50. Panic Attack

4.7K 611 32
                                    

Carlos

Stephanie tiba-tiba menegang. Matanya menatap nanar ke dinding. Napasnya memburu, seperti seseorang yang baru saja lari terbirit-birit.

Panic attack.

Aku meminta Mbak Irma menggendong Alba dan membawanya keluar dari kamar. Anakku itu masih menangis, tapi aku terpaksa menyerahkannya kepada Mbak Irma karena tidak mungkin meninggalkan Stephanie sendirian.

Stephanie lebih membutuhkanku.

"Mau apa kamu?" tanya perempuan baya yang begitu mirip Stephanie, tapi memiliki sifat bertolak belakang.

Beliau mendorongku saat aku menghampiri Stephanie. Dia tidak cukup kuat untuk menghentikanku.

"Fani, breathe..."

Stephanie masih menatap nanar. Pandangannya kosong. Dia seperti berada di dimensi lain.

"Apa pun tujuanmu, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari keluarga ini."

Aku tidak mempedulikannya. Aku hanya mengkhawatirkan Stephanie.

Stephanie berteriak kencang. Tatapannya yang kosong membuatnya terlihat begitu kesakitan. Seakan-akan semua beban yang dipendamnya, pagi ini memaksa untuk diluapkan.

"Mama pergi sekarang," hardiknya.

"Kamu mengusir Mama?"

Stephanie masih kesulitan mengatur napas. Dia meletakkan tangan di dada, sedangkan telunjuknya tertuju kepada ibunya. "Pergi!"

"Kamu yang seharusnya pergi," desis ibunya kepadaku, dan aku mengabaikannya.

"Pergi!" Hardik Stephanie lagi.

Sambil terus mengancamku, akhirnya beliau angkat kaki. Napas Stephanie masih memburu meski tidak ada siapa-siapa lagi di sini.

Aku menunggu sampai dia kembali tenang. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengawasi.

Ini bukan kehidupan yang layak untuk ditinggali. Entah apa yang membuat Stephanie bertahan di lingkungan ini. Rasanya ingin membawanya ke Bali dan memulai kehidupan baru di sana.

Keinginan bodoh. Apa yang bisa kulakukan untuk membangun kehidupan baru bersamanya dan Alba? Aku tidak punya apa-apa, bahkan untuk diriku sendiri saja tidak ada apa-apa.

Namun aku juga tidak ingin Stephanie terus menjalani kehidupan seperti ini.

Stephanie menoleh ke arahku. Wajahnya tidak lagi sepucat tadi, aku melihat nyawa mulai terkumpul di matanya. Setidaknya dia tidak lagi menatap nanar dan kosong.

"Ibumu sudah pulang," ujarku.

Stephanie tidak menjawab, yang terdengar hanya desah napasnya yang mulai teratur.

"I don't like her."

"That makes two of us," balasnya pelan.

Aku melangkah mendekatinya. Untuk beberapa saat, aku sengaja menelitinya. Setelah mendapati Stephanie tidak menolak berdekatan denganku, aku memberanikan diri untuk menggenggam tangannya.

"Kamu tahu apa yang ingin aku lakukan sekarang?" tanyanya.

Stephanie mengangkat wajah untuk menatapku. Aku membalas tatapannya, menyelami matanya. Keinginan untuk membawanya pergi sejauh mungkin begitu menjadi-jadi.

"Jika kita berada di kehidupan yang lain, aku sudah membawamu pergi. Jauh dari keluargamu. Kita bisa membentuk hidup baru di tempat lain. Bali, misalnya."

Stephanie tidak menjawab, tapi bibirnya bergerak membentuk senyuman tipis.

"Kita bisa membangun keluarga baru, bertiga dengan Alba. Tidak perlu berurusan dengan keluargamu, juga keluargaku," lanjutku.

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang