Anna masih terlihat kesal saat hendak membelokkan langkah ke sisi koridor lain. Hingga sebuah seruan mengalihkan perhatiannya.
"Annara!"
Refleks Anna menengok. Menyadari siapa yang memanggilnya, Anna membatin lirih.
Mampus! Tuh dosen ngapain nyamperin kesini segala sih? Udah bagus dia nggak ngajar di kelas ku lagi! Huh!
Anna menatap pias sosok Alan yang semakin mendekatinya. Langsung saja dia berbalik mencari jalan lain. Dan ketika kakinya baru selangkah bergerak, kerah bajunya sudah ditarik dari belakang.
"Mau kemana kamu? Hmm?" Alan berdecak gemas. "Suka banget ya, kabur-kaburan dari saya? Chat dari saya juga nggak pernah kamu bales, ada apa?"
Anna meringis. Dia mendongak, menatap dosen galak itu dari samping. "Maaf, Pak. Saya sibuk, ehehe."
Alan mengernyit, "Sibuk ngapain kamu? Liburan sama pacar?"
"Eh, bukan." Anna gelagapan. "Duh, lepasin saya dulu dong, Pak. Nanti kalau ada yang lihat gimana?"
Alan berdecak malas. Namun tetap menjauhkan tangannya dari Anna. Dia beralih berdiri dihadapan gadis itu dengan tatapan datar. "Kapan kamu mau ke Apartment saya? Janjinya setelah Papa kamu keluar dari rumah sakit mau ngelakuin yang saya perintahkan ke kamu kan? Udah lupa, ya? Atau kamu mau kabur begitu aja? Iya?"
Anna menyengir bodoh, "Ahaha. Emm, besok ya, Pak. Boleh kan?"
"Nggak ada. Hari ini juga pokoknya kamu harus ke Apartment saya! Berhubung kelas saya udah habis, kamu ikut saya sekarang! Saya juga tahu kamu cuma ada satu jadwal mata kuliah doang hari ini. Jadi kamu jangan banyak alesan."
Anna memberengut. Ck, dosen satu ini kenapa seakan bisa menebak niatnya untuk mengelabuhi sih? Menyebalkan sekali.
"Omong-omong, itu tadi temen kelas kamu kan? Kalau nggak salah Dipta ya, namanya? Pacar kamu?" tanya Alan mengalihkan pembicaraan. "Ada masalah apa dia sama Professor Nick? Heboh bener tuh anak. Sampe nyusul ke ruang dosen segala?"
"Dia bukan pacar saya, Pak." decak Anna malas. Mengapa orang-orang mengira dirinya dan Dipta ini berpacaran sih? Hih. "Biasalah. Kalau nggak ribut bukan Dipta namanya. Soal saya satu kelompok sama Alfi aja dipermasalahin. Hadeh."
"Apa?" kaget Alan, tanpa sadar dia mengguncang bahu Anna. "Alfi? Satu kelompok sama kamu? Di mata kuliahnya Professor Nick? Kok bisa? Kamu pasti bercanda kan?"
Anna mengerjap bingung, "Apa sih, Pak? Kok malah jadi Bapak yang gantian heboh?"
"Eh?" Alan memaksakan tawa. "Ah, udahlah. Nggak penting juga bagi saya. Ayo, buruan kita jalan aja sekarang. Saya nggak ada waktu buat dengerin hal ngawur kayak gitu. Buang-buang tenaga saya aja."
Meski masih heran, Anna tetap mengikuti langkah lebar dosennya itu dengan pasrah.
******
Alfi menyusul teman-temannya menuju kedai TwoinC disamping fakultas. Gara-gara Anna, dia jadi ketinggalan jejak. Dan ketika sampai, keempat temannya itu sudah asyik menikmati masing-masing seporsi martabak siram dan es permen karet. Alfi memilih memesan kopi. Lalu mengambil tempat didekat teman-temannya berada.
"Gue masih nggak habis pikir, Lo punya faktor keberuntungan apa deh? Bisa sekelompok sama Nana?" celetuk Reihan.
Rendi tak mau ketinggalan dengan tawa lebarnya, "Dan gue punya keberuntungan juga dong. Gue tiba-tiba sekelompok sama Fanny, ahaha. Jodoh sih."
"Bye the way, gue sekelompok sama Fanny juga. Bisa jadi malah jodoh gue."
"Wah, anjir Lo, Rei. Temen sendiri Lo makan juga." Rendi mendesis jengkel.
Reihan menyengir.
"Gue sama Fanny jelas jodoh. Tapi Fi sama Nana?" tawa Rendi meledak. "Hah, itu nggak mungkin. Mau sampe tahun gajah juga nggak bakal ada sejarahnya. Tapi lumayan, Fi. Lo bisa punya pemandangan baru. Jangan Lo sia-siain deh, kelompokan sama bidadari gitu. Euw."
Rion ikut-ikutan bersuara, "Lah, anjir. Masih mending Lo semua ada cewek normal dan cantiknya. Bisa cuci mata. Kelompok gue legend semua, kampret. Pada nggak waras. Untung sih, ada Rosi yang rajin. Ya, tapi ada Didip juga dong?"
"Wah, iya tuh! Tadi si Didip ngeri banget cuy. Udah kayak macan aja." decak Rendi.
"Heh, dia tuh emang gitu. Segala hal yang berbau sama Nana, ya begitu kelakuannya. Super possessive. Jelas udah, mending mundur aja. Takut gue." jelas Reihan.
"Padahal gue ngecengin Nana." Rion mendengus. "Ya udah deh."
"Eh, tapi gue nggak bisa bayangin deh. Kalau mereka beneran jadi." Tegar berbicara sambil mengunyah martabak. "Secara Lo pada tahu kan? Mereka berdua pasangan paling hot sekampus. Bahkan rumornya kedengaran sampe ke telinga anak Teknik juga tuh. Ya, besok kalau sampe ada kabar mereka nikah beneran, gue nggak kaget."
"Iyalah, jelas. Apalagi si Didip itu kaya raya. Kurang apa coba dia kalau ngelamar Nana? Pasti ortunya si Nana juga langsung setuju. Nggak maen-maen deh kayanya mereka nanti. Beuh, pasangan sempurna. Gue kapan dapet yang kayak gitu, ya?" sahut Rion.
"Halah. Apa sih Lo, Yon!" cibir Reihan.
Rion masih bersikeras, "Ya, tapi bener kan? Didip mah udah jelas. Lah, kita? Ngimpi kali dapet Nana!"
Reihan menyengir, "Ya, iya sih. Syukuran gue kalo salah satu dari Lo pada bisa dapetin bidadarinya FE."
"Ck." Rendi mendengus kesal. "Apa sih? Dikit-dikit bahas Didip! Kayak kesannya kita iri banget dia bisa dapetin Nana! Heh, gue juga bisa dapetin Fanny! Lihat deh nanti! Gue yang bakal dapetin bidadarinya FE! Gue tunggu syukuran Lo, Rei! Pegang janji gue!"
Reihan tertawa-tawa, "Yeu, siap. Gue traktir sekampus kalau Lo bisa jadian sama Fanny!"
"Jangankan jadian! Besok kelulusan, gue sebar undangan ke kalian semua. Harus pada dateng, okey?" ucap Rendi, sambil menyugar rambut.
"Halah, ngimpi Lo jauh amat, Ren! Pacarin aja dulu! Sok-sokan bikin undangan segala!" ejek Tegar.
Rion tergelak, "Hmm. Tapi nih, Fanny kayak ilfeel gitu sama Lo!"
Rendi memberengut, "Lah, belum juga mulai ini! Tunggu aja tanggal mainnya! Pelan-pelan, sayang!"
Reihan masih terus tertawa. Rion dan Tegar juga. Tapi ketiganya langsung stop saat Alfi dihadapan mereka hanya mengaduk-aduk kopi tanpa minat.
"Lah, Mas Gus kok diem aja? Tuh kopi Lo aduk-aduk terus nyampe berbusa. Diminum kek." ucap Tegar, melambai-lambaikan tangannya ke wajah si jangkung.
Alfi tersadar dari lamunannya. Pembicaraan tentang Anna selalu menariknya untuk mendengar. Tapi akhirnya selalu begini. Membuatnya merasa begitu kecil dan tidak berharga. Apalagi jika dibandingkan dengan posisi Dipta.
"Eh, iya. Gue bungkus aja kopinya. Gue mau balik dulu." putus Alfi.
Reihan mengernyit, "Lah, balik?"
Alfi buru-buru mengangkat gelasnya, "Iya, mau ngantor."
"Ck, Mas Miko lagi ya?" Rendi menebak kesal. "Heran gue, Mas Miko mulu. Emang dia siapa, berhak nyuruh-nyuruh Lo jadi asisten seenaknya?"
"Ya kan, gue emang kerja sama Mas Miko. Ya, harus nurut kata dia." Alfi memaksakan senyum. "Ya udah, gue balik ya."
"Yoi. Hati-hati, Pak Ustadz."
Setelahnya Alfi melenggang pergi. Jujur saja dia malas mendengar lama-lama tentang gosip antara si Dipta itu dengan Anna. Jadi lebih baik Alfi pergi saja. Toh, dia memang ada jadwal ngantor dengan Miko dan yang lain. Meskipun awalnya Alfi ingin ngopi-ngopi dulu. Tapi, ya sudah lah. Mood-nya sudah hancur gegara pembicaraan teman-temannya. Tentang Dipta dan Anna.
Hah, Alfi hanya manusia biasa. Bisa apa dia melawan Dipta?
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Dosen
RomanceAnnara yang merupakan mahasiswi cantik dan populer di kampusnya sangat di kagumi oleh banyak pihak. Parasnya yang menawan begitu dipuja-puja semua kalangan. Kehidupannya yang terlihat sempurna tak bercelah dan bergelimang harta, membuat orang lain s...