Selama seminggu ini, aku seperti melayang. Hari-hari yang biasanya kuhindari, kini berlalu begitu saja. Aku tidak lagi ambil pusing dengan semua tekanan yang dari hari ke hari semakin berat. Ketika aku kewalahan dengan tuntutan yang tak ada artinya, aku cukup mengingat saat berhubungan seks dengan Carlos. Apa yang terjadi akhir pekan kemarin memberikan amunisi yang cukup sebagai senjata untuk melindungi diri dari beban yang tak ada habisnya.
Hampir setiap hari, aku bertemu Carlos. Baik saat makan siang, atau ketika melewati lobi dan tanpa sengaja melihatnya di dalam restoran. Setiap kali bertemu, Carlos selalu memberikan senyumnya untukku.
Senyum yang mampu membuat tubuhku kembali mengingat rasa saat bersamanya dan membuatku menginginkannya.
Aku memintanya membuatku lupa akan beban hidup. Dia membuktikannya, dengan orgasme demi orgasme yang membuatku melayang tinggi di sepanjang akhir pekan. Aku tidak menyangka jika dengan orgasme bisa membuatku menghadapi semua tekanan di kantor.
Carlos berjanji akan datang lagi, aku hanya berpegangan pada janji tersebut. Aku tidak berani berharap terlalu tinggi, harapan hanya akan berakhir dengan kekecewaan.
Dia membuktikan janji. Pagi ini, ketika membukakan pintu dan mendapati sosoknya, aku langsung melompat ke pelukannya.
Only God knows how much I miss him.
Perasaan itu tidak seharusnya ada. Tidak seharusnya aku merindukannya. Aku tidak mengenalnya, kehadirannya hanya sebatas pemuas nafsu. Seharusnya, tidak ada rindu di sana. Namun, ketika Carlos menciumku, seolah ada bagian hatiku yang luluh seiring dengan ciumannya.
“Jadi, hari ini kamu mau gimana?”
Aku menatapnya dengan kening berkerut. Dia begitu menguasaiku, mendekapku dengan sangat erat.
Carlos berjalan maju dengan aku di pelukannya, membuatku ikut berjalan mundur hingga ujung kakiku menyentuh sofa. Matanya berkilat saat membaringkanku di sofa—sofa yang minggu lalu menjadi saksi ketika dia melambungkanku ke puncak kenikmatan tertinggi.
“Aku bisa memperlakukanmu dengan pelan dan lama, Fani. Tapi aku juga bisa keras dan cepat. I can fuck you hard until you don’t know how to walk or I can touch you slowly like I make love with you.” Dia mengerling, tampak begitu menggoda. “Jadi, kamu maunya gimana?”
Seks di dalam kamusku tidak pernah menyenangkan. Hanya penyatuan dua tubuh demi terpenuhinya kebutuhan batin. Aku tidak pernah menunggu-nunggu untuk berhubungan seks dengan Erick, dan aku tidak pernah merasakan sensasi seks berbeda.
“Oh my God, I don’t know.”
Carlos tertawa. “Listen to your heart.”
Bagaimana caranya berpikir karena otakku mendadak blank saat Carlos melarikan bibirnya di leherku? Belum pernah ada yang bertanya apa yang kuinginkan, hal ini terasa baru untukku.
“Just… fuck me,” sahutku.
“How?” tanyanya. Suaranya terdengar serak, membuatku ikut bergetar.
“Aku belum pernah mendapat pertanyaan serupa.”
Carlos mengangkat tubuhnya, tapi masih menindihku. Kedua tangannya menangkup wajahku, membuatku terperangkap di tatapan matanya. Dia tidak bertanya, tapi tatapannya begitu mendesak.
“Kamu akan berikan apa pun yang aku minta?”
Perlahan, dia mengangguk.
“Kamu… mau mendengarkanku?” Aku kembali bertanya.
“Always.”
Desir halus menyapa hatiku. Selama 35 tahun usiaku, tak pernah ada seorang pun yang mendengarkanku. Suaraku dibungkam, bahkan sekarang, ketika aku memimpin perusahaan. Aku masih tidak didengarkan. Meskipun pertanyaan Carlos tentang seks, aku menganggap lebih. Karena akhirnya, ada yang mendengarkanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/331590522-288-k208865.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...