Magdalene.
Restoran tersebut berada di depanku. Entah apa yang membuatku menyeret Jihane ke restoran ini untuk makan siang.
Carlos memberitahu dia bekerja di restoran ini. Aku hanya ingin mencoba masakannya lagi, tidak lebih. Lagipula, Jihane harus mencobanya. Dia pasti akan langsung merekrut Carlos menjadi chef di salah satu restorannya begitu dia mencicipi masakan Carlos.
That's the reason. The very best reason.
Who am I kidding? Karena di sudut terdalam benakku, aku sadar bukan itu alasan yang sebenarnya.
Semalam berada di luar kendali. Seolah ada sosok lain yang mengambil alih tubuhku dan membuat keputusan di luar nalar.
I let a stranger to blow my mind.
Akhirnya, aku tahu rasanya orgasme.
Aku tidak bisa tidur dengan tenang. Sepanjang malam aku memutar ulang semua yang terjadi. Aku memuaskan diri sendiri, sembari membayangkan Carlos yang melakukannya. Alih-alih puas, aku semakin frustrasi. Carlos just set the bar high.
Sekarang aku paham mengapa ada perempuan rela membayar jasanya. I would do the same if he can blow me all the time.
"This better be good." Jihane menggandeng lenganku memasuki restoran.
Magdalene tidak terlalu besar. Sepintas lihat, aku tidak yakin dengan restoran ini. Bukan ini restoran yang ada di bayanganku ketika mencicipi masakan Carlos. Pasta itu terasa seperti makanan yang disajikan di restoran fine dining, bukan restoran yang seperti tengah menunggu waktu untuk gulung tikar seperti ini. Konsep yang diusung tidak begitu jelas. Restoran ini terlalu fancy untuk dikatakan sebagai family restaurant, tapi juga kurang sesuai dengan kriteria untuk tempat fancy dinner. Positioning yang tidak jelas seringkali membuat restoran sulit bertahan.
Namun, jika mereka bisa menyajikan makanan enak, persetan dengan konsep. Basic point dalam bisnis hospitality, terutama restoran, jualan utama harus yang terbaik. Dalam hal ini, cita rasa makanan.
Jihane memandang sekeliling. Ekspresi wajahnya yang skeptis membuatku bisa membaca isi pikirannya. Jihane bisa begitu kritis saat menyangkut restoran. Dia sukses di bidang yang dijalaninya, mau tidak mau Jihane selalu menilai setiap restoran yang didatanginya.
"Lo tahu dari mana soal restoran ini?" Tanyanya.
"Review."
Kening Jihane berkerut. "Review? Sejak kapan lo baca review?"
Aku hanya tersenyum sambil menenggak wine. Seketika aku mengernyit. Jihane yang melihat perubahan ekspresiku ikut menyicipi wine miliknya.
"Review yang lo baca menyinggung soal wine? Shit, ini wine paling enggak enak yang pernah gue coba."
"But this is Chardonnay." Aku membaca label di botol tersebut.
"Chardonnay my ass. Rasanya kayak air pipis."
Aku menahan tawa. Jika sedang kesal, tidak ada yang menduga apa yang akan meluar dari mulutnya.
Ada yang salah di sini. Jika Carlos bisa memasak seenak itu, tentu dia tidak sembarangan menjalani bisnis ini. Wine yang tidak enak ini hanya membuat orang enggan balik lagi.
He's a mystery. Hanya dalam beberapa jam, Carlos mengumbar detail demi detail dirinya. Aku seperti mengenalnya, tapi di saat yang sama aku juga tidak tahu siapa sebenarnya dia? Dia bisa memasak pasta paling enak yang pernah kucoba, dia juga bartending di yacht, tapi di saat yang sama dia juga bekerja sebagai stripper dan male escort. Harusnya dengan kemampuannya memasak, dia tidak perlu melakukan pekerjaan di area abu-abu.
Ketika pelayan menyajikan pasta, rahangku langsung jatuh ke lantai. Pasta ini jelas berbeda dengan yang semalam disajikan Carlos. Bahkan pasta seadanya semalam jauh lebih menggiurkan dibanding yang ada di hadapanku.
"Not bad, meski presentasinya minus." Jihane berkata. Ekspresinya begitu datar. Jihane seharusnya excited begitu mencoba masakan Carlos.
Aku menyuap pasta tersebut dan langsung mengerang. Ini bukan pasta Carlos. Rasanya begitu hambar dibanding yang aku coba semalam.
"Bukan ini pasta yang gue maksud." Aku mengeluh.
"Salah pesan?"
Aku menggeleng. Pasta ini sesuai pesananku, tapi rasanya tidak sesuai ingatanku.
Aku melambai memanggil pelayan, yang tergopoh-gopoh menghampiri.
"Saya mau bertemu chef di sini."
Pelayan itu tampak salah tingkah. Meski awalnya ragu, akhirnya dia berlalu. Tak lama, seorang pria menghampiriku. Dari pakaiannya, aku mengenali dia sebagai chef.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu yang memasak pesanan saya?"
Dia menatap piringku lalu mengangguk. "Ada yang salah?"
Dia bukan Carlos. Aku hanya ingin makan masakan Carlos.
"Saya mau bertemu Chef Carlos."
Keningnya berkerut. "Saya chef di sini, tidak ada chef lain."
Aku tidak salah dengar. Carlos bilang dia bekerja di sini.
"But he works here." Aku menatap ke arah kitchen, berharap bisa menangkap sosok Carlos.
"Tidak ada yang bernama Carlos bekerja di sini."
Aku menggeram dalam hati. Ini akibatnya jika aku tidak mengendalikan diri. Mengapa aku percaya begitu saja saat dia menyebut dirinya bekerja di sini? Lagipula, aku tidak melihatnya memasak langsung. Aku tidak punya bukti pasta semalam hasil masakannya.
He's a stripper, yang memberikanku orgasme hebat untuk pertama kalinya. Tanpa disadari, dia menancapkan pengaruhnya di hidupku. Namun, dia hanya orang asing. Tidak seharusnya aku terlalu memikirkan orang asing seperti itu.
"Terima kasih, sepertinya saya salah. Permisi."
Aku meninggalkan Jihane dan makanan yang tidak tersentuh. Aku butuh udara segar. Berada di Bali nyatanya menjadi keputusan buruk yang pernah kuambil.
Hanya tiga hari, dan sudah tidak terhitung berapa banyak kebodohan yang kulakukan. Aku tidak bisa berada di sini lebih lama lagi.
"Lo kenapa?"
Aku berbalik dan berhadapan dengan Jihane. Dia menatapku dengan cemas.
"Kita balik ke Jakarta sekarang," tegasku.
"Kita pesawat malam."
Aku mendahului Jihane memasuki mobil. "Kita reschedule atau beli tiket baru saja."
Alih-alih menyalakan mobil, Jihane malah menatapku. Dia tidak bisa menyembunyikan cemas di wajahnya. Aku pun kesulitan menahan diri.
Apa yang membuatku gelisah seperti ini?
"Oke, kita balik ke Jakarta sekarang."
Aku menghela napas lega saat mendengarkan penuturan Jihane. Dia begitu mengenalku, sehingga memberiku waktu untuk menyortir isi benakku.
Begitu pesawat membawaku kembali ke Jakarta, aku menatap Bali yang tertinggal di bawah, sekaligus berharap semoga kesalahan yang kulakukan di akhir pekan ini tidak menghantuiku hingga ke Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...