Carlos
Untuk ke sekian kalinya, aku tidak bisa menghubungi Daisy. Tidak biasa-biasanya Daisy membiarkan handphone dalam keadaan mati. Firasatku tidak enak. Hampir satu jam, dan aku belum berhasil menghubunginya.
Daisy selalu mengabari jika dia tidak bisa mengangkat telepon. Alasannya, karena ayahnya ada di rumah. Bajingan satu itu bisa mengamuk kalau tahu Daisy masih berhubungan denganku.
Firasatku makin tidak enak. Aku khawatir bajingan itu menyakiti Daisy. Dia bisa melakukannya, untuk melampiaskan amarah karena aku tidak lagi membayar utang-utangnya. Sudah cukup selama ini aku menanggung utang yang tidak seharusnya menjadi bebanku. Aku melakukannya demi Daisy, karena bajingan itu tahu Daisy adalah kelemahanku. Dia menjadikan Daisy sebagai senjata untuk memerasku.
Aku merasa tidak berdaya, jauh dari Daisy tanpa ada yang bisa kuperbuat.
Ketika panggilan teleponku kembali gagal, aku menghubungi Max. Aku berutang kepadanya, dia sudah terlalu banyak membantu dan terpaksa terlibat dalam urusan keluargaku. Namun tidak ada lagi yang bisa kumintai tolong selain Max.
"Yo, wassup!" sahutnya.
"Max, gue boleh minta tolong?"
Di seberang, aku mendengar suara riuh. Sepertinya Max berada di klab meski masih pagi.
"Apa?" tanyanya.
"Gue enggak bisa menghubungi Daisy. Gue takut dia kenapa-kenapa. Kalau lo ada waktu, bisa tolong cek ke rumah?" tanyaku.
Max memang sahabatku, tapi dia memiliki batas toleransi. Dia menegaskan tidak ingin terlibat dengan ayah tiriku. Namun, Max juga menyayangi Daisy seperti adiknya sendiri. Aku berharap Max mau berbaik hati menolongku.
"Sepuluh menit lagi gue berangkat. Ada urusan di sini," jawabnya.
Aku sontak menarik napas lega. "Thanks, Max."
"Anytime. Semoga aja bokap tiri lo enggak ada di rumah." Max terkekeh.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku menutup telepon. Sekarang aku kembali gelisah dan tidak berdaya karena tak ada yang bisa kulakukan. Menunggu terasa semakin lama karena tidak ada kepastian.
Setengah jam kemudian, handphone-ku berbunyi. Telepon dari Max.
"Gue di rumah lo dan Daisy baik-baik saja," lapornya.
Seolah ada beban berat yang terangkat dari pundakku.
"Dia sendirian?" tanyaku.
"Ada nyokap lo, useless as usual."
Aku sempat berharap Mama melindungi Daisy, tapi ibuku itu tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan dia rela menjadi samsak tinju untuk suaminya. Seumur hidup, aku tidak pernah melihat semangat hidup di dirinya. Mama lebih sering berada di kamar. Aku pernah membujuknya ke psikolog, berharap bantuan profesional bisa menyelamatkannya. Namun Mama malah histeris dan menuduhku jahat, membuatku kembali menjadi korban pukulan ayah tiriku. Bagaimana aku bisa menolong Mama, sementara dia tidak mau menolong dirinya sendiri? Tidak ada yang tahu luka batin yang dialaminya, karena dia menyimpannya sendiri. Aku sempat menerka, apa ada hubungannya dengan ayah kandungku? Mungkin saja ayahku menyakitinya begitu dalam, dan melihatku hanya mengingatkannya kepada luka itu, sehingga yang bisa dilakukannya hanyalah membenciku.
"Bokap tiri lo enggak kelihatan, tapi kata Daisy dia ngamuk didatengin debt collector. Dia ngambil handphone Daisy, dijual buat bayar utang," lanjut Max.
Rasanya ingin menghajar bajingan itu. Aku pernah lepas kendali, ketika dia pulang dalam keadaan mabuk dan memukulku. Saat itu, aku sudah lebih tinggi sehingga bisa membalas. Akumulasi sakit bertahun-tahun membuatku menghajarnya habis-habisan hingga dia tidak bisa membalas. Mungkin aku sudah membunuhnya, kalau saja Daisy tidak menangis menyuruhku berhenti. Aku sempat menyesali, seharusnya saat itu aku membunuhnya. Aku bisa dipenjara, tapi dia tidak lagi bisa menyakiti Daisy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
Storie d'amoreSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...
