41. Usai Guntur Terbitlah Badai

88 9 0
                                    

"Assalamualaikum, dek."

"Wa'alaikumusalam, Mas Miko!"

Anna berlarian menghambur dalam pelukan Miko saat muncul dari balik pintu. Tampang sang kakak sedikit lebih cerah dari sebelumnya. Aura murung beberapa hari lalu berangsur hilang dari wajah Miko, walau bajunya sedikit berantakan dan kantung mata Miko membesar. Tampak begitu kacau menahan kantuk.

"Udah dibilangin, Mas nggak usah panik! Disini ada Nana!"

"Mas kepikiran terus sama Papa! Rasanya nggak tega ninggalin dia kemarin. Tapi, Alhamdulillah kalau udah baikan." Miko memaksakan senyum. "Gimana? Kamu udah kabarin Mama?"

"Buat apa ngabarin Mama? Toh, nggak akan peduli juga." Anna menyahut dingin. Memikirkan Wulan, kembali membuatnya kesal sendiri.

Miko menggeleng lembut, "Jangan gitu, dek. Gimana pun juga Mama harus tahu kondisi Papa sekarang."

Anna mendengus, "Nana nggak setuju. Mas aja kalau mau ngasih tahu Mama. Mama mau tahu ataupun nggak, kayaknya nggak bakal ngaruh juga. Karena bagi Mama, toh itu nggak penting."

Miko menghela gusar, "Udah, dek. Jangan nyalahin Mama terus!"

"Terus Nana harus salahin siapa? Semua kekacauan itu berasal dari Mama, Mas." lirih Anna, hampir menangis.

"Ssstt... udah, udah. Okey, Mas nggak akan kasih tahu Mama." Miko mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Oh, iya. Fi dimana? Katanya dia bantu jaga Papa?"

"Fi?" bingung Anna.

"Iya, Alfi." mata Miko kembali celingukan. Dia tersenyum saat akhirnya menemukan Alfi melangkah dari kejauhan. Tepatnya dari arah kamar mandi. "Ya Allah, Fi. Makasih banyak ya. Mas nggak tahu harus minta tolong siapa lagi kalau bukan kamu."

Alfi tersadar dan segera mendekat, "Loh? Mas Miko udah sampe?"

"Iya, Fi. Barusan aja." Miko tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundak Alfi. "Mas makasih banyak, ya. Kamu udah nolongin Papa Mas dan Nana saat kami nggak ada disampingnya. Apalagi semalem kamu bela-belain jaga Nana disini, disaat Mas belum bisa pulang. Soalnya tiket penerbangan yang paling cepet cuma ada jam dua subuhan. Ya Allah, beneran. Kalau nggak ada kamu, Mas udah nggak tahu lagi."

"Eh, iya. Sama-sama, Mas. Maaf tadi saya baru sikat gigi." Alfi hanya meringis. "Jadi nggak tahu kalau Mas udah dateng."

"Iya, nggak apa-apa. Kalian berdua udah sarapan? Kalau belum, kita sarapan dulu aja. Bener nggak, dek?" Miko masih tersenyum. Matanya melirik Anna, yang dilirik malah sibuk mengamati pemuda jangkung disamping Miko. Saat itulah Miko menggeleng-gelengkan kepala. "Dek, dek. Masya Allah. Lihatin apa sih?"

Anna masih terus menatap Alfi yang begitu mempesona dengan rambut setengah basah dan handuk di leher. Tampak begitu fresh dan tampan. Barulah ketika Miko memanggil lagi, pipinya merona malu. "Eh, iya, Mas. Boleh."

Miko masih menggeleng-geleng. Menyadari sikap dua anak muda di sekelilingnya. Entah firasatnya saja atau benar Anna memang bersikap salah tingkah sejak tadi. Memilih tidak perduli, Miko mengajak keduanya beranjak menuju kantin.

Dan disinilah mereka bertiga berada. Tepat ditengah keramaian kantin. Dipenuhi desakan orang-orang yang berburu sarapan pagi. Setelah memilih-milih menu, Miko memutuskan memesan tiga porsi ketoprak. Itupun sudah diselingi ancaman sebab Alfi masih seperti biasa. Tidak mau memilih sendiri makanannya, bahkan berusaha menolak secara halus traktiran Miko. Akhirnya Miko sendiri yang memutuskan. Anna juga tidak keberatan dengan pilihan Miko. Toh, pada akhirnya dia akan memakan apapun kecuali nanas tentunya.

"Kalian satu kampus kan?" tanya Miko disela menyantap ketopraknya. Lebih seperti mata-mata daripada seorang kakak.

Anna mengangguk. Sedang Alfi mengirim senyuman.

Hallo, Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang