9. Sebuah Bayaran

11K 706 6
                                    

"Ketakutan saya terbukti, kamu bukan orang yang tepat memimpin perusahaan ini." Ucapan Pak Arief terdengar seperti petir di telingaku.

Aku tidak heran jika Pak Arief meragukanku, tapi selama ini dia tidak pernah mengutarakan secara langsung.

"Kita belum pernah mendapat hasil buruk seperti ini. Mungkin kamu harus pertimbangkan ulang proyek Skyland," lanjutnya.

Meeting ini tak ubahnya seperti rumah jagal. Aku berada dalam posisi terpojok. Semua yang hadir siap menjagalku hidup-hidup.

"Stef sudah berusaha, tapi memang tidak mudah. Kita harus lihat kondisi pasar seperti apa." Tommy, sepupuku, yang bekerja untukku, ikut menimpali.

Tommy mengedip ke arahku. Di balik ucapannya yang terdengar membela, Tommy tak lebih dari seorang manusia munafik yang manipulatif. Sejak awal dia menentangku. Tommy begitu yakin, ketika Stevie mundur dari perusahaan ini, kesempatan untuknya terbuka lebar. Tommy tidak menutupi kekesalannya saat suara untukku lebih banyak. Baik dia atau ayahnya, Om Richard, sudah lama berambisi merebut perusahaan ini.

Posisiku yang goyah jelas menjadi keuntungan untuk Tommy. Dia bisa menggoyahkan Dewan Komisaris dan semakin memojokkanku.

Jika Tommy menganggap bisa menyingkirkanku, dia harus berusaha lebih keras.

Aku membalas setiap keraguan yang disampaikam dengan data yang ada. Memang ada penurunan, tapi hal tersebut sudah terjadi sejak zaman Papa. Bahkan aku bisa mengembalikan perusahaan yang tadinya merugi, meski keuntungan yang didapat belum seperti seharusnya. Namun, perusahaan ini bergerak maju. Bukan mundur seperti yang mereka khawatirkan.

"Maksud Pak Arief gimana? Kita melihat data yang sama, kan?" Cecarku.

Di layar, ada grafik yang menunjukkan keadaan perusahaan. Hasil yang ditunjukkan positif. Seharusnya hal ini dirayakan, bukan sebaliknya.

Namun, manusia-manusia culas ini malah melihatnya sebagai kegagalan. Asumsi mereka selalu menang. Mereka menutup mata dari fakta, karena jika menerima fakta, artinya mengakui kemampuanku.

Meeting itu berakhir seperti biasanya, tekanan untukku semakin tinggi. Mereka seharusnya sadar, menjadi anak James Kawilarang sudah membuatku tahan atas semua tekanan. Dari kecil saja, Papa sudah memberi tekanan di luar batas. Jadi, apa yang kualami sekarang jelas tidak ada gunanya.

"Stef, wait."

Aku menggeram pelan saat Tommy memanggilku.

"How are you, little sister?"

Aku mendelik ke arahnya. Tommy hanya setahun lebih tua dariku, tapi memperlakukanku seolah aku anak kecil yang tidak mengerti apa-apa di tengah permainan para lelaki dewasa ini.

"Ada apa?" Tanyaku.

Tommy menyugar rambutnya. Dia memiliki wajah tampan yang bisa membuat orang-orang salah sangka, menganggap dirinya malaikat padahal kenyataannya dia manusia paling manipulatif yang pernah kukenal.

"Soal Highland. Kita perlu membahasnya."

Aku mengangkat dagu tinggi-tinggi, membuatku bisa menatap Tommy langsung di matanya. Dia membenciku jika memakai high heels. Tommy tidak sendiri. Ada banyak laki-laki dengan maskulinitas rapuh yang tidak terima jika aku bisa menatap mereka langsung. Aku sengaja memakai high heels, membuatku lebih tinggi, sehingga beberapa laki-laki di sekitarku harus mendongak saat bicara denganku.

Mereka terbiasa dengan perempuan yang bisa diatur dan pasif, sehingga merasa terindimidasi oleh perempuan sepertiku.

Salah satunya Tommy.

"Highland belum seharusnya dilanjutkan. Proyek itu sudah salah perencanaan dari awal," balasku.

"Stef, dengerin ya, Highland itu legacy ayahmu. Kita enggak mungkin biarin proyek itu mangkrak. Kamu percaya padaku, aku yang akan melanjutkan proyek itu."

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang