Stephanie
Prioritas utama saat ini, mencari babysitter yang bisa dipercaya untuk Alba. Bukan hal mudah, aku benar-benar buta soal hal ini. Ada banyak cerita buruk terkait babysitter, membuatku harus berhati-hati. Meski Stevie dan Nina membantu, bukan berarti aku bisa memutuskan dalam waktu singkat.
Alba berusia dua bulan ketika aku terpaksa membawanya ke kantor. Tidak ada pilihan lain. Aku tidak mungkin meninggalkan Alba bersama Mbak Irma. Bukan berarti aku tidak percaya kepada Mbak Irma, aku hanya tidak bisa terpisah lama dengan anakku itu.
Sesekali, aku ke kantor tapi hanya beberapa jam saja. Biasanya untuk meeting yang mengharuskan kehadiranku atau ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dari jauh. Sejauh ini masih bisa dikendalikan. Jika tidak ke kantor, kadang aku mengundang tim untuk bekerja di rumah, jadi aku tidak perlu meninggalkan Alba.
Lain kali, jika Carlos tidak bekerja, dia akan menemani Alba di rumah. Jika ada dia, aku jauh lebih tenang meninggalkan Alba.
Kecuali hari ini. Aku terpaksa membawa Alba. Pekerjaan mengharuskanku berada di kantor seharian.
Aku sudah mempersiapkan ruanganku agar Alba betah di sana. Aku memasang box bayi seperti yang ada di rumah. Semua kebutuhan Alba tersimpan dengan baik di ruang kerjaku. Dia hanya pindah tempat tidur saja. Aku juga meminta Mbak Irma menemani, agar ada yang mengawasi Alba.
Biasanya hanya aku sendiri di ruangan ini. Sekarang ada Alba. She will be my loyal side kick.
"Alba tidur Mbak?" tanyaku sekembalinya dari ruang meeting.
Mbak Irma mengangguk. "Habis ganti popok langsung tidur."
Tadinya aku sempat khawatir karena harus membawa Alba. Meski semua persiapan sudah matang, kenyataan belum tentu berpihak padaku.
Ketika datang ke kantor bersama Alba, aku mendapati banyak yang menatap ingin tahu. Aku tidak ambil pusing. Sejak hamil, aku tidak menggubris omongan miring di belakangku.
"Stef, ada undangan..."
Aku menekankan telunjuk di bibir saat Tommy masuk ke ruanganku dengan tergesa-gesa. Suaranya yang keras membuatku khawatir bisa membangunkan Alba.
Tommy refleks berhenti saat melihat Alba. Ini kali pertama dia bertemu Alba. Ironis, karena keluargaku sendiri tidak ada yang peduli pada Alba. Kecuali Stevie dan Jihane.
Termasuk Mama. Sampai Alba berusia tiga bulan, tidak sekalipun Mama menengok Alba.
"Ada apa?" tanyaku.
Tommy mendekatiku. Dia menunjuk ke balik pundak. "Anakmu?"
Aku mengangguk sekilas.
"Kenapa dibawa ke kantor?" Ada nada penghakiman di balik pertanyaannya.
"Kamu ke sini ada masalah apa?" Aku balik bertanya. Aku baru saja bertemu dengannya di ruang meeting beberapa menit yang lalu.
"Nevermind. Bukan urusanmu juga."
Aku menatapnya dengan mata menyipit. "Tom, what's wrong?"
Tommy kembali menoleh ke arah Alba. "Kamu yakin membawa anakmu ke kantor? Sebagai pimpinan, harusnya kamu jadi contoh."
Aku refleks menegakkan tubuh. "Maksudnya apa?"
"Bagaimana kalau ada ibu-ibu lain yang membawa anaknya ke kantor? Mereka bisa menjadikanmu sebagai tameng."
"Alasanmu ke sini untuk membahas ini?" tanyaku.
Tommy memasang tampang tak peduli.
Aku melipat tangan di meja dan menatapnya lekat-lekat. "Saya baru saja membahas hal ini dengan HRD agar menyediakan ruang khusus bagi ibu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, Darling
RomanceSetelah sepuluh tahun menikah tanpa cinta akibat dijodohkan, Stephanie memutuskan untuk bercerai. Tak ada waktu untuk masalah hati, karena posisi sebagai CEO Kawilarang Group menyita semua waktu. Untuk merayakan kebebasannya, Stephanie menghabiskan...