Suasana kampus pagi ini seperti biasa. Penuh keramaian canda tawa dari berbagai sudut. Tak ketinggalan di sudut paling pojok tempat dimana Rendi cs sering nongkrong.
Tanpa dilihat pun sudah jelas bahwa suara tawa Reihan yang paling terdengar menggelegar. Disusul dengan celotehan Rendi dan sesekali sahutan dari Rion yang meski ala kadarnya tapi penuh godaan. Tentu membuat banyak mahasiswa tak segan menengok ke arah geng berisik itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa geng Rendi adalah biang onar dari segala masalah. Kecuali Alfi tentu saja.
Dan sejak tadi Alfi tak henti-hentinya melirik Reihan dan Rendi dengan sedikit malu. Memang dua sahabatnya itu yang paling berisik. Tidak tahu waktu dan tempat. Sementara Rion seperti biasa sibuk dengan game dan hanya bersikap bodo amat. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat dirinya jika sudah berurusan dengan game. Karena setelahnya Rion akan hanyut dan tenang memainkan permainannya.
"Yon, masuk kelas yuk. Malu dilihatin orang disini." ringis Alfi, mendengus gerah ke arah Rendi dan Reihan yang menjadi bahan tontonan karena tawa keduanya saling beradu kencang.
Rion tidak mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Masih terus mengirimkan tembakan untuk membunuh monster-monster yang bersembunyi dibalik labirin. "Halah, biarin aja. Kayak Lo nggak tahu aja kelakuan mereka gimana. Udah bikin malu dari jaman orok."
Alfi menghembuskan napas panjang. Memutuskan kembali duduk dan membaca-baca ulang materi Pak Alan minggu lalu. Baru beberapa halaman, dia kembali merenung. Tanpa sadar Alfi teringat pada Anna dan perilaku anehnya yang tiba-tiba marah tanpa alasan.
Tidak apa-apa sih. Tapi Alfi merasa perempuan itu sedikit berubah. Bahkan terkesan menjauhinya. Padahal Alfi sudah senang bisa berteman dengan Anna. Jarang sekali dia bisa berteman dengan perempuan. Dan saat dia mengenal gadis itu, Alfi merasa bisa bertukar cerita dengannya.
Alfi sama sekali tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Anna sekarang. Kemarin perempuan itu bertanya tentang tipe idamannya, tentu saja Alfi pikir Anna adalah pendengar yang baik. Jadi dia berkata jujur. Dan memang benar, sejak dulu dia mengharapkan perempuan sholehah, pintar masak, dewasa, dan tentunya berhijab.
Lalu apa yang salah dengannya?
Atau mungkin Anna tersinggung karena dia mengatakan perempuan berhijab?
Masya Allah, Alfi memegang dadanya yang berdenyut. Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu dihadapan Anna. Apalagi gadis itu tidak berhijab. Mendengar kata-katanya pasti membuat Anna terluka.
Alfi meringis dan merasa menyesal. Sungguh sejak dulu dia memang tidak peka. Bahkan Alfi tidak sadar ketika dia menyakiti hati seseorang. Benar kata Haris, pada dasarnya hati Alfi ini adalah batu. Batu berjalan yang beku.
Dan ketika Alfi sadar— bermaksud melanjutkan membaca buku, barang itu malah sudah menghilang dari tangannya. Tanpa menengok pun dia tahu ulah siapa itu. Sudah pasti Rendi. Belum lagi topinya yang kini ditarik lepas oleh Reihan. Membuatnya meringis merasakan anak rambutnya berkibar-kibar.
"Ya elah. Masih galau aja nih, Mas Gus. Dari kemarin galau mulu. Ada apa sih?" sindir Reihan sambil memain-mainkan topi hitam ditangannya. "Buang aja ini barang. Biar keliatan ganteng dikit."
Alfi menghembuskan napas panjang dan menggapai-gapai topinya, "Rei! Topi gue siniin!"
Reihan hanya tertawa dan melemparkannya ke arah Rendi, "Ren, tangkep!"
"Wuoho, gue dapet! Hari ini topi Lo gue simpen! Lagian kenapa sih, seneng banget topian? Halah, Lo tuh cakep woi. Pede aja kenapa sih? Tuh, banyak cewek-cewek langsung ngelirik Lo. Makanya kalau diluar lepas aja topi Lo." tawa Rendi pecah. Matanya melirik ke penjuru lobby kampus. Melihat ke arah kerumunan mahasiswi yang sedang bergosip tak jauh dari mereka. Wah, mereka adalah subjek yang pas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Dosen
RomanceAnnara yang merupakan mahasiswi cantik dan populer di kampusnya sangat di kagumi oleh banyak pihak. Parasnya yang menawan begitu dipuja-puja semua kalangan. Kehidupannya yang terlihat sempurna tak bercelah dan bergelimang harta, membuat orang lain s...