Begitu Alan pergi usai mengantarnya pulang, Anna langsung masuk ke rumah. Badannya masih terasa lemas, kepalanya juga pusing disertai pandangan berkunang-kunang.
Dan ketika gadis itu hampir mencapai ambang pintu kamar, tubuhnya nyaris ambruk jika saja Mbok Sum tidak segera memapahnya. Buru-buru wanita paruh baya itu menyiapkan makanan dan obat untuk Anna, usai membaringkannya di kasur.
"Aduh, Non. Kok bisa panas banget gini? Non Nana kena demam ini pasti." panik Mbok Sum, sambil sesekali mengompres kening Anna. "Mbok telepon Den Miko aja ya, Non? Biar dijemput Neng Lina. Dia pasti lebih paham cara ngerawat Non Nana. Ya, walaupun Neng Lina cuma dokter kulit. Tapi dia pasti juga paham kan cara ngerawat orang sakit?"
Anna hanya menggeleng lemah, dia mencegah Mbok Sum yang hampir mengeluarkan ponsel jadulnya dari saku.
"Jangan, Mbok. Kasihan Mas Miko, nanti dia makin kepikiran. Apalagi tadi Papa masih belum sadar. Mbak Lina juga ada praktik malam ini di rumah sakit. Mas Miko sekarang pasti lagi repot ngurus Amel dan Papa di waktu bersamaan. Nana nggak mau nyusahin dia lagi, Mbok." lirih Anna, melirik Mbok Sum sekilas. "Istirahat bentar, besok pasti udah sembuh kok, Mbok. Nana udah biasa kayak gini, kalau habis hujan-hujanan. Mending teleponin Fanny sama Rara aja, Mbok. Suruh mereka kesini. Itu, Mbok. Tolong ambilin HP Nana di tas."
Buru-buru Mbok Sum menyambar tote bag kulit pink milik Anna diatas nakas, lalu mencari benda pipih itu. Begitu ketemu, langsung saja diberikannya pada Anna. Ketika panggilan video grup sudah terhubung, segera Mbok Sum langsung menyahut lirih.
"Loh, kenapa Mbok? Kok HP-nya Nana di Mbok?" cemas Fanny.
"Nara-nya mana, Mbok?" tanya Rara, ikut panik.
"Duh, tenang ya, Eneng-Eneng." ringis Mbok Sum. "Jangan teriak-teriak atuh, Neng. Non Nana-nya lagi sakit. Badannya juga panas banget. Di ajak ke dokter juga nggak mau. Ini aja dia baru tidur, habis minum obat tadi."
Mbok Sum segera keluar dari kamar. Dia takut suara cempreng gadis-gadis di seberang sana akan menggangu tidur Anna.
"Astaghfirullah. Ini pasti gara-gara dia hujan-hujanan kemarin, Mbok." lirih Fanny.
Rara mengernyit bingung, "Loh, kapan? Kok aku nggak tahu, Fan?"
Fanny berdecak malas, dia memutar bola mata. "Pas selesai ujian kemarin dia langsung buru-buru pergi. Mau gue susulin, tapi anak itu udah ngilang. Lagian Lo mana tahu, Ra. Orang Lo sibuk, asyik main dan nge-mall mulu sama Sania. Jadi Lo mana peduli kalau gue atau Nana kenapa-kenapa."
"Apaan deh, Fan? Kok malah bawa-bawa Sania sih? Orang aku sibuk silat." ketus Rara. "Kayak kamu peduli aja sama kondisi aku selama ini. Kamu tahu nggak kesusahan aku selama di kosan? Jauh dari orang tua. Seringnya juga Sania yang bantuin aku. Dia selalu pinjemin uang, walau Sania juga sama-sama ngekos dan banyak kebutuhan yang perlu dia beli. Kamu nggak bakal ngerti, Fan! Kamu mah enak, orang tua mu kan disini. Mereka juga kayaknya sayang dan peduli banget sama kamu."
Wajah Fanny semakin merah padam, "Lo kok nyalahin gue, Ra? Lo tuh yang nggak mau kebuka sama kita-kita! Kalau ada masalah tuh ngomong! Ya Allah, Ra. Bikin kesel aja sih, Lo."
"Eh, ini kok malah pada berantem?" lerai Mbok Sum, dia pening mendengar ocehan kedua anak gadis itu. "Udah, berhenti! Mending kalian cepet kesini deh. Jangan malah tengkar mulu. Non Nana tuh butuh kalian tahu."
Fanny dan Rara terdiam mendengar bentakan Mbok Sum. Baru kali ini mereka melihat wanita itu marah seperti ini. Selama mereka mengenal Mbok Sum, sejauh ini dia selalu bersikap baik dan penuh kasih sayang. Sifatnya yang ke Ibuan, membuat mereka betah menginap di rumah Anna yang terbilang sepi. Selain itu, Mbok Sum juga perhatian. Tak jarang wanita itu selalu membuatkan mereka aneka makanan dan camilan untuk mengisi waktu santai.
Ah, sepertinya kali ini mereka keterlaluan. Kini wanita itu merasa tersinggung oleh pertengkaran tak berarti mereka.
"Maaf, Mbok. Rara kesana sekarang ya. Tungguin, ya, Mbok. Rara siap-siap dulu nih." cicit Rara, tertunduk sedih.
Tak urung Fanny ikut menyahut tak kalah lirihnya, "Fanny juga, Mbok. Ini udah mau otw kesana. Mau pamit dulu sama Papi Mami, Mbok."
"Ya, ya." ketus Mbok Sum. "Hati-hati ya, kalian.
"Siap, Mbok. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumusalam." sahut Mbok Sum. Setelahnya sambungan telepon mati. Layar touch ponsel Anna berubah hitam.
Tidak ingin membangunkan anak gadis semata wayang majikannya itu, Mbok Sum segera meletakkan ponsel milik Anna pelan-pelan diatas nakas. Lalu dia keluar kamar, sambil mengendap-endap. Menutup pintu dengan hati-hati.
******
Begitu Anna membuka pintu kamar, dilihatnya Fanny dan Rara sudah berada dihadapannya. Bibirnya masih terlihat pucat, namun suhu tubuhnya sudah berangsur normal.
"Nara!" Rara langsung menerjang tubuh gadis itu, hendak memeluknya erat-erat. "Ya ampun, kamu demam ya? Badan kamu katanya juga panas banget. Utututu, kasihannya. Sini peluk aku, biar kamu lekas sembuh."
Anna meringis risih saat Rara terus menyentuh keningnya. Dan dia memelotot, ketika gadis itu nyaris mendekapnya. "Udah, Ra. Aku nggak apa-apa kok. Kamu jangan deket-deket. Nanti flu ku nular ke kamu."
Rara langsung memberengut sambil berdesis gemas.
"Nggak apa-apa gimana?" sela Fanny, menatap galak Anna. Segera dia menarik lengan gadis itu. "Ayo, istirahat lagi! Muka Lo masih pucet banget itu."
Rara mengangguki, menuntun tubuh Anna kembali berbaring di kasur lalu menyelimutinya. "Bener, kamu tuh harus istirahat yang cukup. Kan besok masih ada ulangan. Kamu nggak mau terus-terusan sakit kan? Tenang aja, kami berdua bakal jagain kamu disini. Kami bakal nginep disini malam ini. Biar kamu nggak kesepian."
"Iya." sahut Fanny, tersenyum lebar. "Kami juga udah bawa baju ganti kok, ehehe."
"Huaaa... teman-teman...." Anna menatap haru keduanya. Detik berikutnya, dia langsung memeluk sahabat-sahabatnya itu dengan erat. "Kalian tahu nggak? Ternyata Pak Alan adalah cowok yang bawa aku ke Apartment waktu itu. Dan sikapnya nyebelin banget akhir-akhir ini. Terakhir kali, kemarin dia juga kasih laporan nggak lulus mata kuliah dia ke aku cuma gara-gara nggak ngumpulin tugas. Gimana dong, Papa pasti kecewa banget. Nilai ku banyak yang hancur. Pasti Papa makin kepikiran. Aku nggak mau dia kambuh lagi."
Fanny dan Rara saling berpandangan. Menatap kasihan gadis itu.
"Aku nggak tahu harus gimana lagi. Pak Alan nggak mau nerima tugas-tugas ku. Aku nggak mau ngulang kuliah di semester depan, Ra, Fan." isak Anna.
"Ya ampun, Nar." Rara menepuk-nepuk punggung Anna. "Cup cup cup, yang sabar ya. Gimana kalau besok kamu coba temuin lagi dia di ruang dosen. Siapa tahu, besok hati Pak Alan lagi berbunga-bunga karena bakal liburan habis ini. Terus dia mau nerima tugas-tugas kamu deh."
Anna mengerjap, dia segera menatap netra Rara lekat. "Maksud kamu?"
Fanny terkikik, "Maksud Rara, Lo coba kumpulin tugas-tugas Lo lagi besok. Siapa tahu Pak Alan lagi baik hati kan?"
Rara mengangguki, "Kamu ngumpulinnya sambil keluarin air mata gitu, Nar. Biar Pak Alan makin ngerasa iba sama kamu."
"Iya." angguk Fanny. "Kalau perlu keluarin kata-kata menyedihkan juga. Di jamin pasti luluh tuh dosen."
"Betul juga. Kenapa aku nggak kepikiran ya? Biasanya kan cowok tuh paling nggak bisa lihat cewek nangis." batin Anna, menyeringai dalam hati.
Anna tersenyum cerah, "Guys, makasih banget. Kalian udah peduli sama aku. Ingetin aku besok bakal traktir kalian kue balok kang Didin."
Wajah Fanny berubah sumringah, "Wah, nggak usah repot-repot, Na. Tapi kalau Lo maksa, nggak apa-apa deh."
Rara terkikik geli, "Yey, makan gratis lagi. Thanks, My baby Nana."
Anna mengulum senyum, kembali memeluk kedua sahabatnya itu. Kini dia sadar, betapa beruntungnya memiliki mereka.
"Jangan cuekin aku lagi, ya!"
Fanny dan Rara hanya mengangguk-angguk. Ikut mengukir senyum lebar sambil balas memeluk Anna erat-erat. Secara tidak langsung, Fanny dan Rara juga sudah saling berbaikan.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Dosen
RomanceAnnara yang merupakan mahasiswi cantik dan populer di kampusnya sangat di kagumi oleh banyak pihak. Parasnya yang menawan begitu dipuja-puja semua kalangan. Kehidupannya yang terlihat sempurna tak bercelah dan bergelimang harta, membuat orang lain s...