Stephanie
Tiga hari.
Selama tiga hari aku tidak bertemu Carlos. Dia sudah pergi ketika aku keluar dari kamar setelah menghindar dari pengakuannya.
Aku tidak ingin mendengar pengakuan Carlos.
Pikiranku begitu kalut akibat tuntutan Mama. Aku pikir Carlos bisa menenangkanku, tapi nyatanya dia malah menambah tuntutan lain.
Carlos bilang, dia mencintaiku.
What a bullshit.
Seharusnya dia tidak melangkah melewati batas yang sudah ditetapkan sejak awal. Aku memang sempat merasakan perasaanku goyah saat bersamanya, tapi aku memendamnya jauh-jauh karena tidak seharusnya perasaan itu ada. Carlos tidak seharusnya mencintaiku, seperti aku yang tidak akan pernah mencintainya.
Aku tidak yakin bisa merasakan cinta.
Hubungan ini berjalan semakin tidak terkendali. Bermula dari kehamilanku. Sekarang aku mempertanyakan keputusanku mengizinkan Carlos hadir di hidup Alba. Mungkin keputusan itu yang menggiringnya sehingga berani melewati batas.
Selama tiga hari ini pula aku meyakinkan diri bahwa penyebab amarahku karena pengakuan Carlos. Namun di hari ketiga, setelah terlibat argumentasi dengan Tommy, dan dia menjadikan Alba sebagai tameng untuk menunjukkan aku tidak becus bekerja, aku meledak.
Terlambat menyadari bahwa aku telah menyakitinya. Ucapan itu terlontar begitu saja. Aku tidak akan pernah lupa ekspresi kesakitan di wajahnya, dan detik itu juga aku langsung menyesal. Bukannya meminta maaf, aku malah menjauhinya. Akibatnya, penyesalan mengikutiku sampai sekarang.
Karena nyatanya, menyakiti Carlos juga menyakitiku.
Pertanyaan Carlos terngiang di benakku.
Apakah hidup seperti ini benar-benar kuinginkan?
Selama ini aku mengingkarinya, sengaja membungkam hati nurani dan memaksakan diri untuk percaya bahwa menjadi CEO Kawilarang Group merupakan tujuan hidupku. Hanya itu satu-satunya yang membuatku bahagia, sebab aku bisa membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku bisa dipercaya.
Karena hanya dengan berada di posisi itu, kehadiranku diakui.
Kenyataan memang tidak seindah bayangan. Namanya juga hidup, tidak akan pernah berjalan dengan tenang. Akan selalu ada riak dan gejolak, itu hal yang wajar.
Namun, mengapa pertanyaan Carlos tidak bisa hilang dari benakku.
Hati nuraniku berkata, inilah yang membuatku marah. Carlos mengajakku untuk melihat dengan jernih, kehidupan seperti apa yang kuinginkan? Setelah selama ini mengingkari, aku dipaksa jujur pada diriku sendiri.
Kejujuran begitu menakutkan.
Ini kehidupan yang kupilih. Aku berjuang keras mendapatkannya. Namun mengapa setelah mendapatkannya, aku tidak bahagia?
Mengapa satu-satunya kebahagiaan yang kurasakan adalah saat bersama Carlos dan Alba?
Aku membenamkan wajah di telapak tangan untuk meredam teriakan. Alba sedang tidur, aku tidak ingin membangunkannya. Belakangan, tepatnya sejak kepergian Carlos, Alba semakin rewel. Butuh waktu lama dan perjuangan panjang untuk menghentikan tangisannya.
Sebenarnya aku tidak tega membawa Alba ke kantor, tapi tidak ada pilihan lain.
Mataku terpaku pada sosok Alba yang tertidur. Seolah ada yang menumbuk ulu hatiku, dan menyadarkanku sudah berlaku tidak adil kepada Alba.
Aku berusaha menjadi ibu yang baik, tapi apakah yang kulakukan ini sudah benar?
Aku terduduk di lantai dan bersandar ke box tempat Alba tidur. Saat memejamkan mata, setiap fragmen yang terjadi tiga hari lalu memenuhi benakku. Aku berusaha mengusirnya, tapi tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...