"Oh, kamu masih di sini?"
Aku menoleh ke balik punggung dan mendapati pria tadi. Dia terdengar begitu kaget, membuatku merasa kehadiranku di bagian belakang yacht ini tidak seharusnya.
"Ada masalah?" Aku tidak bermaksud untuk ketus, tapi di saat tertentu aku tidak bisa menahan apa yang keluar dari mulutku.
Di luar dugaan, dia malah tertawa. Dengan santai dia melangkah mendekatiku. Dia tampak santai dengan celana pendek tanpa atasan, sama seperti pria-pria lain yang berada di yacht ini.
"Selama aku bekerja di yacht, enggak ada yang sembunyi di sini. Biasanya ini tempatku untuk istirahat." Dia menjawab santai.
"Oh..." Aku kehabisan kata-kata. Pertama karena jawabannya yang membuatku merasa seperti penyusup karena mengambil tempat yang seharusnya dimilikinya.
Kedua, karena dia berada sangat dekat denganku. Aku hanya butuh melangkah satu kali ke arah kanan, maka aku akan berada tepat di sebelahnya.
Perjalanan hidup membuatku bertemu banyak orang, dari beragam latar belakang. Aku sudah terbiasa dengan manusia rupawan yang dengan mudah ditemukan. Namun, dia berbeda. Ada banyak pria lain yang lebih tampan, tapi dia menguarkan aura berbeda. Ada kesan berbahaya dari sorot matanya yang tajam.
He's the most gorgeous man I've ever met.
Alisnya yang tebal menaungi matanya yang tajam. Hidung mancung dengan ujung sedikit bengkok. Bibir tebal dengan lekuk sempurna, seolah-olah dilukis khusus unfuk menyempurnakan wajahnya. Rahangnya yang tajam dan terpahat sempurna, dengan facial hair yang dipangkas rapi.
Dia punya tubih tinggi. Saat bersisian seperti ini, dia masih lebih tinggi beberapa sentimeter. Dengan tubuh tegap dan otot-otot yang terukir dengan sangat pas.
What happened to me? Di pertemuan ketiga, aku bisa menggambarkan dengan jelas soal pria ini. Hal yang bahkan tidak bisa kulakukan terhadap Erick.
Dia tersenyum, menampakkan gigi yang berbaris rapi.
"It's okay. Meski aku enggak nyangka bakalan ada yang memilih berada di sini ketimbang berpesta di depan," lanjutnya.
Aku tertawa tipis. "Let's say I didn't enjoy it."
Dia menatapku dengan sebelah alis terangkat.
Bisa saja aku meningalkannya atau mengabaikannya, tidak ada kewajiban untuk meladeni percakapan ini. Namun, aku malah mendapati diriku menikmati saat bercakap-cakap dengannya.
"Lagi enggak mood. Lagipula, di sini lebih tenang."
"Tapi view dari sini jelek."
Aku tergelak. "Kamu sendiri? Seharusnya kamu di depan, ikut senang-senang."
Dia mengangkat kedua tangan. "Aku di sini bekerja, dibayar. Bukan bagian dari yang bayar jasa servis di yacht ini."
"Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" Tanyaku.
Dia menatap lautan lepas di depannya. "Hampir sepuluh tahun, sejak aku masih sekolah. Aku kenal dengan yang punya penyewaan ini, dan dia tahu aku mau disuruh kerjain apa saja. Awalnya aku bersihin toilet dan itu pekerjaan paling nyebelin. Ngebersihin toilet dari sisa muntah orang-orang."
Aku menatapnya dengan dahi berkerut. Jawabannya berada di luar dugaan.
"Waktu aku mulai bisa bartending, aku pindah ke bar. Akhirnya enggak perlu lagi ngegosek WC." Dia terkekeh, tampak santai seolah dia baru saja menceritakan pekerjaan fancy, bukan pengalamannya membersihkan toilet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomantizmSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...