53. Kenangan Spesial Dari Nenek

48 8 1
                                    

Kini tibalah hari dimana acara pelaksanaan piknik. Pagi ini Alfi tengah berkumpul di ruang TV bersama Haris dan Rina. Mereka tengah mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke tempat piknik.

"Masya Allah, Rin. Banyak banget itu barang kamu. Ish, kita tuh cuma dua hari disana. Bukannya berbulan-bulan." gerutu Haris, menatap pasrah tiga koper besar milik Rina.

Rina berdecak malas, "Apa sih, Mas? Ini tuh bukan cuma barang aku doang ya. Ada barang kamu sama Zaidan juga loh ini. Udah deh, jangan banyak ceramah."

"Apa sih, pagi-pagi udah ribut kalian ini?" Alin datang tak berapa lama kemudian. Dia menggeleng-gelengkan kepala menatapi anak-menantunya. "Mending kalian mandi dulu sana. Itu Idan sama dek Andy udah selesai, malah udah wangi dan rapi loh merekanya. Tinggal kalian berdua aja ini yang pada belum siap."

Buru-buru Rina bangkit, mendahului suaminya itu. "Aku duluan, Mas."

Haris yang hendak menaiki tangga urung, karena Rina sudah lari duluan ke kamarnya. Dia mendengus sambil menatap punggung istrinya yang semakin menjauh. Sambil telinganya tak urung ikut menguping percakapan antara Alfi dan Alin, sebelum akhirnya memilih melangkah ke kamar Arfan yang berada didekat tangga.

Haris akan menumpang mandi di kamar adik bungsunya itu saja, mengingat Rina bisa berjam-jam jika sudah berada di kamar mandi hanya untuk merenung dan melamunkan riak air di bak mandi sambil menatapi bebek-bebekan mungil berwarna kuning milik Zaidan yang mengapung begitu saja ditengah bak mandi.

Ck. Memang aneh istrinya itu.

Mengenyahkan Rina dari pikirannya, sedetik kemudian Haris menyambar handuk milik Arfan dan masuk ke kamar mandi. Mengabaikan jeritan-jeritan Alin yang masih terdengar sampai kedalam, serta pelototan dari adik bungsunya yang terasa menusuk punggung. Sementara tak jauh dari tempat Arfan berdiri, Zaidan tengah terduduk memainkan mobil-mobilannya.

"Ya Allah, Mas Fi. Masa kamu cuma bawa baju dua lembar itu doang? Mana cuma diselipin ke tasnya dek Andy lagi. Kemana ransel yang Bunda kasih semalem buat kamu?" gerutu Alin, memulai ceramahnya. "Hoodie yang Bunda kasih juga dipake dong. Jangan cuma ditenteng aja. Aduh, kamu ini. Udah tahu cuaca lagi nggak bagus."

"Iya, iya. Nanti Fi pake, Bun." sahut Alfi. Setelahnya dia meringis, menatapi tas Arfan yang ternyata sudah penuh sesak. "Masya Allah, bawa apa aja sih, nih bocah? Masa udah penuh aja. Eh, apa nih, yang dia selundupin ke dalam tas?"

Hampir saja Alfi membuka resleting saat mendapati benda pipih berbentuk persegi menyembul dari balik tas adiknya, saat pekikan Arfan terdengar dari kejauhan. Detik berikutnya, bocah itu sudah menyambar dan mendekap tasnya sambil menatap Alfi penuh ancaman.

"Apa sih, Mas? Rempong bener Lo!" ketus Arfan. Beralih menyampirkan tasnya ke pundak. "Nggak usah nitip sama gue ya! Bawa tas Lo sendiri sana, huh!"

Alfi berdecak malas, menatap Arfan penuh cibiran. "Orang pelit kuburannya sempit. Lagian Lo bawa apaan aja sih? Sampe ngembung gitu."

"Dih, kepo." dengus Arfan lagi. Hampir saja dia melanjutkan langkah menuju teras, sebelum mendapati tubuh tinggi Alfi menghadangnya dari depan sambil berkacak pinggang. "Astaghfirullah, apa lagi sih? Minggir Lo, Mas!"

"Awas Lo ya, aneh-aneh disana. Gue aduin ke Ayah nanti kalau beliau udah pulang." ucap Alfi terdengar dingin. "Jangan banyak tingkah Lo, Ndy. Lagian ngapain Lo bawa-bawa iPad segala? Mau video call-an sama cewek yang di sekolah Lo itu, iya?"

Arfan melirik sebal Alfi, "Ciah, tukang ngadu. Bilang aja Lo sirik, Mas. Soalnya Lo jones. Nggak kayak gue sama Bang Ris yang dikejar-kejar banyak cewek. Lo iri, makanya kalau ada orang pacaran di ceramahin."

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang