gini udah bersihin begituan." cibir Alan tersenyum sinis. "Kayaknya rumah ini nggak perlu pembantu lagi deh. Pembantu aja kalah bersih sama Lo. Dasar Miss perfeksionis sejati."

"Percuma gue ngomong sama kuman kayak Lo." ketus Friska, menyemprotkan hand sanitizer dihadapannya ke arah muka Alan.

"Nggak mempan. Gue rajanya kuman." sahut Alan, mengibas-ngibaskan cairan itu.

"Nyenyenye." ejek Friska, lalu melenggang pergi meninggalkan pria itu.

Tak memperdulikan Friska, Alan berniat kembali ke kamar. Baru saja dia hendak menggerakkan kaki, satu seruan geram menghentikan langkahnya.

"Kalian berdua ini kapan nggak ributnya sih?" Damar menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu itu sekali-sekali bisa nggak nurut sama Ayah? Bisa nggak?"

Alan berdecih sinis, "Perasaan aku selalu nurut deh sama Ayah. Kapan sih aku nggak nurut? Ayah suruh aku kuliah di Aussie, aku pergi kesana. Ayah suruh aku balik ke Indonesia, aku balik. Ayah mau suruh aku apa lagi? Salto? Jungkir balik? Kayang? Ayo, aku lakuin."

Damar menepuk meja geram, "Heh, Alandra! Pokoknya kamu dengerin Ayah! Jagain adek mu, bukannya malah diajak tengkar mulu!"

Alan memutar bola mata. Dia tidak berniat menanggapi Ayahnya lagi. Karena baginya dia tidak punya seorang adik. Untuk apa Alan menjaga gadis itu. Friska hanyalah orang luar di matanya. Sama seperti Sekar.

Alan memilih menjauh dari amukan sang Ayah. Melihat hal itu, Damar mengelus dada. Semakin hari anaknya itu makin tidak terkontrol saja. Akhirnya dia hanya bisa menatap lelah punggung lebar Alan.

******

Anna memeluk buku paketnya tanpa minat. Belakangan hidupnya terasa membosankan. Bahkan seharian ini wajahnya suntuk tanpa ada semangat. Sejak dua hari kemarin, dia sibuk mengurung diri dikamar. Tubuhnya juga mendadak loyo. Pertanda bahwa dia mulai sekarat. Bahkan chat dan telepon Rara masih dia abaikan dari kemarin. Suara Fanny yang sejak tadi memulai gosip pun tidak dia hiraukan. Hanya lamunan dan renungan yang masih terus dia pikirkan.

"Ciah, mana muka sinting Lo beberapa hari lalu? Kayaknya udah surut aja. Kusut amat." sindir Fanny heboh.

Anna hanya diam dan meliriknya sekilas. Dia terlalu malas menanggapi celotehan gadis cempreng itu.

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang