42. New Life

5K 638 21
                                    

Stephanie

Dalam sekejap, hidupku berubah. Belum pernah aku merasa sedamai ini, meski aku tidak tahu tantangan yang menunggu di depan. Untuk saat ini, hidupku bergerak menjadi lebih baik.

Aku tidak diizinkan pulang ke rumah sampai kondisiku baik-baik saja. Biasanya aku akan panik jika sehari saja terlewat tanpa menyelesaikan pekerjaan di kantor, tapi kali ini, aku tidak peduli. Setidaknya selama beberapa hari, karena begitu pulang ke rumah, aku harus berhadapan dengan rutinitas baru.

Aku tidak memiliki kemewahan berupa cuti melahirkan seperti karyawan perempuan lainnya. Tidak ada yang bisa menggantikanku. Tommy menawarkan diri, tapi aku lebih memilih bekerja dari ruang operasi daripada mempercayakan tanggung jawab kepada Tommy. Bisa-bisa dia membuat kekacauan di luar pengawasanku. Sekarang saja aku sudah khawatir Tommy memanfaatkan kesempatan ini untuk melanjutkan proyek Highland.

Seharusnya aku khawatir, tapi begitu mendapati Alba terlelap di pelukanku, semuanya hilang begitu saja. Aku seperti berada dalam bubble, hanya ada aku dan Alba, terhindar dari dunia luar.

Untuk kali pertama, aku bisa menarik napas lega. Aku ingin menikmati setiap detik yang berharga di dalam bubble ini.

Suara pintu diketuk mengejutkanku. Tak lama, pintu terbuka dan Stevie muncul di sana.

"Hai," sapanya.

Sebuah perasaan bersalah menggayuti hatiku. "Sorry, aku belum sempat ngabarin."

Operasi ini merupakan keputusan mendadak. Di saat melawan kontraksi dan rasa sakit yang tak berkesudahan itu, aku tidak bisa memikirkan apa-apa. Baru di saat aku didorong menuju ruang operasi, aku teringat Jihane. Aku meminta Carlos menghubungi Jihane. Dia menunggu sampai operasi selesai. Jihane memberi kesempatan kepada Carlos untuk menemuiku lebih dulu, sementara dia menunggu dengan tidak sabar.

Pasti Jihane yang memberitahu Stevie. Apa Jihane juga memberitahu Mama?

Hatiku mencelus. Mengapa aku masih saja berharap pada Mama?

Dengan refleks, aku mempererat dekapanku di tubuh mungil Alba. Aku berjanji padanya untuk tidak pernah berhenti mencintainya. Alba tidak akan merasakan apa yang kualami dulu.

"She's beautiful. Shenina jadi punya teman," ucap Stevie.

Aku tertawa. "Kalau aku sudah pulang, Shenina bisa kenalan sama Alba."

"Pasti." Stevie mengusap kepalaku. "Gimana kabarmu?"

Aku menghela napas panjang. "Capek."

"Awal-awal memang berat, kamu mengalami perubahan besar dalam hidupmu." Stevie menatapku lekat-lekat. "Kamu masih belum berubah pikiran?"

"Maksudnya?" Aku balas bertanya.

"Aku sudah berusaha meringankan pekerjaan Nina, tapi tetap saja berat. Aku dan Nina sama-sama kewalahan." Stevie masih menghunjamku dengan tatapannya. "Kami berdua, Fan. Dan itu saja sudah membuat kami kewalahan. Kamu yakin bisa sendiri?"

Aku menunduk untuk menyembunyikan senyum. "I'm not alone."

"Tapi..."

"Bukan berarti ayahnya lepas tanggung jawab," potongku.

"I don't understand."

Aku mengangkat wajah untuk menatap Stevie, berharap dia bisa berhenti khawatir. "Aku baik-baik saja. Aku dan Carlos akan bekerjasama."

"Carlos, eh? Akhinya dia punya nama juga," balas Stevie.

Seolah bisa mendengar bahwa dia tengah dibicarakan, pintu ruanganku terbuka. Carlos muncul dengan paper bag di tangan. Liurku langsung menetes, membayangkan makanan yang disiapkannya. Aku tidak peduli pada makanan rumah sakit, karena yang kuinginkan hanya masakannya.

"Oh sorry, aku bisa balik lagi," ujarnya saat menyadari ada Stevie.

"It's okay. Ini kakakku," balasku.

Carlos menatapku dan Stevie berganti-gantian. Dari sudut mata, aku melihat Stevie menatap Carlos dengan tatapan menyelidik.

"Kak, ini Carlos. Carlos, ini kakakku, Stevie." Aku memperkenalkan mereka.

Carlos mengulurkan tangannya. Meski Stevie menyambut uluran tangan itu, dia masih menatap Carlos dengan penuh penilaian.

"Stop glaring at him," kekehku, tapi Stevie tidak mengindahkanku.

"Kamu masakin apa?" Aku menghadap Carlos dan mengabaikan Stevie.

"Chicken curry sesuai permintaanmu," jawabnya.

"Yummy," balasku.

Suasana masih canggung, aku bisa merasakan udara di sekitarku berubah pekat. Ini pasti karena Stevie yang masih melirik Carlos tajam, sementara yang dilirik salah tingkah.

"Kamu mau gendong Alba?" tanyaku.

"Aku bisa gendong," tukas Stevie.

Aku mendesis. "Kak, please stop."

Namun, Stevie tidak menghiraukan peringatanku. Dia masih menatap Carlos dengan ketika aku menyerahkan Alba kepadanya.

Kali pertama, Carlos ragu ketika akan menggendong Alba. Dia tidak perlu khawatir. Bahkan dibanding Stevie dan Jihane, aku lebih percaya kepadanya. Pengalaman hidup membuatnya meragukan diri sendiri, bahkan di depan anaknya sendiri. Tidak seharusnya dia khawatir, karena begitu Carlos menggendong Alba, dia terlihat begitu natural.

Like he was born to be a father.

Saat melihat Alba dengan nyaman terlelap di pelukan Carlos, hatiku menghangat. Pemandangan itu begitu indah. Aku ingin mengabaikannya, karena tidak ingin kehilangan momen ini.

"Okay, fine." Stevie memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, I'm just one call away."

Aku mengangguk. Perutku yang keroncongan membuatku tidak sabar ingin melahap masakan Carlos.

Stevie masih melirik Carlos sekilas sebelum akhirnya keluar dari ruang inap.

Carlos menghela napas panjang. "Your brother, he's so intense."

Aku tertawa kecil. "Untuk beberapa hal, dia emang nyebelin."

"Kayaknya dia enggak menyukaiku."

"Do I need to care?" balasku.

"Dia kakakmu."

"Dan kamu ayah anakku," timpalku.

Carlos sudah membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Aku melihatnya terkesiap, tapi detik setelahnya, dia tersenyum.

"What?" tanyaku.

"Aku suka mendengarmu menyebutku sebagai ayah," balasnya.

Aku menunjuknya dengan sendok. "Karena kamu memang ayahnya. Dan sebagai ayah..." Aku menatapnya lekat-lekat. "Aku mau kamu terlibat seratus persen. This is gonna be a long and hard journey. Jadi kalau tiba-tiba kamu ragu, lebih baik kamu mundur dari sekarang."

Ragu yang sempat ada di wajahnya mendadak hilang. Carlos menunduk untuk menatap Alba. Dia memang tidak berkata apa-apa, tapi aku bisa merasakan dia tengah berpikir keras. Saat Carlos mengangkat wajah untuk bersitatap denganku, aku menemukan tekad kuat di matanya.

"I'm in, Fani. One hundred percent." Carlos berkata yakin. Sedikit pun tidak ada keraguan di baliknya.

Masa depan memang masih misteri. Akan ada banyak tantangan menunggu. Carlos baru saja mengalirkan keyakinan ke diriku, sehingga aku mengusir semua ragu dan ketakutan yang ada.

Di depannya aku mengangguk. "Me too."

Yes, DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang